Mohon tunggu...
Julius Situmorang
Julius Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Buku Jendela Dunia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Bayi yang Gugur Itu Lebih Beruntung daripada Kita yang Hidup Ini? (Menggugat Nada Negatif akan Kehidupan: Sebuah Tafsir Pengkhotbah 6:1-12)

14 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 14 Juli 2022   21:38 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Walaupun kekayaan, harta benda dan kelimpahan mereka miliki tetapi tidak bisa mereka nikmati pada saat ini, mereka tetap memikirkan hal-hal positif dalam menjalani situasi pandemi Covid-19 ini. Bahkan program-program pemerintah yang baru-baru saat ini sedang gencar-gencarnya menggalangkan kehidupan normal yang baru (new normal). 

Jadi tentu saja sepahit-pahitnya kehidupan dalam dunia ini jauh lebih berharga dari pada bayi yang gugur tersebut. Memang bayi gugur tidak perlu menikmati penderitaan seperti yang digambarkan pada konteks ayat 2 dan 3, atau konteks masa kini, tetapi bayi gugur juga tidak memiliki kesempatan untuk berusaha dalam menjalani kehidupan itu sendiri. 

Bagi Kohelet tidak dapat dihindari bahwa seseorang akan mengamati kejahatan yang ada (Pkh. 4: 1-3), tetapi orang juga dapat “melihat yang baik,” yaitu, menikmati apa yang dimiliki seseorang di masa sekarang.[21] 

 Di sisi lain EGS dan Fox sepakat bahwa bayi gugur juga lebih tenang/tentram (nakhat), jika dibandingkan orang malang yang dideskripsikan pada ayat 2 dan 3. Merujuk pada C. L. Seow kata nakhat harus dilihat bersamaan dengan penggunaan kata nakhat di pasal 4: 6 dan pasal 9: 17.

[22] Di pasal 4: 6 dipakai nakhat untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih baik dari pada dua gengam jerih payah dan usaha menjaring angin. Di sini ketenangan (nakhat) dilekatkan dengan aktifitas kehidupan manusia yang hidup bukan yang telah mati. 

Sedangkan di pasal 9: 17, nakhat dikaitkan dengan perilaku yang baik ketika orang berhikmat berbicara. Ternyata di kedua ayat lainnya, kata nakhat selalu berhubungan dengan perilaku orang yang masih hidup. Jadi ketenangan adalah sifat yang dikaitkan dengan suasana kehidupan seseorang yang masih hidup. 

Sedangkan dalam pasal 6: 5 ini nakhat dikaitkan dengan bayi gugur yang mati. Secara sederhana saya menganggap Kohelet tidak konsisten di sini, pertama dia menggunakan ketenangan untuk merujuk pada aktifitas kehidupan manusia. 

Kedua di pasal 6: 5 ketenagan dikaitkan dengan bayi gugur, yang jelas bukan aktifitsas kehidupan manusia. Terakhir di pasal 9: 17 digunakan kembali untuk aktifitas kehidupan manusia. Jadi jika mengacu pada sifat ketenangan yang dimaksud Kohelet di 2 ayat lainnya, saya rasa ketenangan tidak ada jika hidup saja tidak pernah. 

Memang bisa saja pengertian ketenangan di sini dikaitkan dengan ketenangan abadi, atau kematian.[23] Berarti bayi gugur lebih merasakan kematiannya dari pada orang yang digambarkan pada ayat 2 dan 3. Kemungkinan yang terakhir bisa saja menjadi opsi dalam menafsirkan ayat 5 ini. 

Tetapi apa maksudnya lebih merasakan kematian? Mungkin itu yang dimaksud dengan meninggal tanpa harus merasakan kehidupan di bawah bayang-bayang maut terlebih dahulu. 

 

  • Ungkapan lain tentang orang yang memiliki kekayaan, harta benda dan kelimpahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun