MAU GAK JADI ISTRIKU?
Tiga tahun, cukuplah bagiku mengenalnya. Tegas, dingin dan selalu tidak sabaran. Aku hampir pastikan kehadirannya membuat jarum jam berputar lebih cepat dari hitungan batas normal.
Kadang kesal juga dibuatnya. Namun, saat ia tidak ada, rindu mulai saling berkejaran antara tanya dan jawaban.
Aku sadar. Rasa sukaku, mulai mengisi setiap lubang-lubang alveoli, itulah kenapa kehadirannya membuatku dapat bernapas lega. Meskipun kutahu. Cintaku yang berlari di tempat hanya mengikat dalam hening mencekam.
Trubusku di sela rasa. Semakin hangat menjalari detik ke detik. Tanpa kau tahu. Bahwa setiap lembar cerita hanya terisi oleh aku ... aku ... dan hanya aku.
Kesadaran itu menukik tajam. Karena aku adalah bukan sesiapa sedang dirimu adalah tonggak sejarah.
***
"Hup!" Kulempar bola ke arah keranjang. Di jarak lima meter pasti bisa gol. Bukankah aku jagonya? Seorang gadis tomboy yang dijuluki sebagai Queens Cut.
BAMMS!
Akhirnya masuk juga di detik terakhir. Sorak sorai dan tepuk tangan memenuhi seluruh lapangan bola basket. Tribun banjir dengan umbul-umbul yang bergambar team JAK MOVE ON. Seluruh anggota team besutan Rizal Zero bersujud syukur, termasuk juga aku di dalamnya.
"OK NGUMPUL GUYS!!!" teriak Bang Rizal sembari melambaikan tangan. Semua anak lapangan dari team JAK MOVE ON berdiri mengitarinya.
"Kita kumpul di base camp habis pertandingan ini. Eros akan mengantar kalian. Aku sendiri akan pergi sebentar." Begitu ucap Bang Rizal.
Lugas, tegas tanpa basa-basi, dan aku selalu suka gayanya yang EXTRIME SELF CONFIDENT. Mungkin karena pemilik grup ini berkocek tebal. Tapi, sesungguhnya bukan itu yang bikin aku rusuh dengan rasa tertarik padanya, melainkan sifatnya yang dingin juga penuh perhatian, membuatku penasaran.
"Bang Izal mau kemana?" Erin bertanya.
"Traktir kalianlah. Biasa ... pizza apa gorengan, nih?"
"Gurame bakar aja, Bang!" sahut Yani.
"Ok aku siapin."
"Yess!!" jawab anak-anak serentak.
Semua gadis basket pasti akan terpukau dengan sikapnya. Bagaimana tidak? 'Tak pernah tampak ia merayu siapapun, meski banyak yang bersikap manja dan cari perhatian di depannya.
Sedang aku? Aah, aku cuma ilalang. Tumbuhku serupa tak nampak meski memberi kehijauan bagai karpet di sepanjang saujana perbukitan. Tak pantas buatku berharap lebih dari sekadar teman.
Bisa masuk team JAK MOVE ON saja, buatku sudah merupakan kehormatan. Selebihnya aku bisa menjalin silaturahmi dengan orang lain, selain lingkunganku yang tertutup. Seputar buku dan bola.
"Tar ikut ngumpul kan, di base camp?" tanya Bang Rizal.
"Insya Allah, Bang. Kalo gak sibuk ya," jawabku sembari mengeringkan keringat dengan handuk.
"Emang ada acara apalagi?"
"Gak ada sih. Paling antar pesanan buku doang."
"Jadi pulang sekarang, kan? Yuk bareng!"
Aku menoleh, melihat keyakinan di matanya saat mengajakku.
"Ayo!" bang Rizal menarik pergelangan tanganku.
"I -- iya Bang, bentar. Aku ambil tas dulu," ujarku sedikit gagap.
Menurut pria ini mungkin biasa. Maksa dan buru-buru, memang hobinya. Tapi untukku, perhatian model begini membuat mataku sulit terpejam nanti malam.
Lalu, apa aku harus mencarinya? Atau mendengar suaranya lewat telepon?
"Jangan lupa pakai sabuk," ujar Bang Rizal.
Tangannya menarik seat beltku dari arah kiri ke kanan. Tubuh kami berdekatan. Aku bahkan sempat mencium aroma tubuhnya yang harum. Entah parfum apa yang ia kenakan saat ini.
Kuputar wajahku ke samping kanan. Sial!! Hidung mancungku justru bergesekan dengan kulit lehernya. Gila ...
