Selesai belajar aku pergi ke sawah. Embusan angin semilir mengoyak wajah.
“Rib, ayo sini!” terlihat teman-teman memanggil.
Mereka sedang berkutat dengan panen padi milik pesantren. Bulir padi menguning membawa angin segar bagi kami. Sebab dari lahan inilah kebutuhan santri terpenuhi. Aku bertugas menadah gabah padi hasil gilingan. Terlihat kyai berdiri di pematang. Serupa, berkopiah hitam dan sarung bermotif kotak-kotak. Ia memanggilku. Memerintah untuk mendekat.
“Nanti sekarung beras ini kamu jual ke pasar. Tapi lokasinya agak jauh. Miftah dan teman yang lain akan mengantarmu. Ini bekal untukmu, ambilah,” tutur kyai.
Tanganku menengadah. Beberapa uang receh diberikan. Semoga saja cukup. Miftah dan beberapa teman mengantarku sampai tempat pemberhentian angkot. Sebuah angkot berwarna kuning berhenti.
Suara klakson terdengar dan sopir pun menyapa, “Kemana Mas?”
“Pasar Sampang, Pak!”
Sang sopir mengangguk. Aku pun naik. Miftah membantu menaikkan beras ke atas angkot.
“Hati-hati Rib,” katanya.
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah …” ucapku dalam hati.
Angkot yang kunaiki lumayan tua. Suara mesinnya memekak telinga. Belum lagi keadaan badan angkot penuh karatan. Jok-jok nampak sudah jebol. Tapi lumayan lah, dari pada harus naik delman.