Bima mengulurkan tangannya. Aku sebal sekali dengannya. Aku merasa dikerjai.
"Tunggu dulu! Jangan-jangan selama ini kamu tahu kalau kita dijodohkan!"Â
"Hahaha...Tiara...Tiara. Kamu itu lucu!" Tangan kanan Bima menutup mulutnya yang menahan tawa.
"'Tujuan akhir hidupku ya menikah', gitu kan katamu."
Aku melengos. Dengan santainya dia mengejek dengan menirukan ucapanku. Dalam hatiku, makian-makian ketujukan kepada Bima...Abim maksudku.
"Kalau tahu kita dijodohkan, kenapa kamu mau-mau saja? Kamu 'kan ngejar cewek MIPA itu!"
"Siapa bilang? Sok tahu banget. Yang ada dia yang ngejar-ngejar aku," ucapnya, sedikit menyombongkan dirinya yang diidolakan cewek MIPA.
"Terus mana dia?"
"Ngapain aku bawa dia. Nanti Bunda marah sama aku."
Aku terdiam. Pada akhirnya aku tahu, yang dilakukan Abim seperti yang kulakukan, tak ingin mengecewakan orang tua. Meski aku kecewa dengan alasannya itu. Ada nama perempuan lain di hati calon suamiku itu.
"Kamu pasti nggak bisa bahagia denganku, Bim," ucapku, dengan mata menerawang.