"Ma -- maaf, Bang," sungkanku.
Pria di hadapanku ini malah menatap. Rasanya ingin kucolok matanya yang bikin detak jantungku sempat berhenti di lima detik terakhir.
"Aku mengencangkan seat beltmu dan kamu malah mencium leherku," ucapnya dengan mata masih membekukan detak nadi.
"Bu -- bukan itu maksudku, Bang. Tadi Abang terlalu dekat. Aku jd sungkan. Aku putar wajah ke kiri  mak ..."
"Iya. Lalu kamu menciumku, kan?"
Kalau ada hal yang paling aku benci dari sikapmu, itu adalah kejujuran konyol itu. Aku tak bisa menjadi manusia tanpa jantung. Kau pasti sudah tahu. Tomboy ... ya, tapi aku masih seorang barbie dalam cinta.
Kutundukkan wajah meredakan hati yang tak kuasa lagi untuk berhenti diam. BANG RIZAAALL!!! Gemas aku dengan sikapnya.
"Ingat! Perjalanan kita masih lama. Kamu jangan tidur di mobil. Nanti aku jadi repot harus gendong, dan kamu pasti minta diantar sampai kamar, lalu kita ... aaah aku benci otakku."
Benar-benar cowok gila. Bisa-bisanya dia cerita tentang imajinasi liarnya padaku. Kuanggap saja novel lawas. Impas kita.
Kendaraan roda empat menerobos keramaian, menuju jalan RE Martadinata. Di perapatan arah kelapa gading banyak orang duduk-duduk sembari makan mie ayam kaki lima. Pemandangan yang selalu kurindukan saat dahulu aku masih di sekolah menengah atas.
Bang Rizal menepikan kendaraan.
"Yuk, cari tongkrongan!"
"Tongkrongan? Tongkrongan apa, Bang?"
"Mie ayam lah. Emang kamu gak lihat di sini banyak orang nongkrong makan mie ayam?"
"I -- iya juga sih. Tapi Bang ...."
"Yuk!"
Bang Rizal mendahului langkahku. Sekali lagi aku harus kalah dengan keinginannya. Pria ini benar-benar pria sejati. Tanpa bersikap kasar saja, sudah sanggup membuatku bertekuk lutut. Tak ada perlawanan, tak ada bantahan.
Matanya yang dingin menoleh ke belakang di mana aku masih berjalan dengan jarak yang cukup jauh darinya.
"Kenapa lama sekali jalannya? Gak laper, ya?"
Bang Rizal mengangkat kedua alis tebalnya. Tampak mata dengan pupil coklat itu menghunjam pandanganku. Susah payah aku menahan debaran di dada.
Pria itu berjalan kembali mendekat. Diraihnya pergelangan tanganku. "Cepat dikit jalannya."
Aku menuruti.
Duduk di bangku panjang dengan tanpa rasa malu, Bang Rizal segera memesan tiga porsi mie ayam hainan. Rupanya kuliner yang satu ini memang sangat ia gemari. Terlihat dari jumlah pesanannya. Padahal kami cuma berdua, tapi ia memesan tiga mangkuk mie.
Sesekali matanya menatap ke arahku, membuat aku malu dan tertunduk. Dari jarak yang begitu dekat, aku seperti melihat sebuah lukisan fiksi tentang sepasang kekasih.
Pria berkacamata dan berkulit hitam ini sangat manis. Tampaknya aku akan sulit melupakan wajah serupa ini. Jangankan saat ia tersenyum, ketika diam pun sosoknya begitu menggemaskan.
Andai saja aku dari kalangan orang berada. Mungkin sedari dahulu aku menjadi kekasihnya. Sayangnya, saat ini Bang Rizal hanya menganggapku adik. Tak lebih dari itu.
"Heh ... kalo diplototin doang, gak bakal habis mienya." Â Bang Rizal menarik hidungku, terkejut aku dibuatnya.
"Makan cepat, ya."
"Ya Bang."
Beberapa kali aku melirik wajah pria memesona, yang ada di hadapanku ini. Rasanya lensa mataku sudah mengambil gambar berulang-ulang. Hingga memori retinanya overload. Sungguhpun demikian, 'tak pernah bosan aku memandangnya.
"Aku belum pergi, kamu sudah merindukanku berkali-kali," bisiknya padaku.
Betapa terkejutnya aku. Ternyata Bang Rizal tahu, aku memperhatikannya sedari tadi. Sesegera mungkin kuhabiskan mienya, lalu beranjak menuju mobil. Kebiasaannya membuatku malu sungguh meresahkan.
Bang Rizal bangkit dari duduk hendak membayar pesanan. Sayang, lipatan ujung lengan kemejanya menyenggol sendok mie. 'Tak ayal sendok itu pun terjatuh menimpa kemeja tepat di pinggang. Bercak saos tertinggal di sana.
"Duh duh! Apes aku," keluhnya. Tangannya berusaha menghilangkan noda saos dengan lembaran tissue.
"Maaf ya, Bang," Â Ujar pedagang mie. Tangannya ikut sibuk mengusap-usap kemeja Bang Rizal.
"Biar Mang. Gak pa pa. Tadi saya aja yang kurang hati-hati," balasnya dengan nada halus.
Rizal Zero ... hampir tidak bisa kupercaya dengan kesopanannya. Menilik ia orang mandailing, biasanya suku yang berdarah medan selalu punya watak kasar dan keras. Tapi tidak demikian dengan Rizal. Pria ini sangat manis, sopan, meskipun dingin dan hobi buru-buru. Yang jelas aku tetap suka.
Rasa suka membuatku diam dan takluk walaupun aku sering kesal padanya, seiring dengan itu Ia juga membuatku tersenyum saat mata terpejam.
Aku suka dia ... sungguh, aku sangat suka dia.
Kakiku membawa kembali ke hadapan Bang Rizal. "Ada apa, Bang?"
Ia tersenyum padaku. Sambil merapikan posisi kacamatanya. Nanti antar aku beli kaus sebentar, ya."
Aku mengangguk. Lalu kami pergi melanjutkan perjalanan.
Boulevard kelapa gading dihujani lampu jalan. Terang benderang bagai siang hari. Tak ada manusia sengsara di sana. Semua wajah tampak tertawa menikmati suguhan kemajuan zaman.
Dari restauran kecil-kecilan hingga mall besar berjejer saling melengkapi. Udara kota seperti bukan di negara sendiri yang dalam berita terkenal sebagai negara orang demo. Karena hampir tiap saat ada saja berita warga yang protes terhadap kebijakan pemerintah.
Sesampainya di depan Distro Kaus Bandung, kendaraan kami berhenti. Bang Rizal mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan, kemudian diberikannya padaku.
"Belikan aku kaus, aku tunggu di sini. Aku malu kalo ke dalam. Ya ... kamu pasti ngerti lah."
Tanpa bertanya, kuturuti permintaannya. Kasihan juga ia. Kemeja mahalnya jadi bernoda saos.
Aku pilihkan polo berwarna yang tampak serasi dengan kulitnya. Sedikit susah memang, tapi kurasa setiap pria pasti cocok dengan warna abu atau kemerahan agak tua sedikit.
Sambil menjinjing belanjaan aku menuju parkiran mobil yang letaknya cukup jauh dari gedung distro.
Melihat aku sudah datang, di kejauhan Bang Rizal keluar dari dalam mobil. Aku datang dan menyerahkan kaus pesanannya.
"Mudah-mudahan warnanya cocok, Bang. Aku pilih abu dan merah agak tua sedikit."
"Hmm ... ok gak pa pa. Kemarikan."
Rizal membuka bungkusan tas dari distro. Dilihat olehnya, sepertinya ia suka, lalu menyerahkan bungkusannya kembali padaku.
"Tolong pegangin." Pria itu seketika membuka kemeja dan kaus dalamnya di depanku.
Tampak barisan otot menegangkan di sana. Tubuhnya yang atletis seperti terlatih berolah raga. Tonjolan yang tertata rapi dengan kulit yang halus dan berwarna hangat, membuatku terpana. Tak hendak kupalingkan mataku dari pemandangan yang menakjubkan itu.
Sekali lagi aku menjadi seorang wanita. Yang dapat berdebar saat merasakan hujan hipnotisme rahsa. Memburuku pada oksigen coba kuredupkan, agar 'tak nampak olehnya, kilat di mataku yang berdosa ini.
"Dian ...," tegurnya yang tidak kusadari. "Dian ... Kemarikan kausnya." Kembali ia meminta padaku.
Sejenak telingaku enggan hidup. Yang kudengar hanya hening bersama sosok paling bening.
Bagai bentuk kristal porselen. Tubuhnya terbentuk dengan sangat baik. Lekuk-lekuk ototnya merupakan bukti Tuhan menciptakan kesempurnaan karya seni dengan keindahan. Rizal Zero, selain sifat dan kelakuannya yang menggemaskan. Sosoknya pun tampak menggairahkan.
