“Lalu?”
Mulutku terpasung. Pandanganku tertuju pada orang-orang di dalam kelas.
“Oh, mereka santri-santri pesantren ini,” jelas Kyai Cholil.
“Jadi…”
Kyai Cholil mengangguk,” Iya, kamu akan dididik di pesantren ini. Sama seperti teman-temanmu di sana,” kata Kyai Cholil.
Di tempat inilah episode baru kehidupanku bermula. Tak hanya gedung dan sebuah lapangan, pada bagian belakang pesantren juga terdapat pekarangan luas. Ada kandang-kandang dari bambu. Juga ratusan ekor ayam kampung dipelihara. Selain berternak, semua santri diajar bertani. Sekitar 200 meter dari pesantren ada hamparan sawah. Sehingga beras yang kami konsumsi merupakan beras hasil pertanian milik pesantren.
Aku menikmati kehidupan pensatren, tak lagi merasa sepi. Apalagi ada Miftah, kita berteman akrab. Miftah adalah sosok lelaki yang membukakan gerbang saat aku baru datang ke pesantren. Banyak ilmu bertebaran di pesantren. Tersedia beragam ilmu agama bak samudra. Luas dan dalam.
“Man ijtihada fa asaaba fa lahu ajrani, fa man ijtihada fa akhta’a lahu ajrun wahidan.”
Seorang ustadz sedang memberi penjelasan di depan kelas.
“Barang siapa yang mencari kebenaran hukum akan mendapat dua pahala jika benar. Dan mendapatkan satu pahala jika salah,” jelas sang ustadz bersuara pelan, penuh kesungguhan.
Sebegitu indah didikan ustadz dan Kyai Cholil. Waktu memang kejam. Memaksa langkah kaki melukis kenangan. Berangsur kesedihan pun terlepas. Sekejap jugalah bahagia singgah ke dalam hati.