“Datang lagi, datang lagi. Mas ini mau kami layani apa gimana sih?” ucap teman Vaivy setiap kali aku datang.
“Sudah saatnya pulang ke rumah Mbak,” kataku.
“Cuih!” salah satu wanita meludah,“Halah Mas, kalau mau ceramah ya di masjid. Di sini tempat bersenang-senang. Orang pesantren kok berani benar ke tempat ini, kau punya uang? Baju kumal begitu, hahaha…” cacinya menusuk hati.
“Ada pesan dari guru saya Mbak,” jelasku.
“Halah, pesan apa?!” Mengibas-ngibas tangan, “Mau pesan wanita seperti apa?! Biar kita kirim ke pesantren. Heh! Kerempeng! Punya uang tidak. Hahaha…” cemoohnya.
“Pesan apa?” Vaivy keluar memecah ketegangan. Cuma handuk yang menudungi tubuhnya.
“Apa mau yang seperti Vaivy?!” hina teman Vaivy sambil cekikian.
“Sudah saatnnya berubah,” kataku sambil berbalik arah.
Ejekan sepanjang jalan meruah. Aku kasihan melihat mereka. Tak ingin meranggul mereka begitu lama dalam gulita. Pun memblengok mereka bernasib sama seperti ibu.
“Duh Gusti, kuatkan imanku,”
Tujuh senja telah ku saksikan. Perjuanganku membuahkan hasil. Ia memutuskan berhenti. Bukan tanpa alasan. Dua sahabat dekatnya terbunuh saat melayani tamu. Kini ia berganti mencariku. Menebalkan kembali tulisan agama. Kusambut niat itu dan menggores ingatannya. Tak henti menyemangati. Meski beberapa kali putus asa merayunya kembali ke lembah hitam.