Abstrak
Artikel jurnal ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan wawasan dengan menganalisis bagaimana aturan mengenai penarikan secara paksa kendaraan bermotor karena kredit bermasalah.Â
Aturan merupakan hal dasar yang perlu dilihat dengan tujuan untuk mencegah suatu pembatalan perjanjian yang telah dibuat, sehingga ketika melaksanakan perbuatan hukum tersebut jangan sampai terjadi pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan.Â
Terlebih lagi penarikan secara paksa kendaraan oleh perusahaan leasing selaku kreditur melalui debt collector ini merupakan hal yang merugikan nasabah atau debitur dan sudah dijelaskan juga pada Putusan MK Nomor 18/PPU-XVII/2019 menjelaskan mengenai pelanggaran tersebut.Â
Disisi lain penarikan kendaraan secara paksa ini didasari dengan wanprestasinya debitur tersebut, namun perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana.Â
Keadaan penarikan kendaraan secara paksa ini termasuk dalam keperdaatan yang biasanya dapat dijumpai jika membahas perjanjian jual-beli dengan pembayaran kredit, yang dimana debitur secara garis besar tidak mampu untuk melanjutkan pembayaran kredit sesuai waktu yang sudah ditentukan dalam perjanjian.Â
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan serta menggunakan pendekatan konseptual yang dilakukan dengan menelaah konsep-konsep hukum serta doktrin-doktrin dalam ilmu hukum.Â
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan pustaka hukum keperdataan. Bahan hukum ini berfungsi untuk memberikan penjelasan pada bahan hukum primer.Â
Karenanya bahan hukum ini tidak bersifat mengikat. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan.
Kata kunci : penarikan paksa, kreditur, Â wanprestasi.
Abstract
This journal article was created with the aim of providing insight by analyzing how the rules are related to motor vehicles due to non-performing loans. Rules are basic things that need to be seen with the aim of preventing a violation of the agreement that has been made, so that when carrying out the legal action there is a violation of the provisions of the legislation.Â
Moreover, forcibly using a vehicle by a leasing company as a creditor through a debt collector is something that is detrimental to the customer or debtor and has also been explained in the Constitutional Court's Decision Number 18/PPU-XVII/2019 explaining the violation.Â
On the other hand, this forcible vehicle is based on the debtor's default, but the act can be said to be a criminal act. This forced situation is included in civil cases which can usually be found when discussing a sale-purchase agreement with credit payments, where the debtor is generally unable to continue credit payments according to the time specified in the agreement.Â
This research was conducted using the legal approach method which was carried out by examining all laws and regulations and using a conceptual approach which was carried out by examining the concepts and doctrines in the science of law. The legal materials used are civil law library materials.Â
This legal material serves to provide an explanation of the primary legal material. Therefore, this legal material is not binding. The technique of collecting legal materials used in this research is literature study.
Keyword : forced withdrawal, creditors, default.
LATAR BELAKANG
Sudah tidak asing lagi dengan penyebutan bahwa Indonesia adalah negara hukum karena hal ini sudah tertulis jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang menjelaskan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum"[1], dapat disimpulkan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh masyarakat yang berkewarganegaraan Indonesia harus sesuai berdasarkan hukum yang telah ditetapkan.Â
Pada tahun ini kendala perekonomian sangat sering dibahas dikarenakan banyak pemutusan hubungan kerja secara sepihak demi keselamatan para karyawan dikarenakan pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan sembuhnya.Â
Karena ini kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia sebagian besar turun drastis, karena perkembangan bidang ekonomi sangat berpengaruh secara global. Membahas mengengai kebutuhan dana bagi seseorang memang merupakan hal yang sangat menyinggung, karena seseorang pun harus memenuhi kebutuhan konsumsi untuk sehari-hari dan dalam bisnis.Â
Indonesia membedakan lembaga keuangan antara lembaga keuangan bank dan satunya adalah lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank seperti ini merupakan salah satu bentuk lembaga yang bertujuan untuk membantu masyarakat untuk mempermudah mendapatkan kebutuhannya seperti memberikan kredit pinjaman serta jasa jasa keuangan lain.Â
