Mohon tunggu...
Julius Situmorang
Julius Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku Jendela Dunia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Bayi yang Gugur Itu Lebih Beruntung daripada Kita yang Hidup Ini? (Menggugat Nada Negatif akan Kehidupan: Sebuah Tafsir Pengkhotbah 6:1-12)

14 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2022   21:38 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada akhirnya si perempuan tersebut bosan dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan, dan beralih menyukai laki-laki lain. 

Ternyata laki-laki lain tersebut menerima cinta dari si perempuan ini, mereka akhirnya berpacaran. Sedangkan teman saya tersebut masih menjomblo sampai saat ini, tentu saja karena kriterianya terlalu tinggi dan tidak kesampaian untuk memenuhi keinginannya. 

Dari situ dia terpukul dan merasa sedih karena masih menjomblo sampai saat ini. Tentu saja karena dia tidak mengambil kesempatan yang sudah tersedia di depan matanya, dan lebih memperjuangkan keinginannya akan wanita yang sesuai dengan kriterianya. 

Dari sini bukanlah lebih baik menerima apa yang terlihat di depan mata dibanding terus berusaha memenuhi keinginan-keinginan yang tak kunjung terpenuhi. Itulah mengapa lebih baik menerima apa yang terlihat di depan mata dari pada mengingini hal-hal yang terlalu tinggi.

  

  • Ungkapan-ungkapan terakhir Kohelet tentang kekayaan, harta benda dan kelimpahan. 

 

Ayat 10-12: ayat-ayat terakhir dalam pasal 6 ini tidak lagi membahas tentang ungkapan situasi yang dilihat oleh Kohelet, ataupun perbandingan-perbandingan lainnya, melainkan berisi kesimpulan atas perenungan Kohelet[37] tentang perihal kekayaan, harta benda, dan kelimpahan. 

Menurut Fox beberapa poros kehidupan yang dicermati oleh Kohelet sudah tidak bisa dirubah lagi, yang semestinya terjadi, telah terjadi, dengan asumsi bahwa masa depan masih bersifat rahasia bagi pelaku kehidupan itu sendiri, tetapi tetap tidak ada yang baru di bawah langit ini.

[38] C. L. Seow sendiri menganggap kata mah-sehayah sebagai apa pun yang terjadi, bukan apa pun yang ada (TB-LAI) atau yang suda ada (Terj. EGS).[39] Berangkat dari pemahaman tersebut, berarti Kohelet membicarakan persoalan “apa yang dilakukan” atau semua kegiatan manusia yang dilakukan sudah terjadi sebelumnya. 

Sedangkan EGS memberi perhatian pada ayat 10 ini dengan mengingat kisah penciptaan di Kej. 2: 19-20, yang bermaksud menjelaskan bahwa manusia telah memberi nama pada ciptaan-ciptaan yang telah ada.[40] Selain itu Allah pun juga memberi nama pada seluruh ciptaan di dunia ini, oleh karena itu dari ayat 10 ini EGS mendapatkan pemahaman teologis tentang Allah Kohelet yang tak tertandingi oleh manusia, 

tetapi pada akhirnya EGS ingin menekankan bahwa adanya kekesalan pemahaman ortodoksi di atas bagi Kohelet sendiri, yang dibuktikan dari pertanyaan di ayat 12; “Apa yang baik bagi manusia?”.[41] Di sini pemahaman yang diberikan EGS lebih mengena menurut saya, jika dikaitkan dengan ketidakmampuan manusia berpekara (ladin) dengan Allah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun