KKN menjadi awal perkenalan dengan sosok lelaki yang kuharap bisa menyempurnakanku sebagai seorang perempuan. Ya, dalam diam aku memerhatikan gerak-geriknya.
"Hei...ngelamunin siapa, hayo!" seru Mbak Yani, teman satu jurusan yang juga satu lokasi KKN denganku.
"Ah, nggak ngelamun kok, Mbak!"
Buru-buru aku keluar dari Posko KKN dan menuju ke motorku terparkir.
"Eh, aku ikutan!"
Mbak Yani mengejarku dan segera membonceng.Â
"Mau ke mana nih?"
"Ke kos Lia!"
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Meski Mbak Yani mencoba untuk bicara denganku. Jujur saja, aku kurang suka dengan Mbak Yani. Dia sering kepo dan tak jarang mengucapkan hal yang membuatku serba salah.
"Tya, antara Dion sama Bima, yang menurutmu baik itu siapa?" Itu salah satu pertanyaan yang dilontarkan Mbak Yani ketika semua tim KKN berkumpul dan menyiapkan untuk program sosialisasi tentang cagar budaya di kampung tempat KKN kami. Kebetulan memang di sana ada peninggalan sejarah yang belum terjamah dan malah barang-barangnya sudah banyak yang hilang entah ke mana.
Pertanyaan itu secara otomatis membuat semua pandangan tertuju kepada kami berdua. Dion yang sudah berencana untuk melamar kekasihnya setelah lulus kuliah tercengang. Bima juga. Aku jadi gugup sendiri.
"Ingat kata pesohor, nggak ada persahabatan antara lelaki dan perempuan yang murni. Pasti ada rasa yang dipendam."
"Apaan, Mbak! Kamu itu hobi tontonan gosip. Jadi kamu anggap semua yang ada di sekitarmu seperti pada tontonanmu itu!" ucapku kesal.
Mbak Yani tersenyum usil. Sementara teman lainnya menertawakannya karena memang kami sudah mulai saling mengenal kebiasaan satu sama lain.
"Biarin Yani bicara sesukanya, Tya. Cuekin saja!" Hida menepuk bahu kiriku.
***
Ting!
Notifikasi di handphone kudengar, namun aku malas membukanya. Aku ingin istirahat dulu di kos Lia, adikku. Aku sudah janji padanya kalau ke posko setelah dia pulang kuliah.
"Tya, kita dicari Pak Ketua!"Â
Mbak Yani terlihat panik. Kuhela napas panjang.
"Kamu ke posko duluan saja, Mbak. Aku nyusul!"
"Maksudmu gimana? Aku kan cuma bonceng kamu."
"Ya udah. Kita nanti ke sana. Sekarang aku mau istirahat dulu."
Kurebahkan tubuhku di kasur. Mbak Yani masih saja menggerutu dan gelisah.
"Ini!" Kuulurkan kunci motor tepat di depan hidungnya.
"Kamu ke posko. Aku nanti biar diantar Lia."
Perempuan ayu di depanku itu menatap kunci motor yang kuulurkan.
"Ambil saja, Mbak. Bilang ke temen-temen, aku lagi nunggu kepulangan Lia."
***
Sampai jelang Maghrib aku masih bertahan di kos Lia. Memang dia baru saja sampai kos. Sepulang kuliah, dia harus ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas bersama teman-temannya.
"Besok aku ada mid semester, Mbak. Aku nggak bisa antar," ujar Lia.
"Aduh, Lia... Kok kamu nggak bilang dari tadi?"
Kutinggalkan Lia. Aku mengambil wudhu dan segera shalat Maghrib. Selepas itu aku akan ke Posko KKN lagi. Akan kupesan ojek online saja. Aku tak bisa menunda lagi kepulanganku ke sana.
"Mbak, tadi Mbak Yani telepon ke nomormu."
Lia mengabarkan itu setelah aku selesai menunaikan shalat.
"Ya, aku akan hubungi Mbak Yani."
Lia mengangguk.Â
"Maaf, aku bikin Mbak jadi kacau," ucap Lia dengan suara lirih.
"Nggak, Lia. Nggak masalah."
"Tapi tadi Mas Bima marah sama Mbak."
Aku tercengang. Lia menundukkan kepalanya.
"Yang telepon itu siapa sebenarnya?"Â
"Eh...itu. Mas Bima, dengan nomor Mbak Yani."
Belum sampai aku menanggapi perkataan Lia, kudengar suara motorku di luar kos. Segera kukenakan jilbab.
***
"Kamu ini gimana, Tya? Tadi sore ada program kamu, 'kan? Malah pergi seenaknya. Nggak mikirin orang di posko?"
Aku terkejut. Kutepuk dahiku. Bagaimana bisa aku lupa jadwal pelaksanaan programku?
"Astaghfirullah. Aku lupa, Bim! Maaf."
"Sebenernya kamu kenapa sih? Tadi sudah dicari sama Dion, tahu!"
"Kalau aku lupa, gimana dong?"
Tiba-tiba kepalaku dijitak keras.Â
"Makanya fokus! Nggak mikirin Dion saja!"
"Hah? Kenapa semua orang ngira aku mikirin Dion sih?"Â
"Terus, kamu mikir apa?"
Suara keras Bima membuatku takut. Aku tak berani menatap wajahnya yang terlihat tegang. Kugelengkan kepala.
"Jangan-jangan kamu mikirin aku?"
"Nggaklah! Pede amat kamu!"
Bima berdiri di depanku. Kedua tangannya dilipat di dadanya. Dia menyunggingkan senyum sinis.
"Jujur saja. Temen-temen banyak yang bicarain sikap kamu ke aku."
Aku tertawa ringan saat Bima mengucapkan hal yang menyebalkan itu.
"Ternyata kamu nggak jauh beda sama Mbak Yani! Seneng sama pergosipan."
Ucapanku itu sukses membuat sikap sombongnya runtuh.Â
***
Sejak saat itu aku tak menggubris Mbak Yani atau teman lain kalau menggodaku. Apalagi kudengar kalau sebenarnya Bima itu lagi pedekate dengan teman dari posko KKN sebelah. Aku tak mau kalau dikira mengejarnya, meski dalam hati aku memang menaruh hati padanya.
Kusibukkan diri dengan kegiatan yang sudah terprogram. Aku mau melupakan rasa sedih dan kecewa yang pelan-pelan menyusup dalam hati.
"Hei, semangat sekali, Tya!"
Aku tersenyum sewajarnya saat Mbak Yani mulai usil.
"Iya, aku kudu semangat, Mbak. Biar lekas selesai KKN, fokus kuliah, skripsi, wisuda, terus nikah!"
"Hah, nikah?"
Kuanggukkan kepala.
"Mikirmu kejauhan, Tya!"
"Iya, memang, Mbak. Tapi ya itu tujuan akhir dari hidupku."
"Tujuan akhir hidup?"
"Iya, aku sudah ditunggu lelaki. Tapi nggak tahu, siapa dia!"Â
Perbincangan kami berdua kembali menjadi perhatian seisi posko.Â
"Jangan bilang kalau kamu dijodohkan, Tya!"
Kucubit keras Mbak Yani. Dia mengaduh. Teman-teman menertawakan kami. Sesaat kulihat ke arah Bima yang menatapku penuh misteri.
***
Kuhela napas panjang. Besok pagi aku akan wisuda. Semua anggota keluarga sudah datang untuk menyaksikan prosesi wisudaku.Â
Bertepatan dengan berakhirnya tahun ini, aku sudah bergelar sarjana. Dari grup masa KKN menyatakan kalau ada teman yang datang ke wisudaku. Di antara kami, memang aku yang paling duluan lulus kuliah.
"Cepet juga lulusmu, Tya! Motivasi tujuan akhir hidupmu sepertinya sukses!" Mbak Yani memang paling getol mengomentari hidupku.Â
Aku tak mengomentari chat itu. Kubebaskan teman-teman berspekulasi sendiri-sendiri.
