“Mereka memang diciptakan dengan semua karakteristik itu, ” Ki Yyaja bijak menanggapi.
“Mereka sungguh tak beradab, Ki.”
“Tak beradab adalah keistimewaan mereka. Yang takkan melumer walau digodok dalam kawah penyucian dengan tungku berapi abadi. Tak ada yang bisa kau harapkan, bahkan Tuhan pun berani mereka bantah.”
“Lalu saya harus bagaimana, Ki? Bukankah mereka terlalu banyak untuk seorang manusia selemah saya?”
Hm... Aki Yyaja lantas mengais jenggotnya. Sungguh, aku tak melihat sediktipun ada kebodohan di sana, di surai panjang memutih panjang Aki Yyaja. Yang tampak justru reprentasi kebijaksanaan dan kedalaman ilmu. Walau memang aku sempat bertanya-tanya, berapa lama kiranya Aki menumbuhkan surai indah itu? Berkutukah? Pembersih apa sekiranya yang ia pakai untuk merawatnya? Macam manakah baunya? Ah, tentu saja Nyai Yyaja adalah orang yang paling tahu urusan bau itu.
“Salah satu dari qarin itu, pasti tekun membuatmu betah melamun dan berkembara dalam dunia fantasi,” tiba-tiba Ki Yyaja menyodorkan tebakan.
“Hehe, “ aku hanya terkekeh membenarkan tebakan Ki Yyaja. Pasti ia telah membaca pikiranku barusan. Ah, semestinya kini harus kucoba untuk tidak membayangkan apapun selama konsultasi dengannya.
“Yang lain gemar bergelanyut di bibir, mengacau bacaan iftitah, menukar ruku’ dengan i’tidal, dan semacamnya.”
“Benar sekali Ki. Lainnya, sibuk meniup dubur demi membatalkan semua niat baikku. Membisikkan bahwa nirwana adanya di lelayar kaca bercahaya dengan para pelakon molek jelita,” aku menambahkan.
“Ada yang terus menghasutmu agar tak henti mengeluh dan melupakan tasyakur.”
“Itu juga benar, Ki. Lainnya, terus menumpahkan kaleng berisi kecoak ke dalam kepala. Aku dibuatnya menderita migrain menahun, Ki.”