Setiba di persimpangan jalan, Iblis hendak kami lepaskan. Seragam tentara Mesirnya sudah kami lucuti. Sekarang hanya tiga helai pakaian yang kami berikan padanya; satu bagian bawah, satu bagian tengah, satu bagian atas. Persis seperti halnya pakaian budak Yahudi dahulu di Luxor. Siapapun yang berpapasan dengannya, jika tertarik bisa mengambil dirinya sebagai budak.
"Kita berpisah disini, Iblis. Jika kulihat kau bergentayangan diantara kaumku, dalam bentuk gaibmu, maka akan kubakar kau!" Kanjeng Nabi Musa memberi salam perpisahan khasnya.
"Baik, Baginda. Hamba akan berusaha sebaik mungkin agar tak terlihat oleh Baginda saat bergentayangan." Iblis tersenyum. Kanjeng Nabi Musa tidak.
"Kau butuh bekal, Iblis?"
"Tidak, Baginda Nabi Harun. Hamba berterima kasih. Selesai hari ini hamba sudah tak bertubuh lagi. Aku tak tahan bau keringat tengik manusia."
Sekali lagi ia tersenyum. Aku tidak.
"Sebagai hadiah perpisahan, sekaligus ucapan selamat jalan, hamba hendak memberi masukan bagi Baginda Rasul berdua."
Aku menunggu jawaban dari Kanjeng Nabi Musa. Kutatap dalam-dalam mata beliau. Ia pun mengangguk.
"Terima kasih, Baginda. Yang pertama, di negeri Kanaan sudah berdiam bangsa Filistin. Kalian akan dianggap pendatang oleh mereka. Ketika kaum Bani Israil akan masuk ke tanah Kanaan, mereka akan menganggap kalian penjajah. Mereka akan menganggap kalian invasif. Mereka akan menganggap kalian tiran dan teroris. Tentara pendudukan. Mereka sudah berabad tinggal disana, dan kedatangan kalian akan mendapatkan perlawanan sengit. Pertumpahan darah akan terjadi. Masukan dariku, ajarkan anak-anak kalian menggunakan ketapel. Ditangan ahlinya, batu kerikil akan melesat cepat menjadi peluru yang bisa menembus kepala raksasa sekalipun."
Kanjeng Nabi Musa mendengarkan dengan serius. Itulah yang sempat kami bicarakan di Luxor sebelum eksodus, di kampung Yahudi. Bagaimana seandainya di tanah Kanaan sudah ada penduduk. Apakah akan kami usir, atau hidup berdampingan?
Tiba dulu di tepian, baru pikirkan cara ke seberang.