Aku mematung dan menatap nanar seseorang yang baru saja membukakan pintu untukku.
"Apa kabar ponakan?" Pria berwajah ramah itu mencubit pipiku seperti yang selalu ia lakukan bila bertemu denganku.
Aku masih diam, memandangi helai demi helai rambutnya yang kini warnanya terlihat berbeda.
"Kagum dengan rambut om kamu Put?" seorang wanita yang masih mengenakan daster bergaya batwing tiba-tiba muncul lalu mencium kedua pipiku dan menarik lenganku untuk ikut masuk ke dalam rumah bersamanya.
Aku menyeringai.
"Om kan sudah tua, ya wajar lah rambutnya jadi gini." Om Ardi mengelus kepalanya sendiri.
"Hmm, gak tua juga kali om." Aku menyandarkan punggungku di kursi rotan minimalis yang selalu aku sukai bentuknya.
"Ayah saja baru ada beberapa yang nongol. Aku gak ketemu Om kan baru setahun ini."
"Om banyak pikiran Put, ngurusin warga. Otaknya jadi panas yang memicu timbulnya uban dimana-mana." Tante Emi tertawa renyah.
"Ah, masa sih tante, Om baru beberapa bulan ini kan jadi ketua erte? Ayah aja sudah 9 tahun jadi ketua erwe gak gitu-gitu amat."
Om Ardi adalah adik kandung dari ayahku, baru satu tahun ini ia dinobatkan menjadi ketua erte dimana tidak ada satu warga pun yang bersedia menjabatnya. Mungkin kami adalah keluarga yang memiliki gen pelayan masyarakat. Selain Ayah dan om Ardi, Om Geni, adik bungsu mereka kini tengah menjabat sebagai kepala desa.
"Ya, beda lah Put. Warga disana kan nurut-nurut gak bikin pusing seperti warga disini." Tante Emi meletakkan secangkir teh hangat di hadapanku.
"Oh, ya? Masa sih tante?" aku bertanya dengan wajah serius.
Om Ardi dan Tante Emi hanya tersenyum, saling tatap, lalu tergelak. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku mengerutkan keningku, mereka ini sepertinya diambang kegilaan, pikirku. Tidak menjawab malah tertawa terpingkal-pingkal.
***
Aku menutup hidungku cepat ketika aroma tak sedap menguar dan dengan gegap gempita memenuhi paru-paruku.
"Maaf ya Put, tante ajak jalan sini, ini jalan pintas. By the way, sudah pergi kok aroma wewangian ala Tomtom Hilfingernya." Tante Emi berkata dengan bumbu satir lalu tertawa termihik-mihik.
"Ya ampun tante, itu tadi bau tujuh rupa asalnya dari mana?" Aku berbisik lirih di telinganya.
"Dari istal dan kandang ayam." Tante Emi balik berbisik sambil menyeret ku untuk berjalan lebih cepat.
"Istal? Rumah kuda eh kandang kuda?"
"He-eh."
"Dimana? Aku gak lihat tadi." Aku terpontal-pontal di belakang tante Emi yang berjalan bagai atlet cabang atletik divisi jalan cepat.
"Ah, dasar mata minus kurang di urus. Tadi di sebelah kiri kamu ada rumah yang bagian pinggirnya berkelambu terpal kan?"
"Aha."
"Itu istalnya, kandang ayamnya ya yang diatas got itu, yang bentuknya kotak-kotak, kayak kemeja favorit kamu itu." Tante Emi meliriku dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Waduh." Aku menepuk jidatku sendiri. "Tante, nanti lewat situ lagi ya, aku kok jadi penasaran."
"Hmm, suka ya sama wewangian aroma terapi yang satu itu?"
Aku merengut.
***
Kaki ku terasa sangat pegal setelah seharian ini berjalan pulang pergi ke pasar dilanjutkan dengan menagih uang iuran bulanan ke beberapa rumah warga yang belum tertagih bersama tante Emi.
"Gimana Put, safari hari ini menyenangkan kan? Memangnya hanya pak Harmoko aja yang punya acara safari nan kondang itu. Tante juga punya lah." Tante Emi tersenyum.
"Menyenangkan sih tapi sedikit membuat bulu kuduk ku berdiri tante."
“Nah, kamu tahu sendiri kan bagaimana keadaan sebagian warga disini.”
Aku mengangguk.
"Ngomong-ngomong, kok bisa ada istal di antara rumah yang berhimpitan gitu sih Tan, kan gak sehat." Mendadak aku kembali penasaran dengan hal yang satu itu.
"Ya gimana lagi Put, susah disadarkan. Sudah tertutup pikirannya, lha wong bicara aja gak pakai mulut tapi pakai golok."
"Hah?"
"Iya, mereka itu penduduk lama, turun temurun tinggal disini. Jadi merasa memiliki kampung dan berprilaku semaunya sendiri."
"Salah satu Klan yang membuat uban Om kamu berkembang biak secara membabi buta."
"Oh ya?"
"Iya, kandang kudanya itu jarang dibersihkan, terkadang kudanya buang kotoran di got. Ayam-ayamnya pun demikian, kandang nya tidak dialasi, jadi kotorannya langsung terjun bebas ke got. Kebayang kan kalo hujan besar dan air gotnya meluap karena jarang mereka bersihkan?”
Aku bergidik membayangkannya. "Gak ditegur oleh om?"
"Sudah Put, gak mempan. Dia orang malah petantang petenteng bawa golok. Suatu hari Tante gak terima dong Om kamu di suguhi golok. Terpaksa deh tante bawa pacul sama arit. Memangnya tante takut? Orang kayak gitu tu gak mempan sama bahasa lemah lembut ala Om kamu itu."
"Wih, ternyata tante masih cadas juga ya seperti dulu, terus? Mati kutu dong dia?"
"Ya Enggak lah, orang tante di usir sama Om kamu, di suruh pulang." Tante Emi terkikik.
***
Aku terbatuk-batuk, air jeruk ku pun tidak masuk ke tenggorakan secara sempurna ketika sebuah teriakan membahana memenuhi rongga telinga.
"Bu Emi, saya tidak terima ini."
Tante Emi menghampiri wanita muda yang tengah mengacung-acungkan piring kosong. Aku mengikutinya dari belakang.
"Siapa itu tante?"
"Adiknya si dia yang punya kuda." Tante Emi berbisik
"Ada apa bu Iceu?" Tante Emi bertanya dengan nada suara yang terdengar sedikit kesal.
"Ini, Ikan goreng saya habis digondol kucingnya Bu Seto."
"Lha terus?" Tante Emi mengerutkan keningnya.
"Terus, Bu Seto nya gak mau ganti, padahal kan itu kucing dia. Tanggung jawab dia kan?"
Tiba-tiba ada suara yang menimpali protesan Bu Iceu. "Loh, kok saya yang suruh ganti. Bu Iceu kan tahu kalau kucing itu sifar dasarnya garong. Berarti salah orangnya dong gak hati-hati." Seorang ibu berol rambut datang sambil mulutnya komat kamit bagai dukun yang sedang memantrai pasiennya.
Tante Emi hanya diam melihat dua ibu muda itu saling bicara tak karuan satu sama lain.
"Bu Seto ini gimana sih, kucing jadi garong kan karena gak pernah di kasih makan."
"Weh fitnah, orang tiap hari aku kasih makan kok. Ayok kerumah kalau gak percaya."
"Ya buktinya nyolong ikan saya tuh."
"Bu Emi jadi gimana nih, saya kan jadi rugi, keluarga saya jadi gak bisa makan ikan gara-gara kucing bu Seto ini." teriak Bu Iceu tak sabar.
Tante Emi baru saja akan membuka mulutnya, namun disambar lebih dulu oleh Bu Seto yang nampaknya mulai naik pitam karena berita hoax dari mulut Bu Iceu tentang kucingnya yang tak pernah di beri makan.
"Nih saya bayar, berapa? Saya gak mau menganggu kesejahteraan meja makan Bu Iceu" Bu Seto merogoh saku dasternya.
"Nah gitu dong, sepuluh ribu."
"Sepuluh ribu, silahkan dinikmati." Bu Seto mengulurkan uang duapuluh ribu rupiah kepada bu Iceu.
"Ini kembaliannya." Dengan susah payah bu Iceu merogoh saku celana jeansnya yang super ketat.
"Gak usah, buat bu Iceu saja, barangkali kucing saya nyolong lagi." Bu Seto nyinyir, lalu berpamitan.
"Saya juga pamit." Seru bu Iceu sambil melambaikan piring dan uang dua puluh ribuannya.
Aku menatap tante Emi heran.
"Jadi mereka itu ngapain kesini, kalau masalahnya bisa mereka selesaikan sendiri tan?"
Tante Emi tersenyum."Yah, mungkin hanya ingin berbagi aja Put. Berbagi omelan.” Tante Emi tertawa termihik-mihik.
"Eh, tapi kalau ada Om kamu nih, gak bakalan bisa begini. Pasti ada bab pendahuluan, pembahasan, dan penutup berupa kesimpulan, yang mana akan membutuhkan waktu yang lama."
"Oh ya?"
“Iya, semua hal harus jelas awal akhirnya.”
“Tante harusnya ngikutin apa yang Om lakukan dong, biar kompak gitu.” Aku protes.
"Ah gak pake Put. Om kamu kan kerja dari pagi sampai sore, nah, tante lah yang tiap hari ada di rumah. Otomatis banyak persoalan warga yang tante tangani. Memang sih Om kamu kadang gak suka cara tante menangani warga."
Tante Emi tertawa.
"Kata Om kamu, tante itu terlalu saklek dan galak, gak ada lembut-lembutnya, padahal warga kan butuh keteduhan dari seorang ketua erte. Kata-kata bijaksana dan bijaksini mungkin."
Aku manggut-manggut.
"Kalau warganya gak menjengkelkan sih boleh aja, lha ini kamu tahu sendiri kan tadi. Di tagih bayar iuran, alasannya ngalor ngidul tak tentu arah, padahal kan cuma lima ribu."
"Kalau keluarga prasejahtera sih bisa di maklum, lha ini kalung emasnya aja segede velg becak."
"Tante sirik ya sama kalung emasnya?"
"Sirik? Tentu saja." Tante Emi tertawa.
"Iuran erte gak mau bayar, giliran sakit terus gak di tengok, eh dia marah. Sama rasa sama rata tuh gak ada dalam kamus mereka. Inginnya di beri melulu, giliran kewajiban gak mau tahu." Tante Emi berbicara dengan menggebu.
"Acara kerja bakti gak berpartisipasi, giliran got depan rumah mampet lapor ke erte minta di bersihin rame-rame sementara dia malah pergi."
"Got ambrol karena ulah kudanya, eh minta dana ke erte. Itu baru satu keluarga Put. Coba kamu bayangkan."
Aku menyeringai.
"Ada lagi yang pelitnya gak ketulungan. Rumahnya besar, mobil ada, mau naik haji, eh terasnya gak di pasangi lampu, cuma mengandalkan JPU dan sinar lampu tetangga."
“Nah itu tante, penghematan untuk bayar ongkos naik haji-nya mungkin.”
Tante Emi menaikan bahunya.
"Om kamu lagi, apa-apa harus pake pendekatan halus dan praduga tak bersalah. Padahal jelas sekali bahwa mereka itu salah." Tante Emi berbicara tanpa henti.
"Kadang kalau kejengkelan tante sudah ada di ubub-ubun, tante labrak aja mereka."
“Om gak protes?"
"Pasti protes lah, soalnya orang-orang yang tante labrak, semuanya langsung bikin laporan lengkap ke Om kamu." Tante Emi tergelak.
"O gitu ya. Hmm, berarti ya tan, uban di rambut om Ardi itu penyebabnya gak cuma karena mikirin warga, tapi juga mikirin tante yang suka bikin Om harus menyusun kalimat panjang lebar tentang apa yang telah di lakukan tante sebelumnya." Aku terbahak.
"Eeiihhh..." Tante Emi merengut lalu meraih sendalnya.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H