***
"Mana calon kamu, Bim?" tanyaku pelan, saat berkesempatan berfoto bersama Bima. Dalam pikiranku, dia datang bersama perempuan yang didekatinya saat KKN dulu.
"Ada. Nanti aku kasih kabar."
Kuanggukkan kepala. Mengedarkan pandangan ke berbagai sisi dari tempatku berdiri.
"Yang lain ternyata nggak datang," ucapku pelan. Ada sedikit rasa kecewa karena tak ada lagi yang datang, selain Bima.
Kuhela napas. Lalu berpamitan pada Bima, untuk bergabung bersama keluargaku.
"Makasih udah dateng, Bim. Kamu lekas lulus, biar bisa cepet nikah, kayak aku."
Aku tertawa kecil. Tujuan akhir hidup akan kumulai di akhir tahun, setelah aku lulus kuliah.
Kubalikkan tubuh dan bergabung dengan keluarga yang sedang asyik menggodaku. Kutahu, lelaki yang dijodohkan denganku akan datang di hari istimewaku. Semalam ibu mengabarkannya padaku.
"Sebentar lagi, kamu akan bertemu calon suamimu. Dia datang sama bundanya."
Tak ada yang bisa kukatakan di depan anggota keluarga. Untuk memprotes keputusan orang tua juga percuma.Â
"Tiara, ke sini, Nak! Ada Tante Endah sama Mas Abim!"
Aku yang sedang merenungi nasib, tergagap. Aku mendekat ke arah ibu dan sahabatnya. Namun, aku menghentikan langkahku.Â
***
"Kenapa nggak bilang kalau kamu itu Abim?" sungutku.
Bima tertawa lepas mendapatkan pertanyaan konyol dariku.
"Kamu tahu sendiri kan, Tya... oh...bukan! Tiara maksudku. Aku Abimanyu. Sama bunda disapa Abim."
Bima mengulurkan tangannya. Aku sebal sekali dengannya. Aku merasa dikerjai.
"Tunggu dulu! Jangan-jangan selama ini kamu tahu kalau kita dijodohkan!"Â
"Hahaha...Tiara...Tiara. Kamu itu lucu!" Tangan kanan Bima menutup mulutnya yang menahan tawa.
"'Tujuan akhir hidupku ya menikah', gitu kan katamu."
Aku melengos. Dengan santainya dia mengejek dengan menirukan ucapanku. Dalam hatiku, makian-makian ketujukan kepada Bima...Abim maksudku.
"Kalau tahu kita dijodohkan, kenapa kamu mau-mau saja? Kamu 'kan ngejar cewek MIPA itu!"
"Siapa bilang? Sok tahu banget. Yang ada dia yang ngejar-ngejar aku," ucapnya, sedikit menyombongkan dirinya yang diidolakan cewek MIPA.
"Terus mana dia?"
"Ngapain aku bawa dia. Nanti Bunda marah sama aku."
Aku terdiam. Pada akhirnya aku tahu, yang dilakukan Abim seperti yang kulakukan, tak ingin mengecewakan orang tua. Meski aku kecewa dengan alasannya itu. Ada nama perempuan lain di hati calon suamiku itu.
"Kamu pasti nggak bisa bahagia denganku, Bim," ucapku, dengan mata menerawang.
"Kita lihat saja nanti. Tapi aku sangat risih dikejar-kejar sama cewek agresif."Â
Ucapan Abim tak bisa dipercaya. Mana ada lelaki yang tak bangga jadi dambaan perempuan cantik dan pintar.Â
"Aku sebenarnya malah berharap bisa bahagia dengan perempuan lain," lanjutnya.
Kutundukkan kepala. Sudah jelas, meski tak suka dengan mahasiswi MIPA, tetap ada perempuan lain di hati Abim.
"Kalau begitu, kita bisa tolak rencana orang tua kita, Bim."
"Aku nggak bisa, Tiara. Karena kamulah perempuan itu."
___
Branjang, 2-3 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H