Mohon tunggu...
Just Riepe
Just Riepe Mohon Tunggu... Guru (Honorer) -

I am a simple people (Reading, writing, singing, watching, traveling)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

You?

2 April 2017   13:07 Diperbarui: 4 April 2017   15:13 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ummi online

Langit terlihat mendung, suasana kelabu menghiasi seluruh kota Bandung. Angin bertiup kencang, menggoyangkan dahan-dahan pohon pelindung yang berdiri di tepi jalan, daunnya berguguran. Udara begitu menusuk, mungkin karena sudah di puncak musim penghujan.

Di sebuah jalan perumahan yang cukup lengang, seorang gadis berjalan tergesa, wajahnya murung, seperti menahan kesedihan yang mendalam. Ia berhenti di depan sebuah rumah yang bergaya minimalis. Tanpa ragu segera membuka pagar dan menerobos masuk. Sesaat berhenti di depan pintu, kemudian memijit bel yang tersedia di situ. Tak lama berselang, muncullah seorang gadis lain dari dalam rumah. Gadis yang sebaya dengannya.

“Hai, mau kesini kok gak bilang-bilang dulu? Untung aku gak jadi pergi, masuk yu,” ajak gadis pemilik rumah itu riang, begitu tahu siapa yang datang, ternyata Raisya, sahabatnya sejak kuliah dulu.

“Ann...” Hanya itu yang keluar dari mulut Raisya, suaranya terdengar pilu. Dan tanpa berkata-kata lagi, ia pun merebahkan tubuhnya di pelukan Anna. Beberapa detik kemudian, air matanya tumpah ruah tak terbendung, seiring rintik hujan yang mulai turun di luar sana. Anna tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya, ia tak mengerti mengapa sahabatnya berbuat seperti itu.

“Sya? Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” Anna bertanya lembut. Sementara Raisya masih belum bisa menghentikan tangisnya, mungkin kesedihannya masih belum terlampiaskan.

“Ya udah, kita masuk dulu yu, tar kamu ceritain di dalam ya, di sini malu dilihat tetangga.” Anna mengajak, sambil membimbing tangan Raisya. Dan, sesampainya di kamar, Anna mendudukkan Raisya di tempat tidur. Ya, agar lebih rileks. Dulu sewaktu kuliah, Raisya memang sering datang ke situ, bahkan sering menginap segala.

“Kamu tunggu dulu ya, aku mau ambil minum,” Anna berkata lirih, lalu segera ke dapur. Dan tak perlu waktu lama sudah kembali dengan segelas air putih di tangan. “Minum Sya, biar lebih tenang.” Anna menyerahkan gelas itu pada sahabatnya. Raisya menerima dan berusaha meneguk air itu, Anna membantu memegangi.

“Ada apa sebenarnya, Sya? Piyu?” tebak Anna, setelah dirasa sahabatnya mulai tenang. Namun, begitu mendengar nama itu, tangis Raisya kembali pecah. Anna pun segera memeluk sahabatnya, dan membiarkan ia puas dengan tangisnya.

Untuk beberapa saat mereka pun saling diam. Hanya isak Raisya yang masih terdengar. Dan, meski sebenarnya Anna begitu penasaran, ingin segera mengetahui apa yang telah terjadi pada sahabatnya, namun ia tidak bisa memaksanya untuk bercerita sekarang. Ia cukup mengerti kondisi Raisya saat ini, toh nanti pun jika Raisya sudah merasa puas, pasti akan menceritakan semuanya.

Perlahan-lahan Raisya melepaskan rangkulannya, lalu menarik nafas dalam-dalam, mungkin untuk menghempaskan semua kepedihan yang ada di hati. Tangisnya mulai reda.

“Ann...” bisik Raisya lirih, suaranya terdengar parau.

“Iya, Sya,” jawab Anna, juga dengan suara lirih.

“Sakiiitt... sesek banget....” ungkap Raisya sambil meletakkan tangannya di dada, tak terasa air matanya menetes kembali. Anna segera memberikan gelas yang masih dipegangnya, untuk diminum Raisya.

“Ya udah, jangan dipaksa, kamu istirahat aza dulu, hari ini libur, kan?” saran Anna. Sebenarnya ia tidak membutuhkan jawaban, karena memang dimana-mana kalau hari Minggu, kantor pasti libur.

“Piyu, Ann... dia, dia, dia udah nolak aku, semalem...” bisik Raisya dengan suara tersendat-sendat, lidahnya seolah tercekat. Ia merasa sulit mengatakan ini, sesulit menerima kenyataannya.

