“Husy, tapi ngomong-ngomong, kok Kamu tahu sampai sejauh itu tentang Piyu?” Anna mulai mengarah pada pertanyaan inti.
“Ya kebetulan aza tahu, emangnya kenapa?” kelit Raisya.
“Ya gak apa-apa sih,” Anna tersenyum, “Trus kalau hobinya Anton, apa?” lanjutnya dengan senyum misterius.
“Anton? Yang sering telat itu? Setahu aku sih, dia suka bola...” jawab Raisya tidak yakin.
“Kok kaya yang gak yakin gitu, sih, beda sama waktu Kamu jelasin hobinya Piyu, Kamu apal banget, jangan-jangan...” goda Anna, pertanyaannya mulai mengerucut.
“Jangan-jangan apa?” kelit Raisya lagi, wajahnya terlihat memerah. Anna semakin yakin dengan prasangkanya. Senyumnya semakin lebar.
“Sya, kita itu sudah lama bersahabat, jadi Kamu gak bisa bohong dari aku, aku udah tahu kok, kalau Kamu... suka sama Piyu. Ya, kan?” tuding Anna pada sasarannya. Raisya tampak semakin gugup, wajahnya semakin memerah.
“Ya kan, Sya? Aku gak salah, kan?” Anna semakin menyudutkan. Raisya tidak bisa mengelak lagi, ia mengakui, memang benar, di dalam hatinya ada perasaan suka sama Piyu.
“Ann, gak apa-apa kan kalau aku suka sama Piyu?” tanya Raisya malu-malu. Wajahnya sedikit menunduk.
“Ya gak apa-apa lah Sya? Emangnya kenapa? Itu hak Kamu, aku malah seneng kok kalau akhirnya sahabatku ini sudah menemukan,” jawab Anna serius, akhirnya ia mendapat kepastian, jadi tidak perlu lagi menebak-nebak dalam hati.
“Tapi, Ann...” ujar Raisya lirih, seperti ada yang mengganjal di hatinya.