Namun lembaga keuangan tidak cukup memberikan pengaruh dalam masyarakat, mengingat syarat-syarat yang ditentukan untuk bisa melakukan kredit di lembaga tersebut tidak mudah karena sangat terperinci dan lebih rumit.Â
Karena hal itu munculah lembaga keuangan bukan bank yang merupakan lembaga yang lebih fleksibel dan lebih mudah dari pada bank dalam persyaratan hal tertentu namun terdapat resiko yang terbilang cukup tinggi.Â
Lembaga keuangan bukan bank ini disebut juga dengan lembaga pembiayaan yang biasanya menawarkan penawaran yang mudah untuk memikat seseorang untuk tertarik melakukan transaksi ini karena dianggap mudah namun kekurangannya adalah dalam kesenjangan yang semakin lama semakin besar.Â
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di kelas menengah ke bawah menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sekundernya, seperti pemenuhan kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan transportasi seperti kendaraan bermotor, mobil dan lain sebagainya.Â
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menjelaskan bahwa lembaga keuangan ini bertujuan untuk memulihkan perekonomian negara sehingga dibutuhkan usaha yang lebih dan fleksibel dari bank dengan memperhatikan ketelitian akan hal ini disebutkan juga bahwa perlu diatur dalan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 tentang Lembaga pembiayaan yang berlaku pada tanggal 18 Maret 2009, yang dahulunya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan, Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.[2]Â
Lembaga pembiayaan kendaraan bermotor, sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang keuangan tentunya tidak terlepas dari resiko, utamanya terkait dengan resiko pengembalian kreditnya oleh konsumen.Â
Mengenai hal ini juga dikemukakan oleh Munir Fuady, sebagai berikut:"...tidak berarti bahwa bisnis pembiayaan konsumen ini tidak punya resiko sama sekali. Sebagai suatu lembaga pemberian kredit, resiko tetap ada. Macetnya pembayaran tunggakan oleh konsumen merupakan hal yang sering terjadi".[3]
Pada era modern saat ini semua sistem transaksi yang pada awalnya dilakukan secara manual secara perlahan berubah menjadi transaksi yang dilakukan secara digital yang dapat diakses menggunakan perangkat elektronik, dialihkan ke transaksi digital karena dianggap akan sangat memudahkan masyarakan saat melakukan transaksi.Â
Karena semua sistem pembayaran dapat diakses tanpa hambatan ruang dan waktu lembaga keuangan bukan bank ini dapat di akses dengan mudah.[4]Â
Pengertian perjanjian kredit sendiri merupakan kredit yang telah mendapatkan persetujuan dan telah disepakati oleh para pihak seperti kreditur maupun debitur yang wajib dibuat secara tertulis melalui perjanjian kredit. Untuk format dari perjanjian kredit ini diserahkan seluruhnya kepada pihak perbankan serta lembaga pembiayaan yang merupakan pihak bersangkutan.Â
Disisi lain terdapat pedoman yang harus ditaati yaitu perjanjian yang sudah dibuat tersebut penulisannya tidak boleh kabur atau tidak jelas serta perjanjian yang telah dibuat harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, dan memuat secara jelas mengenai besar-kecilnya krecit, jangka waktu pelaksanaan, terakhir yaitu tata cara pembayaran kredit dengan persyaratan yang lazim terjadi dalam perjanjian kredit. [5]
Pengertian perjanjian kredit dalam Hukum Perdata Indonesia adalah salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam BW, diatur pada BW dalam pasal 1754 jo 1769 BW. Perjanjian kredit dengan praktik perbankan tidak sepenuhnya identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan.Â
Perjanjian kredit tidak hanya semata-mata hanya perjanjian simpan-pinjam saja, didalamnya terdapat banyak bentuk perjanjian yang ikut berpartisipasi dalam menyempurnakan perjanjian kredit agar menjadi detail dan jelas perjanjian tersebut.Â
Seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya. Hal-hal diatas merupakan hal-hal yang perlu dilihat dengan tujuan untuk mencegah suatu pembatalan perjanjian yang telah dibuat, sehingga ketika melaksanakan perbuatan hukum tersebut jangan sampai terjadi pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan.
Pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha, menjelaskan bahwa "setiap transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian." Pada leasing, lazimnya juga diikuti dengan perjanjian jaminan fidusia.Â
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Pada perkara anda, harus diketahui terlebih dahulu apakah motor tersebut sudah dijaminkan fidusia atau tidak.
