...
Bertabir misteri, nyata sembunyikan banyak rahasia yang siap menyambut jejiwa penuh rasa ingin tahu, para petualang, penjelajah yang haus tantangan. Rimba itu, wajah angkernya tak berbasa-basi, tegas menantang: Oi, mari lihat, seberapa besar nyalimu sanggup teruji dan bertahan di sini!
Ya, baru memasuki lembahnya sesaat lalupun, sudah begitu seramnya, tak salah deskripsi Wiki. Dataran yang menjadi wadah keanekaragaman hayati, liar tak tersentuh, menghampar megah di bawah kaki gunung yang perkasa, Giriomote. Namun wajah seram itu mengikis seiring langkahku menembus jantung rimba, yang ditampilkannya hanya pemandangan surgawi serupa gegambar Getty.
Augh, andai bisa kubawa perangkat digital canggih, minimal sebuah telepon pintar, pasti sudah kuabadikan bermacam keunikan tiada banding dan mustahil dijumpai pada hutan-hutan modern yang hanya dihuni pepohon homogen, sawit terutamanya. Tapi apa mau dikata, gadget dan sejenisnya itu bukanlah visa penjamin kemerdekaan merambah kerajaan hijau ini. Itu syarat pertama.
Awalnya aku tak percaya. Masa sih sekedar smartphone pun tak boleh? Dan inilah aku, keturunan Adam yang mewarisi sifat mudah tergoda. Tapi sesuara itu gencar sekali menghasutku agar menyembunyikan Olympus, kamera mini super-high 4K resolusi, diantara bekal makanan. Dan apeslah aku, setibanya di desa terakhir yang menjadi penghubung langsung rimba itu, aku sempat ditawan salah seorang tetua desanya. Wajahnya sama tak ramahnya dengan petugas bersenjata X-Ray yang petentang-petenteng di bandara ataupun di mal-mal super. Yang berbeda, ia menggeledahku dengan cara melepas ikatan lima ajudannya, mahluk berkaki empat yang bertampang aneh. Sesaat tali kekangnya terurai, seketika itu juga lima pasang kaki melesat, berlari memburuku. Hidung kawanan itu mungkin telah tertanam chip yang bisa segera memindai barang haram di dalam ranselku. Aku bergidik ngeri, hingga sesuara bising itu riuh berbisik menggelitik telinga sensitifku.
“Jangan takut, Bodoh! Mereka takkan menggigitmu. Gigi gerigi mereka itu spesialis rumput,” suara itu berkata diantara sesuara bising yang selalu berebut ingin bicara. Biasanya yang kerap bicara dengan nada tegas sok memerintah adalah Jie-Qarin. Ialah yang terdominan di antara marga Qarin.
Aku bernafas lega namun bercampur kesal. “Ini salahmu, Jie, kau yang menyuruhku membawa kamera mini itu! Oh, Olympus-ku yang malang.”
“Menyarankan alias memberi alternatif. Bukan menyuruh. Cobalah untuk membedakan ya? Dan benahi kosakatamu itu!” suara kedua menyerobot ruang di kepalaku.
Aku mencibir. Suara sumir yang tak pernah kehabisan bahan ejekan itu adalah Row-Qarin. Bersama saudara kembar Siam-nya –Lou-Qarin, Patt-Qarin dan si bungsu Mo-Qarin– mereka adalah gerombolan berisik yang memusingkan kepala.
“Kalian bisa diam tidak?! Dasar mahluk jelek aneh! Mulutmu bau jamban sedunia!” kubalas ejekannya sekencang mungkin. Memangnya, hanya mereka yang bisa histeris?
Walau menyebalkan, kuakui Qarin bersaudara itu berkata benar. Piaraan si kakek gembala memang tak nampak seagresif para pemangsa. Kawanan bertanduk itu hanya berdiri memutariku. Congor hidungnya tak henti mengendus ke arahku. Endus, endus, endus.Kemudian mereka serempak riuh mengembik kacau sebagai tanda telah ditemukan targetnya. Mbek, mbek, mbeekk...
Nyaris saja tawaku meledak, ketika tiba-tiba terdengar suara yang lebih keras lagi mendahului.
“Jangan tertawa! Dilarang keras menistakan mahluk apapun spesiesnya,” suara Jie-Qarin, entah darimana datangnya. Ia memang selalu muncul semaunya sendiri. Aku tak pernah tahu kapan tepatnya vice-versa sesuara itu. Ia dan saudara-saudaranya memang berkemampuan lebih. Kemampuan yang nyatanya lebih banyak dimanfaatkan untuk menindasku.
“Tadinya sekedar ingin tahu, berapa lama sih kawanan pandir itu melewati masa pelatihan? Bagaimana mereka bisa memindai kameraku sedangkan mereka dikenal sebagai pengendus rumput yang handal?” aku mencoba mlipir dari hawa yang mulai anyir. Naga-naganya perang mulut akan terjadi.
Dan benar terjadi. Sejak itu, kamipun bertengkar. Aku berteriak. Dan mereka akan balas membentak. Lalu di tengah kekacauan, akan terdengar suara menangis, memohon agar kami lekas berdamai. Namun suara itu akan ditindih dengan suara lain yang saling mempengaruhi agar gendang pertengkaran terus ditabuh. Kalau perlu, kemeriahannya tak pernah usai. Karena keuntungan bukanlah di pihakku. Makin ramai, makin hiduplah mereka.
Battle semacam ini sudah sangat biasa. Terjadi sejak lama. Pada akhirnya, akupun tersudutkan. Aku lelah. Tak lagi ambil pusing lagi. Lalu terduduk memeluk lutut, sambil komat-kamit merapal mantra yang pernah diajarkan. Mungkin karena kental najis, mantraku selalu membal.
“Nisanak...”
Teguran gembala tua itu, menegakkan lututku kembali. Sedang mantraku, bubar jalan, kocar-kacir tak keruan.
“Maafkan raga rongsok ini, karena telah mengganggu perjalananmu,” si Tua itu lanjut bicara. “Ini Bharal,” tongkat gembalanya menunjuk salah seekor domba yang tak umum. Kuku tunggalnya terbelah di depan.
Diam-diam aku meleletkan lidah pada si bodoh Bharal. Yang segera kusesali, sebab siapa akan mengira kalau ledekanku itu kemudian dibalasnya dengan suara mengembik yang sangat memekik, mengiris membran tipis di gendang telinga sesiapa.
“Hahaha!” sebuah suara segera mentertawakan ‘ketidak-lucuan’ barusan.
“Diaaam!” teriakku pada suara itu. Jie? Row? Lou? Patt? Mo? Persetan dengan nama-nama buruk itu, yang jelas familyname mereka Qarin.
Kemudian si Tua itu menegurku kembali. Katanya, “Tampaknya sibuk sekali, kau, Nak. Sedari tadi, kau terus saja bercakap dan bercakap dengan dinamika suara yang rancak.”
“Begitulah, Mbah,” ujarku berupaya merenda senyum manis. “Barangkali karena di tempat asalku, aku terlalu banyak menghirup karbon monoksida sehingga pikiranku tak pernah jernih.”
Setelah berdeham-deham, mengosongkan kerongkongannya, si Tua itu kembali beromong-kosong perihal piarannnya, “Nah, yang bertanduk melengkung spektakuler itu namanya Mouflon. Sedangkan ini, Soay, walau paling imut, ialah yang paling lincah. Si Soay juga selalu menjadi yang terdepan dalam upaya pencarian gadget pembodoh otak manusia.”
Bharal, Mouflon, Soay, fiuh, di kehidupan sebelumnya kakek ini pastilah seorang Mamology?Mastology?
“Sedangkan yang bertampang lugu-kampungan, namanya Menda. Adapun yang terakhir itu, yang paling aneh itu, nah ya itu,” sambil menunjuk mahluk pemalu bertampang ganjil. “Itulah si GoldenTakin.”
Syukurlah, Kakek itu mengakhiri ‘kuliah’nya dengan senyum kebijakan yang kubalas masam. Rugi, merenda senyum manis toh yang kuhadapi bukan Hamish Daud Wyllie. Loh, loh, kok aku kian ngawur? Hm, hm, ini pasti ulah si Mo-Qarin yang sedang blusukan di jutaan saraf otakku.
Tentang si Tua dan para abdinya, tadinya sempat kukira ini kelas biologi yang khususon membahas mamalia vegetarian. Tapi si Tua benar tentang keanehan asuhannya itu. Lihatlah si Takin itu. Wajahnya indo, perpaduan antara domba, kambing dan antelop. Benar-benar mahluk yang aneh. Lebih anehnya lagi, ia masih hidup hingga hari ini. Kemana para pemburu liar? Biasanya mereka ahlinya genosida binatang aneh untuk diperjual-belikan di pasar remang-remang, karena lampu petromaksnya sengaja tak dipompa?? Pemburu sadis tapi takut dicokok jagawana.
