Ketakjubanku berakhir manakala seseorang yang kerap hadir di mimpi, kini nyata berdiri di pondoknya yang secara aneh nampak tak asing olehku. Sejenak aku seperti terpelanting dalam beliung deja vu.
Ketika lelaki itu beriak muka berbeda dalam seketika, akupun segera tahu sebabnya. Ia pasti telah menyadari adanya bayangan bercabang serupa Ravenala Madagascariensis, si pohon pisang kipas. Bayangan yang tak pernah memayungi walau wujud bayangan itu seperti payung.
Wajah teduh itu, gestur yang santun, kedalaman suara lemah-lembut, dan semua ciri kealiman fisiknya, tetap saja tak kuasa menerima keganjilan yang hadir tiba-tiba. Tapi aku maklum, karena bisa jadi ini kali pertama ia mendapat kunjungan tamu berbayang aneh sepertiku. Bukankah setiap mahluk hanya punya satu bayangan? Aku lima. Bahkan mungkin lebih. Entahlah, karena aku tak pernah sensus datanya. Mereka seperti pengembara dari Asia Utara, datang dan menetap secara senyap. Lalu mengakar, menggerogoti dan menyesap habis urat nadi bumi pertiwi.
“Benar,” cetus sosok sepuh itu seperti tahu dinamika yang sedang terjadi dalam pikiranku. “Maafkan untuk keterkejutan Aki yang memalukan ini,” tambahnya penuh arif.
“Tak apa, Ki,” cepat kupatahkan kalimatnya agar ia tak terperosok lebih jauh menyalahkan diri sendiri. Tak enak hati aku dibuatnya. “Sayalah yang seharusnya menghaturkan maaf, berkunjung tak tahu waktu dan telah menodai ketenangan pertapaan sakral ini,” ujarku dengan kesadaran maksimal bahwa bunyi kalimatku pasti terdengar berlebihan. Namun Ki Yyaja, seperti sejak awal kuperhatikan, tampak tak terpicu untuk mengecilkanku seperti kebanyakan mata, telinga dan mulut yang kerap tergesa berkomentar; ah, bicaramu itu, hiperbola!
“Silakan, silakan,” tangan uzur Ki Yyaja mengisyaratkanku untuk memasuki pendopo pertapaan. Tangan itu, yang dipenuhi tonjolan urat dalam bungkus kulit keriput, lalu memungut kayu ringkih, mungkin reranting rapuh yang luruh terdesak hasrat merasai hangatnya tanah berselimut hijau dedaun yang lama pernah ditopangnya. Kayu itu diketukkan perlahan, membentur tiang rumah beratapkan jalinan nan rapi dari sekumpulan nyiur, rami, rumbia, bambu dan rerupa properti alam yang diberikan secara cuma-cuma oleh kemurahan rimba.
Dan aku bersumpah! Tidak tahu bagaimana ketukan yang nyaris tak melahirkan suara itu, dengan cepatnya mendapatkan respon. Sangat reaksioner, seperti rezim penguasa ketika mendapatkan kritikan dari jelata.
Kali ini akulah yang diterpa terkejut. Tak seperti Ki Yyaja yang sangat piawai mengendalikan emosi, aku nyaris terjungkal sesaat menyadari kehadiran sosok lain di gubuk ini. Sosok penuh mistis yang muncul tetiba, mungkin sedetik, paska ranting kecil itu diketukkan Ki Yyaja.
“Te, terima kasih, Nya..nyai,” aku menyambut tikar pandan pemberian Nyai, lalu menggelarnya dengan tremor dadakan di tanganku. Getar suaraku pun pasti terdengar menggelikan. Nada ketakutannya begitu jelas.
Tak terdengar sesuara berisik yang biasanya segera mentertawakanku. Padahal biasanya, mereka juaranya mengolok-menceracau. Mungkin kharisma Ki Yyaja begitu digdaya hingga sesuara itupun tunduk sopan. Atau kemurnian rimba di kaki Giriomote ini bertaji melumpuhkan segala kekuatan para qarin.
Tapi sialnya, justru bajing-bajing yang ramai berceloteh mencemoohku. Ya-ya, penghuni Giriomote boleh saja tertawa, tapi siapa sih yang mengira akan berjumpa dengan sosok yang selama ini kupikir hanya ada dalam imajinasi para penulis cerita silat berbumbu mistis-erotis. Penampakan Nyai Yyaja sangat mewakili tokoh imajinatif itu. Rambut panjang seputih salju tergerai menyapu lantai kayu. Meski matanya tak seseram Mak Lampir, namun tatapannya begitu dalamnya hinggaku tak bernyali menyelami bahkan andainyapun disana telah menunggu seorang putri duyung cantik dan seksi.