"Dimas..."
Adikku sedang termenung diatas karang. Ia berjongkok bersandarkan pada tongkatnya. Pandangannya lurus ke seberang laut, yang ombaknya bagai bernapas maju mundur di bibir pantai. Janggutnya hitam panjang sampai ke dada. Lirih panggilanku nampaknya tak terdengar olehnya, tersapu angin laut.
"Dimas, aku baru saja kembali dari pertemuan. Ada yang perlu aku sampaikan padamu."
Kepalanya menengok lemah. Ia bahkan tidak mengarahkan bola matanya padaku. Lumpur butek dalam hatinya masih belum bisa ia sapu.
"Kangmas, mereka tak ingin aku terlibat sedari awal. Dalam rangka apa engkau sampaikan kabar dari pertemuan itu?"
"Duh, Dimas, jangan merengut seperti itu! Kau ini terlalu pendek sumbunya. Belum sempat kami jelaskan alasan, tiba-tiba naik pitammu."
"Cukup, Kangmas. Lidahmu pintar menari, lidahku kaku. Sampaikan saja apa yang seperlunya. Bukan hanya sumbuku yang pendek, liang telingaku ini juga."
Hah, sulit sudah kalau hatinya mengeras melebihi karang tempatnya berpijak. Apalagi dirinya selalu saja beralasan ada bara gaib menggelantung di lidahnya. Ya, ada benarnya juga. Sudah tak bisa bermanis mulut, panas pula pilihan kata-katanya.
"Kami sepakat mengajukan tiga alternatif, Dimas. Pembahasan kami panjang dan berbelit, hingga mampu tiba pada tiga alternatif itu. Jika kau terlibat dari awal, Dimas, maka beban kerjamu menjadi-jadi. Kami ringankan bebanmu, Dimas, dengan tak perlu ikut bahasan sedari awal. Kau sebagai pemimpin dan pembuka jalan, dipersilakan memilih salah satu. Satu pilihanmu itulah keputusan bersama yang akan kami jalankan."
"Dipersilakan? Maksudmu, diperintahkan?"
"Ya Tuhan Maha Esa, ampunilah aku dan adikku atas dosa keras kepala kami, Ya Tuhan...!!!"