 Mengenai penarikan paksa oleh pihak leasing kepada nasabah tersebut, apabila transaksi peminjaman yang dilakukan tidak diaktakan pada notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia, maka secara hukum perjanjian fidusia tersebut tidak memiliki hak eksekutorial dan dapat dianggap sebagai hutang-piutang biasa, sehingga perusahaan leasing tidak berwenang melakukan untuk melakukan eksekusi, seperti penarikan motor (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia). Eksekusi haruslah dilakukan oleh badan penilai harga yang bersifat resmi atau Badan Pelelangan Umum.Â
Jika terjadi penarikan motor oleh pihak leasing tanpa menunjukkan sertifikat jaminan fidusia, itu merupakan perbuatan melawan hukum. Karena jika perusahaan pembiayaan tersebut belum mendaftarkan Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai hasil dari pendaftaran jaminan fidusia, maka Perusahaan pembiayaan tersebut tidak diperbolehkan atau dilarang untuk melakukan penarikan secara paksa benda jaminan fidusia (Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012).
Seperti yang kita ketahui juga, bahwa sejak tahun 2012 Kementerian Keuangan telah menerbitkankan peraturan yang melarang leasing untuk menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak pembayaran kredit kendaraan (Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012).Â
Tindakan leasing yang menarik paksa kendaraan anda tersebut melalui debt collector, bisa terjerat ancaman pidana. Sebab tindakan tersebut termasuk kategori perampasan sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP. Selain itu, tindakan tersebut termasuk pelanggaran terhadap hak Bapak sebagai konsumen (Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen).
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang mengenai permasalahan penarikan yang dilakukan secara paksa dikarenakan kredit bermasalah, maka dapat dirumuskan bahwa permasalahan adalah Bagaimana aturan mengenai penarikan secara paksa kendaraan bermotor karena kredit bermasalah?
METODE
Jenis penelitian yang digunakan untuk menulis artikel jurnal ilmiah ini menggunakan peneltian hukum normatif. Sumber hukum yang digunakan adalah mengguanakan bahan pustaka hukum keperdataan, khususnya hukum jaminan serta hukum perjanjian.Â
Penulisan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan serta menggunakan pendekatan konseptual yang dilakukan dengan menelaah konsep-konsep hukum serta doktrin-doktrin dalam ilmu hukum. Jenis penelitian hukum normatif ini juga didasarkan dengan norma-norma hukum yang ada pada perundang-undangan.Â
Penelitian ini membahas permasalahan yang terkadang sering terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia dan bagaimana aturan mengenai penarikan secara paksa ini sesuai dengan ketentuan dan kekuatan hukum positif Indonesia.
PEMBAHASAN
Hubungan Kreditur-Debitur
Pada dasarnya tidak semua perjanjian yang dilakukan oleh kreditur dan debitur berjalan lancar sesuai perjanjian, terkadang ada beberapa permasalahan yang menjadi kendala dan mempersulit debitur dalam menyelesaikan perjanjiannya dengan kreditur, salah satu masalah yang biasanya terjadi saat melakukan transaksi jual-beli kendaraan bermotor secara kredit yaitu kredit bermasalah atau yang dikenal dengan kredit macet.Â
Kredit macet sendiri adalah keadaan yang tidak terduga yaitu keadaan dimana seorang debitur terbilang tidak sanggup lagi untuk membayar lunas kredit tersebut tepat pada waktunya ataupun seorang debitur yang cidera janji atau wanprestasi ataupun melarikan diri seolah-olah tidak memiliki hak untuk membayar kredit yang seharusnya dibayarnya.
Keadaan penarikan kendaraan secara paksa ini termasuk dalam keperdaatan yang biasanya dapat dijumpai jika membahas perjanjian pinjam meminjam uang ataupun transaksi jual-beli, yang dimana debitur secara garis besar tidak mampu untuk melanjutkan pembayaran kredit sesuai waktu yang sudah ditentukan dalam perjanjian.[6]Â
Perbuatan yang tergolong wanprestasi jika disatukan dengan kredit bermasalah, yaitu:
- Seorang nasabah sama sekali tidak melakukan pembayaran kredit secara berangsur beserta bunga yang sudah disepakati;
- Seorang nasabah hanya membayar sebagian angsuran kredit dan tidak memperdulikan bahwa nasabah tersebut hanya membayar sebagian besar ataupun sebagian kecil angsuran;
- Nasabah membayar lunas angsuran kredit serta bunganya dalam jangka waktu perjanjian sudah daluwarsa. Hal ini tidak dianggap bahwa nasabah tersebut membayar lunas angsuran kredit.
 Apabila mendapati masalah seperti ini pasti terdapat penyebab dari suatu masalah, begitu pula dengan kredit bermasalah. Penyebab terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet tidak  biasanya berasal dari nasabah atau debitur itu sendiri tetapi bisa saja dari bank.
1. Â Nasabah
Ada beberapa faktor yang menjadikan alasan bahwa nasabah pun bisa menjadi penyebab terjadinya kredit macet tersebut, yaitu:
- Menyalahgunakan kredit yang didapatkan.
Pemakaian kredit yang menyimpang dan tidak sesuai ketentuan yang dituliskan pada perjanjian kredit yang telah disetujui tujuan pemakaiannya.
- Kurang mampu mengelola kredit yang didapatkan
Peminjaman kredit dengan jumlah yang cukup banyak beberapa nasabah yang melakukan pinjaman kredit tersebut namun nasabah ini tidak mempunyai niat untuk mengembalikan kredit tersebut walaupun harus dengan resiko apapun.
2. Bank
Bank pun dapat disebut salah satu penyebab terjadinya kredit macet. Mengenai memberikan kredit kepada nasabah. Sebagai pejabat bank diwajibkan melaksanakan prinsip-prinsip perbankan yang sehat, karena dianggap bahwa pihak yang memberikan kresit wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan.
Â
Aturan Mengenai Penarikan Secara Paksa Kendaraan Bermotor
Dalam hukum Indonesia yaitu Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia merupakan aturan yang sering digunakan dalam menyelesaikan perkara hukum penarikan kendaraan bermotor secara paksa dengan dasar kredit debitur bermasalah, aturan tersebut semua diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Â
Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjelaskan bahwa fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan disebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Untuk lebih jelasnya, dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menjelaskan:
- Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
- Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
 Dapat dilihat bahwa pada Pasal 15 tersebut dijelaskan dengan sangat rinci kata demi kata. Pasal 15 tersebut menjelaskan bahwa kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan apabila debitur cidera janji atau wanprestasi maka penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang bukan miliknya yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri tersebut kepada orang lain dan debitur tidak dapat membatah hal tersebut.
Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 khususnya Pasal 15, terdapat perbedaan penafsiran terkait dengan proses eksekusi atau penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kreditnya bermasalah.Â
Sebagian menafsirkan bahwa proses penarikan kendaraan bermotor harus lewat pengadilan, namun sebagian menganggap bahwa berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU maka dapat melakukan penarikan sendiri atau sepihak, dan hal inilah yang kemudian terjadi di masyarakat penarikan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector.
Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 bersifat final dan mengikat. Dengan begitu, setiap perusahaan leasing atau kuasanya tak boleh bertindak melakukan aksi pengambilan paksa bagi debitur yang mengalami keterlambatan pembayaran ciicilan.Â
Dalam putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 diatur soal mekanisme eksekusi penarikan barang kreditur yang menjadi objek jaminan fidusia. Misalnya, kreditur terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik objek jaminan fidusia.Â
Tapi, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya ingkar janji atau wanprestasi. Kewajiban debitur menyelesaikan piutangnya merupakan satu sisi yang tidak boleh dijadikan alasan melakukan teror disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat debitur.
Misalnya, kreditur terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik objek jaminan fidusia. Tapi, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya ingkar janji atau wanprestasi.Â
Kewajiban debitur menyelesaikan piutangnya merupakan satu sisi yang tidak boleh dijadikan alasan melakukan teror disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat debitur.
Pascaputusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, membuat argument yang berbeda karena Pascaputusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 ini yang bersifat final serta mengikat disebutkan pada Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia:
(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.Â
Sepanjang frasa "kekuatan eksekutorial" dengan frasa "sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap", inkonstitusional sepanjang tidak di garis bawahi dengan makna yang tertuju pada jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan dilakukan bersama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Inti dari Putusan MK tersebut memberikan penjelasan mengenai wanprestasi dalam eksekusi jaminan fidusia pada Pasal 15 Ayat (1) jo Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Awalnya, pasal tersebut ditujukan apablika debitur atau nasabah melakukan wanprestasi kepada penerima fidusia sebagai perusahaan leasing, maka pihak leasing berhak untuk menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri melalui lelang seperti yang sudah dijelaskan dalam putusan pengadilan yang inkracht.Â
Akan tetapi Putusan MK tersebut tidak lagi memungkinkan Kreditur untuk mengesekusi langsung barang jaminan fidusia jika debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia tersebut yang biasanya berupa kendaraan bermotor.
Jika ada debitur yang menunggak cicilan kendaraan bermotor, maka pihak leasing harus mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan negeri. MK memutuskan
 "terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap"
Maka sebaliknya, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan, jika perusahaan leasing boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan jika debitur mengakui adanya wanprestasi dan bersedia menyerahkan objek jaminan fidusia tersebut,
"Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia(kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah "cidera janji" (wanprestasi) dan debitur secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri,"
"dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia(debitur) mengakui bahwa dirinya telah "cidera janji" sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur),"
Apabila pihak perusahaan leasing melakukan penarikan paksa akan suatu kendaraan dikarenakan kredit debitor bermasalah dapat disangka-kan telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Karena dapat dianggap sebagai tidakan perampasan dan dapat dijerat atau dikenakan Pidana pada pasal 365 KUHAP mengenai pencurian dengan kekerasan sebagai pemberatan dari pasal pencurian biasa, sebagaimana dimaksud dalam pasal 368 KUHAP.Â
Apabila pihak leasing mendatangkan beberapa debt collector untuk menarik paksa kendaraan debitur secara melawan hukum, maka debitur dapat melaporkan debt collector tersebut kepada pihak kepolisian untuk tindak lanjuti. Disisi lain, debitur tetap wajib melunasi utang-utangnya kepada kreditur.Â
Jika tidak dilakukan, maka kreditur berhak untuk mengajukan somasi dan menggugat yang bersangkutan ke pengadilan atas dasar wanprestasi. Menurut Pasal 1267 KUHPerdata. Salah satu hal dapat dituntut dari pihak yang wanprestasi, yaitu pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian. Ganti kerugian tersebut terdiri dari beberapa unsur, yaitu biaya, rugi, dan yang terakhir adalah bunga.
Namun, mengenai pembatalan tidak mudah dilakukan oleh Kreditur, karena suatu tindakan pembatalan ini harus dinyatakan oleh pengadilan.
 Tanpa adanya hal tersebut maka tidak bisa dilakukan pembatalan dan tanpa pembatalan kreditur tidak bisa menyita barang yang diterima oleh debitur melalui debt collector.Â
Apabila tetap memaksakan keadaan, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum, karena penyitaan barang oleh Kreditur maupun debt collector termasuk pelanggaran hukum dan dapat dipidana termasuk pada pasal 362 KUHP. Kreditur pun tidak dapat seenaknya sendiri melakukan penyitaan kendaraan tersebut dengan paksaan maupun kekerasaan, karena terdapat peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tanggal 7 Agustus 2012, menjelaskan bahwa seorang Kreditur harus melakukan pendaftaran jaminan fidusia terlebih dahulu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal pembiayaan konsumen (pasal 1 jo pasal 2 PMK Nomor 130/PMK.010/2012), apabila tidak melakukan hal tersebut maka Kreditur tersebut tidak dapat menyita asset yang dimiliki oleh Debitur.
Â
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tindakan penarikan secara paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh perusahaan leasing selaku kreditur melalui debt collector sebagai perantara kepada debiturnya, pada Putusan MK 18/PUU-XVII/2019 yang bersifat final dan mengikat, menjelaskan setiap perusahaan leasing atau kuasanya tak boleh bertindak melakukan aksi pengambilan paksa bagi debitur yang mengalami keterlambatan pembayaran ciicilan.Â
Prosedur penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Â
UU tersebut menerangkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan bahwa dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia  mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Â
 "terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap"
Â
SARAN
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan diatas, Pemerintah memiliki peran yang sangat penting terkait tindakan penarikan secara paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh perusahaan leasing selaku kreditur melalui debt collector selaku perantara kepada debiturnya. Pengawasan yang dilakukan pemerintah dirasa kurang menyadarkan pihak kreditur karena tidak adanya sanksi tegas yang tertuju langsung kepada perusahaan leasing  tersebut yang membuat resah masyarakat karena tindakan tersebut tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditulis Oleh : Ivanoviera Budhi Irhamna dan Abraham Ferry Rosando
email: norravan14@gmail.com
email: ferry@untag-sby.ac.id
Surabaya, 25 Oktober 2021
Â
Daftar Pustaka
Ahmad Muliadi, Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Akademia Permata. 2013
 D.Y Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam PerjanjiannPembiayaan Konsumen, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2015, hlm. 1.
 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit (Jakarta: Djambatan,1996)
 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006),
 Munir Fuady , Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011),
 Novia Dwi Khariati, Perlindungan Hukum Konsumen Bagi Penarikan Paksa Kendaraan Oleh Debt Collector, Jurnal Perspektif Hukum, Vol.20 No.2 Nov 2020.
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
 Pascaputusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tanggal 7 Agustus 2012
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H