“Yang bener, Sya? Masa sih? Bukannya...” seru Anna kaget. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan sahabatnya. Tapi, justru, Raisya segera mengangguk, membenarkan. Mungkinkah disaat seperti ini, Raisya berbohong?

“Yang bener, Sya?” selidik Anna, masih belum percaya sepenuhnya. Raisya pun kembali mengangguk.

“Kalau begitu, Piyu memang keterlaluan!” umpat Anna kesal, “Kok bisa sih Sya? bukannya kemaren di telpon, Kamu bilang, kalau akhirnya Piyu akan ngajak Kamu dinner, setelah sekian lama Kamu menunggunya?” lanjutnya masih kesal. Anna masih ingat pada hari Sabtu kemarin, Raisya meneleponnya dengan riang, katanya malam Minggu tadi, Piyu akan mengajaknya dinner di Honey Cafê, sebuah tempat yang cukup familiar di kota Bandung, dan biasa dikunjungi pasangan-pasangan yang menginginkan suasana romantis dan previlage. Tidak mungkin Piyu mengajak Raisya ke situ, kalau tidak ada moment yang special. Tapi, lagi-lagi Raisya mengangguk.

“Aku gak ngerti, Sya, apa sih maunya si Piyu itu!” rungut Anna masih kesal. Raisya menggeleng.

“Aku juga tidak tahu, Ann, kok dia tega sih ngomong begitu sama aku?” sesal Raisya seperti pada dirinya sendiri, suaranya terdengar semakin parau. “Kurangnya aku apa, coba?!”

“Jadi, semalem, Piyu ngajak kamu dinnercuma buat itu?! Aku bener-bener gak ngerti!” rungut Anna lagi. Lalu meminum air putih yang masih tersisa di gelas, sampai habis. Dan setelah kosong, segera menaruhnya di meja.

“Aku juga gak ngerti, Ann, padahal aku udah excited banget, begitu Piyu ngajakin aku dinner tadi malem. Makanya aku langsung telpon Kamu, aku pikir, dia bakal nyatain cintanya sama aku, tapi ternyata, bukan untuk itu Ann, tapi justru, buat nolak aku. Hiks hiks hiks...” jelas Raisya diakhiri dengan tangisan, mungkin terbayang lagi kesedihannya, “Ann, dia bilang, katanya, aku... aku bukan tipe dia, hiks hiks hiks... dan dia minta, supaya aku melupakannya...” lanjutnya disela isaknya yang kembali mengeras, “Aku harus gimana coba, Ann? Aku sakit...!” lanjutnya lagi, sambil menyeka air matanya yang sudah menggenang di pipi.

Anna terdiam. Sungguh tak menyangka kalau cerita indah itu akan berakhir seperti ini. Ia tahu betul betapa besarnya cinta Raisya pada Piyu. Dan ia pun tahu, bagaimana sikap Piyu pada Raisya akhir-akhir ini. Dulu memang Piyu sangat cuek dan mendiamkan Raisya, namun begitu semester akhir, Piyu seperti membuka hatinya untuk Raisya. Mereka pun terlihat mulai bisa menyesuaikan diri satu sama lain. Tentu saja jalan menuju komitmen terbuka luas. Maka sungguh keterlaluan, jika tadi malam Piyu berlaku seperti apa yang diceritakan Raisya.

Sewaktu kuliah dulu, Raisya dikenal sebagai gadis yang pintar, rajin dan periang. Selain itu, ia juga  memiliki semangat yang tinggi dalam belajar. Meski tidak termasuk tipe kutu buku juga, namun ia memiliki fokus yang jelas, kapan harus menyelesaikan kuliahnya. Di sisi lain, ia termasuk orang yang telat mengalami masa puber. Masa hingga tingkat tiga belum pernah sekalipun punya pacar. Ketika Anna menanyakan hal itu, Raisya hanya menjawab, “Belum pengen aza, belum nemu yang srek” ujarnya cuek, walaupun Anna juga tahu, kalau selama ini banyak yang suka sama Raisya.

Dan, sebagai sahabat, Anna bisa merasakan kalau sejak tingkat tiga akhir ada perubahan yang signifikan pada diri Raisya. Awalnya ia hanya memendam dalam hati dan hanya memperhatikan saja gejala itu, namun setelah sekian lama hanya menebak-nebak tanpa kepastian, Anna pun tergoda untuk menanyakannya langsung.

