Iblis tersenyum, lalu diangkat bahunya. Aku tak tahan lagi, kutebas saja lidahnya. Iblis menjerit tertahan, lidahnya jatuh didekat kakiku. Kulepas cekikan, kuhempas lehernya kearah api unggun, lalu kutendang lidahnya kedalam nyala api.
Melihat keributan ini, para penjaga pada bersiap, tapi Kanjeng Nabi Musa menyuruh mereka kembali menjauh. Urusanku dengan Iblis tak boleh diganggu.
Iblis terbatuk-batuk, lalu bangkit lagi. Sekarang ia duduk bersimpuh dihadapan kami berdua. Aku duduk kembali disamping Kanjeng Nabi Musa.
"Kangmas Mahapatih, kalau dipotong lidahnya, bagaimana mau berbincang?"
"Tenang, Adimas. Beri api waktu."
Tak berapa lama kemudian, Iblis kembali mengangkat wajahnya.
"Sakit, Iblis?" Kanjeng Nabi Musa menanti jawaban.
"Tidak, Baginda Nabi. Hanya terasa dingin menusuk. Terima kasih pada Baginda Nabi Harun sudah melempar lidah hamba ke api."
"Itu peringatan terakhir, Iblis." Aku angkat bicara, "Yang berikutnya gentong air."
"Mohon maaf, Baginda. Hamba bukan diutus Allah ke Mesir, tapi inisiatif sendiri. Dan hamba bersumpah demi Dia Yang Memanjangkan Umur, tak pernah sekalipun hamba menyelusup ke kampung budak Yahudi. Jibril sering seliweran disana, Baginda. Hamba pasti ketahuan."
"Inisiatif? Ada urusan apa kau di Mesir?"