Usai dinyatakan lulus dari ritual bongkar-muat-sita itu, aku bermaksud melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda karena bonus perkenalan itu. Tadinya mau kupakai kata ‘taaruf’. Tapi sepertinya tidak tepat. Lebay. Lagipula, siapa yang mau kawin sama kambing? Ah, siapa ini yang ngelantur? Lou? Patt?
“Helloou? Misi belum tercapai. Berhentilah melantur, dasar lebay!” suara itu mengingatkan.
“Oke,” sahutku kalem. “Siapa mau melantur, kalau bukan karena handai-taulanmu itu!”
Memang, diantara sekian banyak pertikaian yang melelahkan itu, adakalanya suara itu berlaku bak seorang karib kental. Sebaliknya akupun demikian, tak jarang aku mengingatkannya agar tak menyombong, tahu diri sedikit selayaknya seorang penyusup gelap. Kamipun bicara dari hati ke hati. Walaupun pada akhirnya, aku terjebak dalam monolog abadi. Mereka itu, Jie-Row-Lou-Patt-Mo, memang ahlinya mengerjai.
Dengan sedih kutinggalkan Olympus berharga ratusan dollar yang kubeli di Trumpland. Dan sesaat sebelum kumasuki rimba, aku sempatkan menoleh ke zona razia belum lama lalu. Astaga! Aku terkejut menyadari desa itu telah lenyap! Hanya terbentang tundra sejauh mata memandang. Tak nampak satu mahluk pun! Aku tak mampu berpikir kemana perginya kakek tua dan lima gembala anehnya. Maka, cepat-cepat kugendong ransel dan bergas menerobos kegelapan rimba.
Setelah melalui sulur-sulur, melintasi ngarai dan jeram, menyapa banyak rumah dengan ragam penghuninya yang sekedar tampak di mulut liang-liang, yang hanya tampak ekornya menjuntai dari ketinggian, yang melambai dengan kepak sayap tiga meternya, dan macam-macam lagi, aku menyempatkan diri mandi. Syarat kedua adalah membersihkan diri di bawah siraman air setinggi 1115 kaki, Nohkalikai.
Gemuruh suara airnya sangat menggentarkan hati. Buihnya sewarna bulu beruang Arktik. Dan seperti halnya si beruang Polar yang samarkan bulu hitam di bawah selimut putihnya itu, maka Nohkalikai pun demikian. Air terjun nan megah itu tak kalah cerdik menyimpan kekejamannya. Di balik limpahan air deras Nohkalikai tersembunyi bebatu cadas yang takkan pernah terkikis dan siap mengiris-iris nyali.
Perlahan kutenggelamkan kujung badanku penat. Lamaku berendam menikmati kemurnian airnya, walau itu tetap tak meluruhkan najis yang sepanjang hidup mesti kubawa. Upil, belek, congek, urin, mani, juga bebahan feses yang belum mau ‘plung’ selama perut sanggup menampung.
Alamak, bukankah belum lama kubasuh tangan hingga siku? Mengapa kembali berkumur? Edan! Bahkan di saat ritual berwudhu pun, para penumpang gelap itu masih saja usil. Mereka doyan sekali mengganggu urutan thaharah-ku. Aku sempat terpikir untuk menyumpalnya dengan lakban, batu atau apapunlah agar tidak kentut melulu. Angin yang semestinya melegakan ini berubah menyebalkan karena The Qariners, durjana penggoda. Ya, mereka, secara mengherankan, memang selalu punya cara. Kalau intervensi isi kepala dan hati amat mudah mereka lakukan, apalagi lubang pembuangan yang memang sangat mereka sukai.
“Pergiii! Enyahlah kalian selama-lamanya dariku!” teriakanku, tentu saja, terbungkam oleh deru nonstop Nohkalikai nan agung.
“Sudah, lanjutkan saja perjalananmu. Berteriak takkan menakuti atau bahkan mengusir lalat sekalipun,” terdengar Jie-Qarin bekata yang segera disambut kata ‘ya’ dari Cs-nya, dengan gema yang memantul dari setiap penjuru mata angin.
Merasa tak ada guna berjibaku dengan mereka, aku kembali menelusuri lantai rimba yang lembap, subur, seperti rahim seorang perawan. Tak terasa tibalah aku di bibir danau besar, sangat besar yang harus kuseberangi sebelum tiba di akhir tujuan.
“Namanya Victoria Amazonica,” sesuara itu, seperti biasanya bicara sok tahu atau mungkin ingin dianggap banyak tahu. Padahal bisa jadi, ia hanya mencuri dengar dari sidang para malaikat di Aotearoa, Negeri Awan Putih.
“Auh, mana ada sih ratu di tengah rimba raya ini?” celotehku dungu.
“Sst. Ingat, dilarang mencela, apalagi bicara yang tak pantas. Itu petuah suci para penghulu ranah ini. Jagalah etika yang baik sebagai tamu,” sesuara itu, cih, selalu saja menyebalkan ketika berlagak menasehati.
“Ya, ya. Baiklah, Nenek Sok Tahu.”
Tak memakan waktu lama, dengan menumpang bahtera bambu seadanya, aku berhasil menyeberangi danau kuno yang permukaan airnya tak nampak karena tertutup rapat oleh tanaman Lili Air terbesar di dunia, daunnya selebar tampah atau nyiru untuk menampi beras. Lili air itu bernama Victoria Amazonica.
Kutambatkan rakit seerat mungkin. Iya, setelah trauma melihat desa yang lenyap tetiba berikut kamera dan gerombolan domba perompaknya, aku memang khawatir rakit inipun akan menghilang begitu saja.
Kali ini sebuah parade melintas lambat. Membuat lelangkahku tersendat. Satu keluarga besar dengan segala hal tentang mereka yang serba besar –bahkan bayi mereka pun sulit untuk tidak dikatakan besar– terkecuali matanya (yang entah bagaimana kurasa itu menjadi penyeimbang). Sebab kalau matanya juga besar, mereka takkan tampak cantik, dan sisi kelembutan mereka juga bisa hilang. Dengan kaki-kaki raksasa penopang bobot ribuan kilo itu, mereka santai melenggang gemulai tepat di hadapanku. Ooh, mendadak aku serasa tengah menonton sirkus.
“Tak ada sirkus di hutan!” sesuara itu bicara. Sepertinya bukan Jie si Nenek Sok Tahu karena nada suaranya geradakan, seperti terlontar dari tenggorokan yang sudah sangat karatan.
“Sirkus adalah simbol tirani manusia penuh syahwat menjijikkan. Segalanya ingin kalian kuasai. Jangan bicara soal sirkus di sini karena itu sangat melukai rimba ini. Bukankah sudah kukatakan untuk bicara hati-hati?” suara lain terdengar. Kurasa kali ini si Nenek Sok Tahu yang bicara.
Baiklah, baiklah. Dan aku tertunduk mengendap-endap, agar tak mengganggu percakapan keluarga itu, mereka yang telah begitu setia menjadi penganut matrilineal sejak diturunkan Mammoth, leluhurnya berabad-abad silam.
Aaarrrgggh!
Aku terlonjak. Jerit parau itu melengking tiba-tiba. Amat menulikan telinga. Lalu hidung panjang yang luar biasa fleksibel itu terangkat tinggi-tinggi.
“Oh, ya, halo juga!” aku membalas salam dari ketuanya yang bertubuh paling bengkak diantara para kerabat perempuannya itu. Merekalah betina yang selalu penuh percaya diri dengan badan bongsornya. Tak mengenal diet walau, yea, menu utama mereka tak lebih dari sayuran.
“Dasar kau ini! Apa kau pikir mereka tengah menyapamu, hm?” sesuara cempreng menimbrung. Mungkin Row? Ah, bisa juga Lou. Entahlah...
“Lengkingan itu tak dapat kau terjemahkan sebagai tegur sapa. Kau lihatlah kemana belalai itu mengarah,” kata suara cempreng itu lagi. Kaukah itu Patt? Mengapa suaramu seperti panci rombeng?
Oh, jadi begitu rupanya. Bibi gajah tadi ternyata mengisyaratkan bahwa tujuanku telah dekat. Si Bibi memang punya daya ingatan yang sangat bisa diandalkan. Tak berselang lama pun, perjalananku telah mencium garis final.
Tadaa!! Sugeng rawuh wonten in Pertapan Pesepen.
Aku termangu menatap gerbang yang dikawal sepasang kepala Auroch. Bagaimana bisa kepala hewan bertanduk legendaris itu bisa menancap di rimba ini? Apakah lembu itu kabur dari tempat pembiakkannya di hutan purbakala Bialowieza? Bagaimana sapi ikonik itu bisa lolos dari cengkeraman keji Der Fuhrer?
“Cepat pencet belnya!” suara bernada perintah itu membangunkan ketermanguanku.
“Bel?” aku balik bertanya. TheQariners ini pasti sudah sama gilanya denganku. Mana ada bel di belantara aneh ini? Sinting!
“Itu, lonceng perunggu yang tergantung di leher Sang Lembu!” kata sesuara itu lagi.
Ah, lonceng itu. Aku pun tersenyum simpul. Olala, betapapun hebat legenda yang mengusungnya, ternyata itu tak mengubah takdir Auroch sebagai seekor lembu yang pasrah lehernya dikalungi lonceng bukannya emas berlian serenceng.
Lembut kuguncang lonceng itu. Loh? Tadinya ku berharap akan ada bunyi teng, teng, teng, namun nyatanya sepi, tak ada bunyi apapun. Maka kuguncang lagi dengan menambah sedikit tenaga.
“Berhentilah bermain-main dengan lonceng lembuku!” mendadak terdengar suara berat berkharisma yang menggema di seantero pertapaan. Bukan sesuara berisik yang selama ini memenuhi rongga kepalaku. Suara ini sarat magis yang sontak membuatku tersihir dan berjalan seperti robot memasuki area pertapaan.
Lima langkah melewati gerbang Auroch, aku dibuat tertegun oleh sosok yang... inconceivable large and tall. Betapa tidak? Lihat! Pertapaan itu berdiri dalam pelukan Sakishima Sappan, pohon kuno berusia ratusan tahun, tinggi menjulang besar dalam skala yang tak terbayangkan dengan penopang akar yang juga luar biasa besarnya.
Ketakjubanku berakhir manakala seseorang yang kerap hadir di mimpi, kini nyata berdiri di pondoknya yang secara aneh nampak tak asing olehku. Sejenak aku seperti terpelanting dalam beliung deja vu.
Ketika lelaki itu beriak muka berbeda dalam seketika, akupun segera tahu sebabnya. Ia pasti telah menyadari adanya bayangan bercabang serupa Ravenala Madagascariensis, si pohon pisang kipas. Bayangan yang tak pernah memayungi walau wujud bayangan itu seperti payung.
Wajah teduh itu, gestur yang santun, kedalaman suara lemah-lembut, dan semua ciri kealiman fisiknya, tetap saja tak kuasa menerima keganjilan yang hadir tiba-tiba. Tapi aku maklum, karena bisa jadi ini kali pertama ia mendapat kunjungan tamu berbayang aneh sepertiku. Bukankah setiap mahluk hanya punya satu bayangan? Aku lima. Bahkan mungkin lebih. Entahlah, karena aku tak pernah sensus datanya. Mereka seperti pengembara dari Asia Utara, datang dan menetap secara senyap. Lalu mengakar, menggerogoti dan menyesap habis urat nadi bumi pertiwi.
“Benar,” cetus sosok sepuh itu seperti tahu dinamika yang sedang terjadi dalam pikiranku. “Maafkan untuk keterkejutan Aki yang memalukan ini,” tambahnya penuh arif.
“Tak apa, Ki,” cepat kupatahkan kalimatnya agar ia tak terperosok lebih jauh menyalahkan diri sendiri. Tak enak hati aku dibuatnya. “Sayalah yang seharusnya menghaturkan maaf, berkunjung tak tahu waktu dan telah menodai ketenangan pertapaan sakral ini,” ujarku dengan kesadaran maksimal bahwa bunyi kalimatku pasti terdengar berlebihan. Namun Ki Yyaja, seperti sejak awal kuperhatikan, tampak tak terpicu untuk mengecilkanku seperti kebanyakan mata, telinga dan mulut yang kerap tergesa berkomentar; ah, bicaramu itu, hiperbola!
“Silakan, silakan,” tangan uzur Ki Yyaja mengisyaratkanku untuk memasuki pendopo pertapaan. Tangan itu, yang dipenuhi tonjolan urat dalam bungkus kulit keriput, lalu memungut kayu ringkih, mungkin reranting rapuh yang luruh terdesak hasrat merasai hangatnya tanah berselimut hijau dedaun yang lama pernah ditopangnya. Kayu itu diketukkan perlahan, membentur tiang rumah beratapkan jalinan nan rapi dari sekumpulan nyiur, rami, rumbia, bambu dan rerupa properti alam yang diberikan secara cuma-cuma oleh kemurahan rimba.
Dan aku bersumpah! Tidak tahu bagaimana ketukan yang nyaris tak melahirkan suara itu, dengan cepatnya mendapatkan respon. Sangat reaksioner, seperti rezim penguasa ketika mendapatkan kritikan dari jelata.
Kali ini akulah yang diterpa terkejut. Tak seperti Ki Yyaja yang sangat piawai mengendalikan emosi, aku nyaris terjungkal sesaat menyadari kehadiran sosok lain di gubuk ini. Sosok penuh mistis yang muncul tetiba, mungkin sedetik, paska ranting kecil itu diketukkan Ki Yyaja.
“Te, terima kasih, Nya..nyai,” aku menyambut tikar pandan pemberian Nyai, lalu menggelarnya dengan tremor dadakan di tanganku. Getar suaraku pun pasti terdengar menggelikan. Nada ketakutannya begitu jelas.
Tak terdengar sesuara berisik yang biasanya segera mentertawakanku. Padahal biasanya, mereka juaranya mengolok-menceracau. Mungkin kharisma Ki Yyaja begitu digdaya hingga sesuara itupun tunduk sopan. Atau kemurnian rimba di kaki Giriomote ini bertaji melumpuhkan segala kekuatan para qarin.
Tapi sialnya, justru bajing-bajing yang ramai berceloteh mencemoohku. Ya-ya, penghuni Giriomote boleh saja tertawa, tapi siapa sih yang mengira akan berjumpa dengan sosok yang selama ini kupikir hanya ada dalam imajinasi para penulis cerita silat berbumbu mistis-erotis. Penampakan Nyai Yyaja sangat mewakili tokoh imajinatif itu. Rambut panjang seputih salju tergerai menyapu lantai kayu. Meski matanya tak seseram Mak Lampir, namun tatapannya begitu dalamnya hinggaku tak bernyali menyelami bahkan andainyapun disana telah menunggu seorang putri duyung cantik dan seksi.
Lalu, sebelum Nyai undur diri, perempuan yang keriputnya bersaing dengan Ki Yyaja itu sejenak meluangkan waktu, berdiri menatapku, oh bukan, tepatnya menyoroti tajam pada bayangan yang memayungiku. Kali inipun, aku maklum dengan tatap heran itu.
“Diberkatilah kau, Nak,” ujar Nyai.
“Maaf, Nisanak. Sepertinya tak banyak yang bisa Aki bantu,” ujar Ki Yyaja setelah tubuh kurus pasangan hidupnya itu lenyap ditelan rongga menganga dari batang Sakishima Sappan yang berdiri tegak, menjulang jumawa. Ya, pohon raksasa itu sangat berhak untuk sombong dengan ukurannya itu. Size does matter. Taelaa..
“Tapi, Ki...”
“Mereka juga ciptaan Tuhan, Nisanak. Manalah berani Aki berbuat keji. Lagipula Aki tak berkekuatan sebesar yang dimiliki Malaikat Pemutus Sukma.”
“Saya mohon, Aki...”
“Entah kabar apa yang telah Nisanak dengar di luaran hingga bersedia susah payah menempuh perjalanan sejauh 100 farsakh untuk menemui Aki di sini.”
“Karena Aki terus hadir dalam mimpi. Selain daripada itu, saya merasa sudah tak sanggup lagi, Ki. Hidup saya sudah di ujung tanduk..”
“Layaknya orang tua dimanapun, Aki hanya bisa memberi saran kepada Nisanak. Begini: janganlah Nisanak menuruti dan jangan pula menolak, tapi kenalilah yang terdominan memberikan rasa nyaman bagi diri Nisanak. Dan kenalilah yang paling mampu memberi kontribusi manfaat besar bagi sesama atau orang-orang di sekitar.”
Panjang lebar petuah Ki Yyaja. Kalau bukan karena besarnya tekadku, mungkin sudah tertidur pulas aku mendengarnya.
“Tapi mereka terlalu banyak Ki. Andaikan mereka setenang telaga, saya takkan semenderita ini, seputus asa ini. Mereka sungguh gemar bertikai. Tak kenal damai. Tak henti bersinggungan seperti nutfah. Rumit seperti struktur suatu sel. Mereka licik. Penuh tipu muslihat. Penjilat. Dan penyuka kemungkaran. Mereka pandai bersilat lidah. Menukar kebajikan dengan kebohongan. Memoles kebohongan agar secantik kebaikan. Bujukan mereka sangat sulit ditepis, Aki. Mereka benar-benar ahli. Saya dibuatnya tak seberdaya ini,” Tak sadar aku menjadi seperti Ki Yyaja. Bicara malur-malur.
“Mereka memang diciptakan dengan semua karakteristik itu, ” Ki Yyaja bijak menanggapi.
“Mereka sungguh tak beradab, Ki.”
“Tak beradab adalah keistimewaan mereka. Yang takkan melumer walau digodok dalam kawah penyucian dengan tungku berapi abadi. Tak ada yang bisa kau harapkan, bahkan Tuhan pun berani mereka bantah.”
“Lalu saya harus bagaimana, Ki? Bukankah mereka terlalu banyak untuk seorang manusia selemah saya?”
Hm... Aki Yyaja lantas mengais jenggotnya. Sungguh, aku tak melihat sediktipun ada kebodohan di sana, di surai panjang memutih panjang Aki Yyaja. Yang tampak justru reprentasi kebijaksanaan dan kedalaman ilmu. Walau memang aku sempat bertanya-tanya, berapa lama kiranya Aki menumbuhkan surai indah itu? Berkutukah? Pembersih apa sekiranya yang ia pakai untuk merawatnya? Macam manakah baunya? Ah, tentu saja Nyai Yyaja adalah orang yang paling tahu urusan bau itu.
“Salah satu dari qarin itu, pasti tekun membuatmu betah melamun dan berkembara dalam dunia fantasi,” tiba-tiba Ki Yyaja menyodorkan tebakan.
“Hehe, “ aku hanya terkekeh membenarkan tebakan Ki Yyaja. Pasti ia telah membaca pikiranku barusan. Ah, semestinya kini harus kucoba untuk tidak membayangkan apapun selama konsultasi dengannya.
“Yang lain gemar bergelanyut di bibir, mengacau bacaan iftitah, menukar ruku’ dengan i’tidal, dan semacamnya.”
“Benar sekali Ki. Lainnya, sibuk meniup dubur demi membatalkan semua niat baikku. Membisikkan bahwa nirwana adanya di lelayar kaca bercahaya dengan para pelakon molek jelita,” aku menambahkan.
“Ada yang terus menghasutmu agar tak henti mengeluh dan melupakan tasyakur.”
“Itu juga benar, Ki. Lainnya, terus menumpahkan kaleng berisi kecoak ke dalam kepala. Aku dibuatnya menderita migrain menahun, Ki.”
Setelah diam beberapa saat, memejamkan mata, memusatkan yin dan yang, menyatukan segala kekuatan yang dimilikinya, Ki Yyaja akhirnya memutuskan.
“Nisanak, tampaknya sia-sia saja kau menempuh perjalanan jauh berliku. Sebab kau tidaklah separah yang kukira. Sesungguhnya tak ada yang bisa Aki lakukan sebab para penyusup itu memang tak berniat cerai darimu. Sekarang, pulanglah...”
Tentu saja penjelasan pungkas Ki Yyaja itu menorehkan kekecewaan yang mendalam bagiku. Harapanku demikian besar pada pengubatan dan penyembuhan Ki Yyaja. Kini harapan itu cerai-berai. Rontok tak bernilai.
Pulang?
Dengan membawa beban sebesar pohon pisang kipas ini?
Tidak!
Aku tak akan pernah kembali ke dataran rendah indah namun sangat membuat gundah. Aku tak akan kembali menelusuri labirin kota berlampu megah terang benderang namun penuh kepalsuan, kekejian. Tidak! Tidak!
Mengapa harus pulang, kalau di sini tak ada batasan. Aku bisa meraih kebebasan sejati. Rimba tak pernah bermuka-dua soal demokrasi, reformasi, revolusi, humanity dan segala istilah rekaan manusia yang diciptakan hanya untuk mengakali.
Di sini tak ada uang. Standar dari segala hal, tolak ukur dari semua bahasan, penentu setiap kebijakan, dan satu hal yang sangat pasti: sumber dari semua permasalahan. Tidak! Tak ada uang yang bermain-main di rimba ini. Aku tak perlu menjilat pantat bosku bau busuk demi uang. Aku tak perlu serahkan kehormatan demi uang. Aku tak perlu melacur demi uang. Aku tak perlu berdagang akidah demi uang. Di dalam rimba ini, uang benar-benar tak laku. Kehormatannya sama sekali tak ada arti, jauh lebih berarti dari sebutir ara yang sanggup membungkam perutku lapar. Oh, mengapa baru sekarang kutemui surga indah ini?
Di sini, bulan mencurahkan sinarnya tanpa perlu mengutip uang. Aku tak perlu memboroskan banyak lampu pijar hanya karena takut kecurian. Dan tak perlu mencemaskan tagihan. Matahari yang akan mematangkan laukku. Tanah subur rimba yang akan mengenyalkan karbohidratku. Nohkalikai akan selalu membelah rimba dengan sesungai yang bersedia memasok daging-daging berinsang. Dan rimba tak pernah kehabisan kulinarinya.
Di sini pun tak ada dogma. Gerah? Di rimba ini aku bebas telanjang, berkeliar tanpa baju. Akupun tak perlu berkecil hati manakala jejari menuding agamis, eksklusif, asosialis, bahkan...teroris. Aku tak perlu risau didakwa sebagai korban doktrinisasi.
Di sini aku tak khawatir membujang, dicekik kesepian lalu menjadi penyintas yang buta kelamin. Di kemurnian rimba ini naluri hewanku, feromonku, akan pandai mengenali lawan jenis dengan sangat baik. Dan akupun boleh berganti pasangan kapanpun syahwatku menginginkannya. Hukum rimba tak kenal pasal pemerkosaan. Rimba tak mengangkat pejabat hakim berjubah kotak-kotak yang melulu sibuk mengkotak-kotakkan ini poliandri, itu poligami. Dan ya, di sini aku bisa seoportunis mungkin. Menjadi perampok bebiji ara kapanpun perut laparku menitahkan. Hukum rimba tak berisi pasal anti korupsi.
“Lalu akan kau kemanakan akal sebagai rahmat dari Tuhanmu, wahai Nisanak?” Ki Yyaja bangun dari duduk silanya. Matanya tuanya tajam menuntut jawaban.
Ah, aki-aki ini... Mengapa orang tua selalu tak membiarkan jiwa muda bersuka ria? Mengapa mulut orang tua selalu berbau petuah? Mengapa tak ada orang tua yang sejalan dengan jiwa muda? Mengapa tak ada orang tua yang menyenangkan dan selalu membosankan? Yang lebih menyebalkan, mengapa orang tua acap benar? Eh, bukankah orang tua tempatnya dalam sarkofagus ber-fungus??
Sesuara itu kembali merajai telinga. Dan bisikan terakhir sukses menghasutku. Kuraih ranting ringkih yang tergeletak di atas tikar pandan. Sungguh, aku hanya menghentakkannya sedikit saja sekedar kesal. Namun efeknya luar biasa. Ki Yyaja jatuhlah tersungkur. Tulang keroposnya bergemeretak sesaat membentur akar-akar besar Sakishima Sappan. Lalu raga rapuh itupun membisu.
Aku tertawa. Tertawa dan tertawa. Sungguh tak menyangka akan semudah ini mengakhiri hidup. Ki Yyaja jelas telah berdusta. Bagaimana mungkin orang sesakti dia tak memiliki kekuatan Malaikat Pemutus Sukma, sedangku yang separuh gila inipun tak perlu merapal mantra menghabisi nyawanya. Kudetaku bukan hoax. Kudetaku tak butuh pasukan kavaleri beramunisi. Lalu aku bersorak, jingkrak-jingkrak sendiri, merayakan kepemilikanku atas Pertapan Pesepen ini. Hmm, syarat ketiga telah kutunai. Aku sukses menjawab tantangan Giriomote. Ya, aku takkan kembali. Aku akan bertahan di sini, menjadi penghuni tetap rimba ini, lembah nan perawan, damai dan indah, tenang dalam perlindungan sang perkasa, Giriomote...
[..Fin..]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H