“Sya, kemaren waktu aku nganter ponakanku ke toko buku, aku ketemu Piyu disana,” pancing Anna suatu waktu, saat mereka sedang jajan di kantin.

Raisya yang sedang menyeruput es jeruk, segera melepaskan sedotannya, “Yang bener? Emang dia suka ke toko buku?” tanya Raisya sumringah. Anna merasa pancingannya berhasil.

“Kalau itu sih aku gak tahu, Sya, tapi mungkin juga sih, soalnya....”  jawab Anna sengaja menggantung, untuk melihat reaksi Raisya berikutnya.

“Soalnya apa, Ann?” selidik Raisya penasaran.

“Mmm, mungkin nyari literatur atau referensi terbaru biar pengetahuannya bertambah, dia kan hobi banget sama yang namanya ikan hias,” tebak Anna, sengaja membahas hobi-nya Piyu.

“Kalau itu mah aku percaya, soalnya yang namanya Piyu itu paling hobi sama yang namanya ikan hias. Coba Kamu tanya deh jenisnya apa? Asalnya dari mana? makanannya apa? Pasti dia akan jawab dengan lengkap, bahkan dia juga tahu nama latinnya apa? Dia sudah hapal di luar kepala,” jelas Raisya bersemangat.

“Masa sih Sya? Sampai segitunya?” tukas Anna, pura-pura penasaran.

“Ya emang gitu, Ann, mungkin dia salah masuk jurusan kali ya? Harusnya dia masuk biologi atau perikanan,” jawab Raisya mantap.

“Husy, tapi ngomong-ngomong, kok Kamu tahu sampai sejauh itu tentang Piyu?” Anna mulai mengarah pada pertanyaan inti.

“Ya kebetulan aza tahu, emangnya kenapa?” kelit Raisya.

“Ya gak apa-apa sih,” Anna tersenyum, “Trus kalau hobinya Anton, apa?” lanjutnya dengan senyum misterius.

“Anton? Yang sering telat itu? Setahu aku sih, dia suka bola...” jawab Raisya tidak yakin.

“Kok kaya yang gak yakin gitu, sih, beda sama waktu Kamu jelasin hobinya Piyu, Kamu apal banget, jangan-jangan...” goda Anna, pertanyaannya mulai mengerucut.

“Jangan-jangan apa?” kelit Raisya lagi, wajahnya terlihat memerah. Anna semakin yakin dengan prasangkanya. Senyumnya semakin lebar.

“Sya, kita itu sudah lama bersahabat, jadi Kamu gak bisa bohong dari aku, aku udah tahu kok, kalau Kamu... suka sama Piyu. Ya, kan?” tuding Anna pada sasarannya. Raisya tampak semakin gugup, wajahnya semakin memerah.

“Ya kan, Sya? Aku gak salah, kan?” Anna semakin menyudutkan. Raisya tidak bisa mengelak lagi, ia mengakui, memang benar, di dalam hatinya ada perasaan suka sama Piyu.

“Ann, gak apa-apa kan kalau aku suka sama Piyu?” tanya Raisya malu-malu. Wajahnya sedikit menunduk.

“Ya gak apa-apa lah Sya? Emangnya kenapa? Itu hak Kamu, aku malah seneng kok kalau akhirnya sahabatku ini sudah menemukan,” jawab Anna serius, akhirnya ia mendapat kepastian, jadi tidak perlu lagi menebak-nebak dalam hati.

“Tapi, Ann...” ujar Raisya lirih, seperti ada yang mengganjal di hatinya.

“Tapi apa Sya?” tukas Anna ingin tahu.

“Aku gak yakin, Ann, kayanya Piyu gak suka sama aku, dia cuek banget, gak pernah nanggepin aku...” ungkap Raisya pesimis.

“Ah, perasaan Kamu aza kali, Piyu orangnya supel kok, bisa ngobrol sama siapa aza,” sanggah Anna, “Pokoknya, Kamu gak boleh nyerah ya, kejar terus! Segala sesuatu kan butuh pengorbanan, dan pastinya aku selalu dukung Kamu, ok,” lanjutnya memberi semangat, sambil menepuk bahu Raisya. Raisya tersenyum, tenang.

“Thanks ya Ann, ini cinta pertamaku...” kata Raisya, matanya berbinar.

“Nah gitu dong, chayyo!”

Sejak saat itu, Raisya mulai menunjukkan perhatianya pada Piyu. Memang benar, Piyu seperti kurang suka. Dan sebagai sahabat, Anna tidak mau mengendurkan semangat Raisya, ia terus mendukung dan membantunya mencari strategi-strategi yang mungkin bisa meluluhkan hati Piyu.

Anna tidak mau sahabatnya patah hati, apalagi ini cinta pertamanya. Dan sepertinya Piyu memang cocok untuk Raisya. Supel, rapi dan tentu saja ganteng. Anna berharap, semoga suatu hari nanti cinta mereka bisa bersatu.

Namun, hingga sejauh ini belum ada perkembangan yang berarti, Piyu tetap saja bersikap cuek sama Raisya, bahkan terkesan menjauh dan membuat dinding pemisah. Ataukah Piyu memang tidak suka sama Raisya? Tapi alasannya apa? Raisya anak yang baik, cantik, ramah, dan tidak pernah membuat masalah. Kalau memang benar Piyu tidak suka sama Raisya, tidak perlu bersikap seperti itu, sedikit menjaga perasaan Raisya mungkin akan lebih bijaksana.

Sebenarnya, Anna merasa kasihan sama Raisya, ia sering kecewa karena sikap Piyu. Piyu seolah tidak pernah menganggapnya ada. Namun, Anna juga tidak mau sahabatnya kehilangan harapan dan cinta. Ia tahu betul, semakin hari, cinta Raisya pada Piyu semakin besar. Meski sering dikecewakan, tapi cinta Raisya begitu tulus.

“Sya, gimana perasaan Kamu sekarang?” tanya Anna suatu waktu.

“Maksud Kamu?” Raisya balik tanya.

“Maksudku, Kamu... tidak kepikiran untuk nyari yang lain?” tanya Anna lagi hati-hati.

Raisya tidak langsung menjawab, matanya menerawang, hanya hembusan nafasnya yang terdengar. “Oh, aku juga gak tahu Ann, entahlah, dalam hati aku masih ada nama dia, walaupun dia sering nyuekin aku,” jelasnya jujur.

Anna bisa memahami, memang tidak mudah untuk melupakan seseorang yang benar-benar sudah melekat di hati. “Aku hanya ngerasa ini gak adil aza, Sya. Kamu sudah melakukan banyak hal untuk dia, tapi dianya sendiri gak peduli sedikitpun.”

“Iya sih, Ann, kadang aku juga ngerasa begitu, tapi kok, semakin dia nyuekin aku, rasa cinta ini semakin besar, dan di hati aku masih berharap, suatu saat dia bakal bisa nerima aku.”

“Tapi Sya, yang dia lakukan sekarang ini sudah kelewatan, sudah lebih dari cukup.”

“Iya Ann, tapi...”

“Tapi apa Sya? Emangnya Kamu gak denger temen-temen sering ngomongin Kamu?”

“Ann, aku hanya ingin memperjuangkan cintaku, apakah itu salah? Bukankah kata Kamu, segala sesuatu itu perlu pengorbanan?!”

“Betul Sya, tapi kalau karena itu kita jadi ancur, kenapa tidak mencari yang lain saja?”

“Aku tahu apa yang bisa membuatku bahagia!” kata Raisya tegas.

“Ya sudah kalau begitu, aku gak bisa apa-apa, aku hanya khawatir sama Kamu, aku gak mau Kamu terluka terlalu dalam,” kata Anna, “Mudah-mudahan sih gak begitu, dan semuaya bisa berjalan lancar sesuai yang diharapkan, aku tetap dukung Kamu kok.”

“Thanks ya, Ann.”

Dan, meskipun Piyu masih sering bersikap tak acuh, Raisya tetap bergeming! Ia terus maju memperjuangkan cintanya. Ia tak peduli dengan apa yang digunjingkan teman-temannya. Ia berkeyakinan, suatu saat Piyu akan berubah dan menerimanya.

Dan di akhir semester 8, angin segar mulai menerpa wajah Raisya. Sepoi-sepoi, mendamaikan hatinya yang selama ini terasa gundah. Semuanya bermula saat ada jam kosong di kampus. Di tingkat akhir seperti ini memang perkuliahan hanya tinggal sedikit, selebihnya dipakai untuk penelitian dan menyusun skripsi.

Sambil menunggu jadwal berikutnya, dan juga mendinginkan otak yang digunakan untuk berpikir terus, iseng-iseng anak lelaki bermain basket. Anak perempuan ikut menonton. Mereka memanfaatkan momen seperti ini untuk tertawa, bercanda, bersama, karena mereka menyadari, mungkin sebentar lagi  akan berpisah.

