Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Uban Om Ardi

21 Januari 2017   15:18 Diperbarui: 21 Januari 2017   15:24 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tante Emi tertawa.

"Kata Om kamu, tante itu terlalu saklek dan galak, gak ada lembut-lembutnya, padahal warga kan butuh keteduhan dari seorang ketua erte. Kata-kata bijaksana dan bijaksini mungkin."

Aku manggut-manggut.

"Kalau warganya gak menjengkelkan sih boleh aja, lha ini kamu tahu sendiri kan tadi. Di tagih bayar iuran, alasannya ngalor ngidul tak tentu arah, padahal kan cuma lima ribu."

"Kalau keluarga prasejahtera sih bisa di maklum, lha ini kalung emasnya aja segede velg becak."

"Tante sirik ya sama kalung emasnya?"

"Sirik? Tentu saja." Tante Emi tertawa.

"Iuran erte gak mau bayar, giliran sakit terus gak di tengok, eh dia marah. Sama rasa sama rata tuh gak ada dalam kamus mereka. Inginnya di beri melulu, giliran kewajiban gak mau tahu." Tante Emi berbicara dengan menggebu.

"Acara kerja bakti gak berpartisipasi, giliran got depan rumah mampet lapor ke erte minta di bersihin rame-rame sementara dia malah pergi."

"Got ambrol karena ulah kudanya, eh minta dana ke erte.  Itu baru satu keluarga Put. Coba kamu bayangkan."

Aku menyeringai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun