Tante Emi tertawa.
"Kata Om kamu, tante itu terlalu saklek dan galak, gak ada lembut-lembutnya, padahal warga kan butuh keteduhan dari seorang ketua erte. Kata-kata bijaksana dan bijaksini mungkin."
Aku manggut-manggut.
"Kalau warganya gak menjengkelkan sih boleh aja, lha ini kamu tahu sendiri kan tadi. Di tagih bayar iuran, alasannya ngalor ngidul tak tentu arah, padahal kan cuma lima ribu."
"Kalau keluarga prasejahtera sih bisa di maklum, lha ini kalung emasnya aja segede velg becak."
"Tante sirik ya sama kalung emasnya?"
"Sirik? Tentu saja." Tante Emi tertawa.
"Iuran erte gak mau bayar, giliran sakit terus gak di tengok, eh dia marah. Sama rasa sama rata tuh gak ada dalam kamus mereka. Inginnya di beri melulu, giliran kewajiban gak mau tahu." Tante Emi berbicara dengan menggebu.
"Acara kerja bakti gak berpartisipasi, giliran got depan rumah mampet lapor ke erte minta di bersihin rame-rame sementara dia malah pergi."
"Got ambrol karena ulah kudanya, eh minta dana ke erte. Â Itu baru satu keluarga Put. Coba kamu bayangkan."
Aku menyeringai.