Permainan di lapangan semakin seru, mereka bermain kompak, meski terkadang diselingi tingkah mereka yang menggelikan, seperti Restu yang menarik baju Raka, sampai hampir melorot, Ivan yang sepatunya lepas terinjak Dani padahal sedang shoot ke dalam keranjang, dan banyak lagi. Membuat suasana semakin heboh, dan gelak tawa bersahutan.

Suatu ketika, Piyu menguasai bola, ia men-drible dengan lincah, dan berhasil menerobos pertahanan lawan. Ia pun bersiap memasukan bola ke dalam keranjang, namun tiba-tiba Dimas datang menghadang hingga gerakannya menjadi terbatas, Piyu pun memutuskan mengoper bola ke Yoga yang berada di dekat keranjang. Di saat itulah ia terpeleset, bola yang dipegangnya melesat tidak terarah, dan tepat mengenai kepala Raisya yang duduk dipinggir lapangan. Seketika Raisya pingsan.

Suasana berubah panik, permainan dihentikan. Raisya segera dibawa ke ruang kesehatan. Untunglah, dokter jaga sedang tidak sibuk, jadi Raisya bisa langsung ditangani. Piyu tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Ia tampak gelisah, karena jika sampai terjadi sesuatu dengan Raisya, mungkin dirinyalah yang patut dipersalahkan. Mudah-mudahan, Raisya tidak kenapa-napa, ratapnya dalam doa. Di ruang kesehatan, hanya Piyu dan Anna yang menunggui Raisya, karena teman-teman lain harus mengikuti perkuliahan berikutnya.

Tak berapa lama, kepala Raisya tampak bergerak-gerak, Raisya siuman. Perlahan-lahan ia membuka matanya, masih remang-remang, banyak bintang, dan hanya ada bayangan. Kepalanya terasa pusing.

“Sya, Sya....” Samar-samar terdengar suara memanggilnya, ia pun membuka matanya lagi, ternyata Anna, sahabatnya. Tapi kenapa Anna jadi ada dua?

“Ann...” panggil Raisya pelan.

“Iya, Sya, Kamu sudah sadar? Syukurlah...” kata Anna sambil mendekati Raisya, lalu memegang keningnya.

“Jangan terlalu banyak bergerak dulu” kata dokter yang tiba-tiba sudah ada disitu, mungkin dipanggil sama Piyu.

“Ann, aku di mana? Kok ada dokter sih? Tadi siapa yang menang?” tanya Raisya polos. Mendengar itu, Anna dan dokter menahan tawa. Raisya... Raisya, disaat seperti ini masih sempat menanyakan siapa yang menang? Ada-ada saja. Sementara Piyu mulai bisa bernafas lega.

“Anda sedang dirawat di ruang kesehatan, karena tadi anda pingsan cukup lama, tapi syukurlah sekarang sudah siuman,” jelas dokter. Raisya tampak mengerti.

“Syukur deh, Kamu sudah siuman, sorry ya tadi...” ujar Piyu meminta maaf. Menyadari Piyu ada di situ, Raisya sedikit tersentak, jantungnya berdegup lebih kencang.

“Pusiiing... aduuuhh...” Raisya mengaduh, sambil memegangi kepalanya. Wajah Anna dan Piyu kembali tegang, kepanikan kembali mereka rasakan. Dokter langsung memeriksa Raisya.

“Tidak apa-apa, hanya efek benturan saja,” jelas dokter, “sebaiknya diantar pulang dan istirahat di rumah, Insya Allah besok sudah pulih kembali.”

“Iya, Dok,” jawab Piyu dan Anna hampir bersamaan. Mereka pun mengemasi barang-barang Raisya, dan setelah semua siap, Raisya diantar pulang naik motor Piyu.

Piyu membonceng Raisya dengan kecepatan sedang. Mungkin untuk kehati-hatian agar kondisi Raisya tidak semakin parah. Ia tidak mau menambah kesalahannya lagi. Sementara perasaan Raisya menjadi tidak karuan. Betapa tidak! Ia sungguh tidak menyangka bisa dibonceng sama Piyu, naik motor kesayangannya, dan hanya berdua saja! Ia tak percaya kalau dirinya akan mengalami hal seperti ini. Ini seperti mimpi. Bahkan sebelumnya dalam mimpi pun ia tak berani berkhayal sejauh ini. Bukankah selama ini Piyu tak pernah sedikitpun mempedulikanya? Saat itu juga Raisya merasa sudah sembuh. Pusingnya hilang.

“Di depan ke arah mana?” tanya Piyu, mengingat di depan ada perempatan. Ia belum tahu pasti alamat rumah Raisya. Tapi, tidak ada jawaban dari Raisya.

“Hai...! Di depan ke arah mana?!” tanya Piyu lagi sambil menyenggol Raisya.

“Husy!” Raisya tersentak, Piyu malah tersenyum.

“Di depan kemana?!” ulang Piyu sekali lagi dengan suara diperkeras.

“Apa? Kamu ngomong apa? Gak kedengeran!” jawab Raisya juga dengan suara keras. Mungkin suara Piyu terhalang helm, jadi tidak begitu jelas terdengar ke belakang.  Menyadari hal itu, Piyu membuka helmnya, dan mengulanginya sekali lagi, “Di depan kemana?!”

“Oohh...” Raisya kini mengerti, “Lurus aza dulu, sampai ada Klinik Bersalin, trus belok kiri, ikuti jalan itu, rumahku nomor 12, udah deket kok.” Raisya memberi petunjuk.

Piyu faham, lalu mengikuti petunjuk itu, dan di depan rumah yang dimaksud, ia menghentikan motornya. “Sudah sampai, yang ini kan?” tanyanya memastikan. Raisya mengangguk, lalu turun dari motor.

“Masuk dulu, yu?” ajak Raisya.

“Ah, gak usah, aku langsung balik aza ya,” tolak Piyu.

“Bentar aza, Yu. Masa sudah sampai sini gak mampir?”

“Ok deh, tapi sebentar ya,” jawab Piyu akhirnya, lalu mematikan mesin motornya. Raisya tersenyum, dan segera masuk ke rumah, Piyu mengikuti.

“Duduk, Yu. Aku siapin minum dulu,” kata Raisya, dan tanpa menunggu jawaban, segera melesat ke dapur untuk membuat minuman. Begitu kembali, ia tidak menemukan Piyu di kursi, melainkan sedang asyik berdiri mengamati akuarium besar yang lerletak di sisi kiri ruang tamu, di dalamnya terdapat bermacam-macam ikan hias. Raisya membiarkan saja, hingga akhirnya Piyu menyadari kalau Raisya sudah ada di situ.

“Eh, sorry, aku langsung liat-liat aza gak minta izin dulu,” kata Piyu, tersipu.

“Gak apa-apa, nyantei aza,” jawab Raisya, sambil menaruh minuman di meja, lalu berjalan medekati Piyu, ikut mengamati, “Ini mah ikannya biasa aza, gak ada yang bagus.”

“Gak kok, ini bagus, koi yang itu juga bagus, warnanya jelas dan cerah,” puji Piyu sambil menunjuk ikan koi yang berenang lincah di dalam aquarium, “Siapa yang koleksi ini?”

“Aku, hehe... tapi masih pemula banget, gak seperti Kamu yang udah expert, katanya kemarin abis dapet award ya? Selamat...” puji Raisya, sambil menaburkan pakan ke dalam Aquarium. Seketika ikan-ikan hias itu saling berebut, gerakannya lincah dan lucu. Sebenarnya, Raisya tidak begitu suka ikan hias, namun karena tahu Piyu hobi banget, ia pun jadi ikut-ikutan.

“Kalau bisa, jangan terlalu sering dikasih makan, nanti cepat gendut dan gerakannya lamban, gak lincah lagi,” komentar Piyu, Raisya mendengarkan dengan seksama, seperti seorang murid yang sedang mendengarkan petuah gurunya. “Ah, aku juga belum pakar kok, masih belajar,” lanjutnya merendah. Tapi apapun itu, kebahagiaan Raisya semakin bertambah, apalagi Piyu terlihat lebih friendly, tidak seperti biasanya, yang jangankan ngobrol, menoleh pun tidak.

“Ah, Kamu bisa aza, mana mungkin kalau bukan pakar bisa dapet award,” puji Raisya. “Kalau suatu saat aku nanya tentang ikan hias, kita bisa diskusi lagi, kan?” lanjutnya penuh harap.

Piyu mengangguk, “Boleh, kalau aku bisa,” jawabnya. Yess! Teriak Raisya gembira, meski hanya dalam hati. Setidaknya ia akan memiliki banyak kesempatan untuk bisa ngobrol dengan Piyu.

“Thanks ya, sebelumnya,” kata Raisya senang. Lalu merekapun kembali asyik dengan ikan-ikan hias itu yang terus saja berenang kesana-kemari.

“Eh, kayanya udah kelamaan di sini, aku cabut dulu, ya.” Piyu pamit.

“Oh, ya udah, makasih udah nganterin aku, sama ngasih tips,” jawab Raisya, tak lupa menyelipkan senyum di bibir.

“Ok, aku juga sorry ya tadi, gak sengaja, trus gimana pusingnya sekarang? Istirahat aza ya, semoga cepet baikan.”

Raisya mengangguk. Piyu pun segera keluar dan langsung naik ke motornya. Raisya mengantar sampai depan.

“Piyu...” panggil Raisya. Piyu menoleh.

“Hati-hati,” pesannya, sambil menatap Piyu dengan tatapan yang dalam. Piyu mengangguk, dan segera menarik gas untuk segera pergi dari situ. Raisya memandangi sampai Piyu hilang di belokan.

Oh Tuhan, terima kasih, Engkau telah mendengar doa-doaku, bisik hatinya senang. Ia pun segera kembali masuk ke rumah. Dan di depan aquarium, ia berhenti, “Thanks ya teman-teman, karenamu, Piyu mau ngobrol lama denganku,” katanya sambil tersenyum ke arah ikan-ikan hias koleksinya.

Hari berikutnya, sikap Piyu tampak berubah pada Raisya. Ia tidak cuek lagi dan bisa lebih menghargai Raisya. Mereka pun jadi sering terlihat ngobrol bareng untuk membahas hobby mereka. Bahkan, kalau ada event yang berhubungan dengan ikan hias, baik pameran atau kontes, mereka terlihat pergi bersama untuk mengunjungi event tersebut. Sepertinya mereka sudah nyambung dan klop banget, mudah-mudahan jalan untuk menuju tahap berikutnya mulai terbuka.

Raisya pun merasa tidak canggung lagi pada Piyu, ia bisa ngobrol apa saja dengannya, bukan hanya hobi mereka, tapi juga masalah lainnya, seperti kuliah, keluarga dan masa depan. Bahkan kadang Raisya sering nanya hal-hal yang nyerempet ke arah pribadi, seperti, kenapa Piyu belum punya pacar? Atau tipe cewek seperti apa yang dia suka? Dan lain-lain. Piyu hanya nenjawab, “Belum kepikiran, mungkin nanti saja kalau sudah lulus dan punya pekerjaan tetap.”

Tentu saja jawaban Piyu sangat berarti bagi Raisya, setidaknya ia masih punya waktu untuk terus memberi perhatian dan menjaga kedekatan mereka, semoga dengan begitu Piyu semakin menyadari kalau Raisya begitu tulus mencintainya.

Hingga setelah lulus pun, Raisya tetap keep contact sama Piyu, ia tak pernah bosan dan menyerah untuk mengejar cinta Piyu. Perjuangannya begitu gigih, karena cintanya begitu besar.

Namun, sampai sejauh ini Piyu masih saja bungkam. Ia belum menyatakan rasa cintanya, dan mengajak Raisya untuk memulai hubungan yang lebih serius, atau meningkatkan grade hubungan mereka menjadi bukan lagi sekedar teman biasa. Padahal Raisya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Apakah Piyu benar-benar tidak mengerti perasaannya? Apakah perjuangan dan pengorbanannya selama ini dirasa masih kurang di mata Piyu? Tanyanya dalam hati, galau. Padahal sejak kuliah dulu, semua orang pun sudah tahu kalau ia begitu sayang sama Piyu? Lantas kenapa Piyu masih saja tidak mau mengerti? Bukankah sekarang mereka sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan tetap? Alasan apalagi yang menghalangi? Atau mungkinkah diam-diam Piyu sudah memiliki gadis lain? Tanya hati Raisya lagi, gundah. Haruskah ia yang memulai menyatakan perasaannya?

