"Ya Rasul! Kau tahu tongkatmu tak bisa kau pukulkan padaku, bukan?"
Pernyataan kurang ajar dari prajurit calon bangkai. Sudah jelas-jelas hidupnya nyaris punah, justru malah menantang Nabi Musa. Namun, sekali lagi aku harus tercekat.
Nabi Musa menurunkan tongkatnya. Ia tersenyum, sikap berdirinya menjadi tenang kembali.
"Ternyata kau, toh!"
Setelah beberapa kali batuk-batuk, prajurit Mesir itu berdiri dengan bersusah-payah. Nabi Musa mendekat padanya, dan memberi isyarat padaku untuk ikut bersamanya. Jago-jago Israil dibelakang kububarkan.
Setelah mendekat, aku baru menyadari. Nyaris tak mungkin manusia bisa selamat dari himpitan Laut Merah setelah 2 hari 2 malam, lalu berenang sampai ke Tanjung Sinai ini. Jika tanpa izin dari Allah, tak mungkin ia bertahan hidup.
"Salam sejahtera kepada utusan Allah! Ya Nabi Musa dan Nabi Harun."
Semakin jelas, tak mungkin prajurit sejati Mesir memanggil kami dengan julukan Nabi. Prajurit Mesir sejati menyembah rajanya. Orang ini mesti telik sandi Dimas Musa.
"Aku terima salammu, semoga Allah mengabulkan. Namun, kau tahu aku tak bisa membalas salammu. Jangan kau sakit hati, kawanku!"
Prajurit Mesir ini melambaikan tangannya pada kami, tanda ia tak perduli. Sombong benar manusia ini.
"Dimas," bisikku pada Nabi Musa, "orang ini siapa?"