“Duh Gusti, kuatkan imanku.”
Rumah Vaivy hancur, rata dengan tanah. Menyisakan puing-puing hangus. Menghalau kerumunan berangsur bubar. Vaivy masih tersedu-sedu. Lengan kirinya berdarah. Entah karena goresan entah cakaran. Bajunya sobek-sobek. Darah bercampur lebam melukis pelipis.
Hujan menopengi tangisnya. Isak masih berderai melunturkan bedak dan lipstik Vaivy. Aku membangunkannya. Menuntun ke tempat ia mangkal, sejenak berteduh. Tak banyak yang ku perbuat. Setelah kedua temannya datang, punggung ini lenyap tertelan kelokan jalan.
Sejak peristiwa kebakaran, sulit sekali menemuinya. Pernah suatu ketika bertemu, keadaannya tak mengenakkan. Ia sedang melayani pelanggan. Duduk bermesraan dengan pria perlente. Kata temannya, jam terbang Vaivy tidak seperti dulu. Ia sering sakit-sakitan.
Sekelibat ada Vaivy yang melintang dalam benakku. Keprihatinan menjadi-jadi. Mengapa ia masih berterbangan menjual kemolekan tubuh tanpa berdosa.
“Aku harus ke tempat itu,” batinku menggugat.
Kerap kali, satu jam aku mengunjungi Vaivy. Menemuinya, disaksikan dua wanita lain berparas kesinisan.
“Eh, Mas ngapain juga sering ke sini?” tanyanya sambil berkacak pinggang,”Pergi sana!” bentaknya dengan mata melotot.
Dua wanita lain yang diam sontak menertawaiku.
“Teruskan hingga kamu merasa jemu,” kalimat yang selalu ku sampaikan.
Vaivy mungkin jenuh. Ia jengah padaku. Tapi aku selalu bersikeras melakukan pendekatan. Hanya untuk mengajaknya berhenti.