Dan, semua itu terjawab, saat tadi malam, Piyu mengajaknya dinner. Dengan tegas, Piyu berkata, “Sorry Sya, bukan aku tidak menghargai perasaan Kamu selama ini, tapi... Kamu bukan tipe aku, semuanya tidak bisa dipaksakan, jadi aku harap, Kamu bisa melupakan aku. Aku ngucapin banyak terima kasih atas perhatian dan kebaikan Kamu selama ini, semoga Kamu bisa menemukan yang lebih baik dari aku. Kamu cantik dan baik hati, pasti banyak yang suka sama Kamu. Sekali lagi sorry, Sya, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.” Lalu Piyu pergi meninggalkan Raisya yang tersentak kaget, seperti disambar petir di siang bolong. Ia tak menyangka kalau Piyu akan melakukan ini kepadanya, dan ia pun tak menyangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Seketika Raisya lemas, tak berdaya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Piyu, yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati, tempat ia menggantungkan harapan dan bahagianya, telah menolaknya dengan tegas. Sungguh ia tak bisa menerima kenyataan ini. Ternyata cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Piyu tak mungkin bisa direngkuh kembali. Semuanya sudah terucap, dan penantiannya selama ini hanya menyisakan kecewa yang dalam.

“Sya,” panggil Anna, lirih. Raisya tidak bergerak sedikitpun, ia masih saja tenggelam dalam kesedihannya, “Sudahlah Sya, jangan dipikirin terus, aku gak mau nanti Kamu malah sakit,” ingatnya, namun Raisya tetap bergeming.

“Sya, aku pun gak nyangka kalau akan berakhir seperti ini, aku pikir Piyu sudah bisa memberi hatinya buat Kamu, karena akhir-akhir ini aku lihat, kalian memang semakin dekat, tapi...” ujar Anna, menggantung. Raisya masih saja diam.

“Ah, sudahlah, jangan sedih terus ya, Sya. Mungkin ini yang terbaik bagi semuanya,” kata Anna, bijak.

“Tapi Ann, hatiku masih saja sakit, aku masih belum bisa menerimanya,” ujar Raisya, getir.

“Aku ngerti Sya, tapi Kamu harus kuat, ya. Kadang sesuatu terjadi tidak seperti yang kita inginkan, aku yakin pasti ada hikmah di balik semua ini, dan Kamu pasti akan mendapat pengganti yang lebih baik dari dia,” hibur Anna, Raisya mengangguk, meski terlihat dipaksakan. “Lalu apa rencana Kamu, sekarang?”

“Aku gak tahu Ann, aku tidak mau apa-apa, aku ingin semuanya terhenti,” jawab Raisya dengan tatapan menerawang.

“Husy!” sentak Anna, lalu merangkul sahabatnya, “Sabar ya Sya, Kamu harus kuat, jangan menyerah! Karena pada dasarnya Kamu sudah menang, cintamu begitu tulus, jangan sampai ternoda oleh keputusan yang tergesa-gesa,” bisiknya di telinga Raisya, lalu mendekap sahabatnya dengan erat.

***

“Hai, Sya, udah lama nunggu ya, sorry telat, abis macet banget,” kata Anna beralasan begitu tiba di depan Raisya yang sudah menunggu cukup lama di depan gerbang Royal Mall. Hari ini sepulang kerja dari kantor masing-masing, mereka janjian untuk jalan bareng, biasa refreshing weekend, sekalian nyari sesuatu.

“Kebiasaan!” ledek Raisya, Anna hanya tersenyum.

“Ya udah, gimana, mau langsung hunting atau mau makan dulu?” tawar Anna.

“Mending nyari-nyari dulu, yu. Nanti baru makan, biar enak makannya,” ajak Raisya, Anna setuju. Lalu mereka pun berjalan menuju gerai-gerai yang ada di mall itu. Dan setelah puas mengumpulkan barang-barang yang diinginkan, mereka pun menuju foodcourt yang terletak di lantai paling atas. Rupanya mereka sudah mulai kelaparan. Di luar, malam mulai menjelang. Tapi mereka tak peduli, toh besok hari libur.

Mereka pun memilih sebuah tempat makan yang menyediakan menu impor, mungkin hanya untuk sekedar memanjakan lidah mereka dengan sensasi rasa yang berbeda. Selain itu, suasananya cukup nyaman dan santai, karena pengunjungnya tidak begitu banyak.

Dan begitu masuk ke dalam court, mereka berpapasan dengan dua orang laki-laki yang berjalan bergandengan hendak keluar dari court tersebut. Salah satunya mereka kenal dengan baik.

“Yu...?!” sergah Raisya, wajahnya bengong, mulutnya sedikit terbuka.

Sementara, di hadapannya, lelaki itu terlihat kikuk dan segera melepaskan pegangan tangan dari pasangannya. Wajahnya terlihat memerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun