Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Cerita Aneh dari Giriomote

19 Januari 2017   18:11 Diperbarui: 19 Januari 2017   18:17 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan sedih kutinggalkan Olympus berharga ratusan dollar yang kubeli di Trumpland. Dan sesaat sebelum kumasuki rimba, aku sempatkan menoleh ke zona razia belum lama lalu. Astaga! Aku terkejut menyadari desa itu telah lenyap! Hanya terbentang tundra sejauh mata memandang. Tak nampak satu mahluk pun! Aku tak mampu berpikir kemana perginya kakek tua dan lima gembala anehnya. Maka, cepat-cepat kugendong ransel dan bergas menerobos kegelapan rimba.

Setelah melalui sulur-sulur, melintasi ngarai dan jeram, menyapa banyak rumah dengan ragam penghuninya yang sekedar tampak di mulut liang-liang, yang hanya tampak ekornya menjuntai dari ketinggian, yang melambai dengan kepak sayap tiga meternya, dan macam-macam lagi, aku menyempatkan diri mandi. Syarat kedua adalah membersihkan diri di bawah siraman air setinggi 1115 kaki, Nohkalikai.

Gemuruh suara airnya sangat menggentarkan hati. Buihnya sewarna bulu beruang Arktik. Dan seperti halnya si beruang Polar yang samarkan bulu hitam di bawah selimut putihnya itu, maka Nohkalikai pun demikian. Air terjun nan megah itu tak kalah cerdik menyimpan kekejamannya. Di balik limpahan air deras Nohkalikai tersembunyi bebatu cadas yang takkan pernah terkikis dan siap mengiris-iris nyali.

Perlahan kutenggelamkan kujung badanku penat. Lamaku berendam menikmati kemurnian airnya, walau itu tetap tak meluruhkan najis yang sepanjang hidup mesti kubawa. Upil, belek, congek, urin, mani, juga bebahan feses yang belum mau ‘plung’ selama perut sanggup menampung.

Alamak, bukankah belum lama kubasuh tangan hingga siku? Mengapa kembali berkumur? Edan! Bahkan di saat ritual berwudhu pun, para penumpang gelap itu masih saja usil. Mereka doyan sekali mengganggu urutan thaharah-ku. Aku sempat terpikir untuk menyumpalnya dengan lakban, batu atau apapunlah agar tidak kentut melulu. Angin yang semestinya melegakan ini berubah menyebalkan karena The Qariners, durjana penggoda. Ya, mereka, secara mengherankan, memang selalu punya cara. Kalau intervensi isi kepala dan hati amat mudah mereka lakukan, apalagi lubang pembuangan yang memang sangat mereka sukai.

“Pergiii! Enyahlah kalian selama-lamanya dariku!” teriakanku, tentu saja, terbungkam oleh deru nonstop Nohkalikai nan agung.

“Sudah, lanjutkan saja perjalananmu. Berteriak takkan menakuti atau bahkan mengusir lalat sekalipun,” terdengar Jie-Qarin bekata yang segera disambut kata ‘ya’ dari Cs-nya, dengan gema yang memantul dari setiap penjuru mata angin.

Merasa tak ada guna berjibaku dengan mereka, aku kembali menelusuri lantai rimba yang lembap, subur, seperti rahim seorang perawan. Tak terasa tibalah aku di bibir danau besar, sangat besar yang harus kuseberangi sebelum tiba di akhir tujuan.

“Namanya Victoria Amazonica,” sesuara itu, seperti biasanya bicara sok tahu atau mungkin ingin dianggap banyak tahu. Padahal bisa jadi, ia hanya mencuri dengar dari sidang para malaikat di Aotearoa, Negeri Awan Putih.

“Auh, mana ada sih ratu di tengah rimba raya ini?” celotehku dungu.

“Sst. Ingat, dilarang mencela, apalagi bicara yang tak pantas. Itu petuah suci para penghulu ranah ini. Jagalah etika yang baik sebagai tamu,” sesuara itu, cih, selalu saja menyebalkan ketika berlagak menasehati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun