"Baru saja Jibril berkabar kepadaku, Kangmas. Kau tidak dimampiri?"
Aku menggeleng halus. Nabi Musa semakin mendekatkan bibirnya pada telingaku. Keterangannya membuatku mereda.
"Iblis, Kangmas."
***
Tangannya kuborgol dengan rantai, terikat pada patok tepat persis disamping api unggun utama perkemahan kami. Patok sengaja kutaruh dekat sekali dengan nyala api, agar petugas patroli bisa melihat tahanan ini dari segala sudut. Saking dekatnya dengan api, bagian punggungnya sudah tak tertutup baju lagi. Kain seragam tentaranya hangus jadi abu, terbang dibawa angin. Manusia biasa pasti sudah melepuh, tapi dia tidak. Kupandangi dia dari pinggir pintu tendaku. Bani Israil yang lain tak berani mendekatinya, takut tertular wabah sungai Nil yang mungkin ia bawa kemari.
"Kangmas Harun..."
Adikku datang dari samping tenda, langsung bahuku dirangkulnya. Setelah kedatangan Iblis tadi, duabelas kepala suku bersepakat untuk mengangkat Musa sebagai presiden, primus inter pares, ketua dewan kepala suku. Entah karena rasa takut yang menjadi-jadi, atau rasa cemas akibat mendamba tanah air, atau sekedar logika akal yang menyebabkan mereka akhirnya bersatu. Ya, akhirnya!
Kemerdekaan yang datang tiba-tiba tidak membuat sikap otak Bani Israil menjadi bebas seketika. Kedatangan sewujud prajurit Mesir yang berhasil menyebrang ke timur sudah membuat ketar-ketir satu kampung. Padahal, perjalanan dengan kapal laut setidaknya butuh sehari semalam kesini. Mesir yang sudah nun jauh disana, masih memiliki cengkraman pada isi otak Bani Israil. Perkiraanku, butuh waktu berabad-abad lagi sampai orang-orang ini hidup nyaman di tanah Kanaan yang dijanjikan. Perangai mereka harus cocok dulu sebagai orang merdeka, baru Tuhan berikan wilayah mandiri untuk diurus. Sebelumnya, tidak.
"Wonten dawuh, kanjeng Rasul Allah?"
"Sampai kapan kita ringkus dia seperti itu, Kangmas?"
"Kanjeng Rasul minta saranku?"