Aku menciduk segenggam pasir, dan kusiramkan kearah adikku. Pasirnya terlalu halus, jadi hanya sedikit saja yang mendarat di kainnya. Namun, yang sedikit itu sanggup menyemburkan murkanya melalui ubun-ubun.
Ia menerjang, dan dengan sedikit gerakan menghindar, aku sambut tinjunya. Meleset dari sasaran, ia kait sikunya ke leherku. Dalam keadaan terjepit, pilihanku hanya bergulat dengannya. Beberapa kali kami bertukar tinju. Janggutnya yang hitam dan janggutku yang putih kini lengket dengan darah dari luka-luka kami. Anggota suku kami berdatangan, dan membentuk lingkaran sebagai pembatas gelanggang tempat kami baku hantam.
Aku paham adikku ini luar biasa besar tenaganya. Namun, ia pun harus mengakui bahwa teknik gulatku tiada banding. Dalam keadaan dirinya kupiting dari belakang, aku melihat inilah kesempatan menghentikan perkelahian.
 "Aku lepas kuncianku, tapi kau harus berhenti menghajarku! Jika tidak, kucekik kau sampai pingsan, Dimas!"
Dengan suara tercekat, ia membantahku, "Kau... sedikit... lagi... habis... tenaga... Kang!"
"Ya, tapi masih sanggup membuat paru-parumu kempis."
Akhirnya, ia menyerah. Aku hempaskan ia ke samping kananku. Sorot matanya tajam padaku, lalu ia tebarkan pada warga suku yang membuat lingkaran. Napasku dan dia pagi-sore, terengah dan berat. Peluh dan darah mengalir dari wajah kami. Ia lalu kembali menatapku tajam, lalu tangannya terulur.
"Lumayan, Kangmas, untuk kakek-kakek 85 tahun!"
Aku sambut jabat tangannya.
"100 tahun lagi berkelahi denganmu pun aku masih sanggup!"
Tawa kami berdua pecah, lalu diikuti oleh seluruh warga Israil yang mengelilingi kami. Seseorang diantara mereka mengambilkan tongkat yang ia lemparkan sebelum menerjangku. Tongkat yang juga ia lemparkan ke laut sebelum kami menyeberang kesini. Untung saja tadi tidak menjelma jadi Anaconda, seperti waktu itu.