Tanpa sadar mataku mulai melukis dosa atas nama keindahan.
"Hai ...," bisik Bang Rizal perlahan. Suara bassnya menerobos indra pendengaran. Seketika mencairkan kebekuan aliran darah di tubuhku. Akhirnya neuron-neuron otakku terisi ion kembali, dan kulihat pria berwajah manis itu sudah berada  persis sejengkal dari wajah. Dengan tangan memegang daguku.
"Ada apa, Dian?" tanyanya padaku. "Kok ngelamun?"
Kusembunyikan apa yang seharusnya tersembunyi. Seperti merahnya udang rebus di pipiku, misalkan, atau aliran hangat yang menghidupi getar nadiku, bisa juga dosa terindah yang kurasakan saat ini.
"Eh -- eh -- tidak apa-apa, Bang." Selesai kuserahkan kausnya, aku bergegas pergi.
Bang Rizal menahan lenganku. Di putarnya kembali tubuhku menghadapnya. Dada ini bergemuruh. Ada tepukan dahsyat yang membangunkan jantung. Hingga kepala  turut pula berdenyut.
Mataku terbelalak menatapnya. Bang Rizal meraih pinggangku, membawa tubuhku lebih erat lagi. Tampak jelas pupil coklat mirip ingsang itu membesar saat kutatap.
MUACH ...
Pria dewasa ini mengecupku.
" .... aku benci otakku. Aku tahu kamu suka padaku. Aku juga suka kamu, Dian."
Aku meronta, berharap lepas dari hangat pelukan Bang Rizal. Sebelum imanku menghujat lebih sadis. Namun, pria itu 'tak merenggangkan sedikitpun pelukannya. Ia kembali menatapku.
"Di usia sepertiku, malu rasanya memintamu jadi pacarku. Kalauuu ... jadi istriku, mau gak?"
Aku tersentak dengan ucapannya. Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu, Bang Rizal sudah melepaskan pelukannya. Meraih kaus dari tanganku, lalu mengenakan dengan cepat.
Kembali ia menciumku. Kali ini dengan sangat lembut. Aku balas mengulum bibirnya yang terasa hangat dan lembab. Ia menatapku lekat.
Tiba-tiba. "Ayo cepat!" Pria bertubuh atletis itu segera masuk ke dalam mobil. "Aku akan minta izin orang tuamu hari ini."
"Untuk?"
Bang Rizal menoleh padaku. "Untuk menikah denganmu."
"Tapi kita belum pacaran, Bang!"
"Buat apa? Kita kan sudah kenal satu sama lain selama tiga tahun. Apa yang kurang?"
"Ya ... mungkin Abang perlu tahu banyak tentang aku. Hidupku, pekerjaanku, teman-temanku, keluargaku, atau mungkin kelakuan dan sifatku yang masih rahasia."
Rizal mendekatiku. Kembali ia merapikan letak kacamatanya. Anehnya kali ini sorot matanya tidak sedingin hari-hari sebelumnya.
"Aku sudah tahu banyak tentangmu. Kamu juga sudah tahu banyak tentang aku. Selebihnya tinggal kita jalani semua dengan doa dan kamu akan lihat, akan banyak kehangatan hidup bersama denganku."
Ucapannya membuatku tidak hanya sekadar yakin. Tapi Bang Rizal juga menunjukkan kesiapan dan kedewasaannya.
"Bang ...."
Ia segera memeluk, sebagai bentuk jawaban atas keraguanku. Dikecupnya ujung kepalaku. "Jadi gimana ... mau gak jadi istriku?"
Aku melayangkan seluruh pandangan pada wajah  pria itu.  Airmukanya begitu jernih. Aku sayang padanya.
Tak banyak persamaan di antara kami. Justru yang paling kukhawatirkan adalah perbedaan yang tajam itu. Bahkan kalimat PERNIKAHAN SEKUFU, seolah momok yang sangat menakutkan. Aku takut kapalku karam di tengah perjalanan. Lalu, kehilangan menjadi pedang tajam yang kemudian menyayat hatiku.
"Aku takut, Bang. Keluargamu tidak menerimaku. Kita bukan dari keluarga yang sederajat."
"Tapi kita dari keluarga yang seiman."
"Kalau ke depannya kita ribut terus, Â gimana? Atau keluargamu terus tidak menyetujui kita, gimana?"
"Kayak anak kecil kamu, Dian. Coba lihat aku ... aku sudah tua, tidak ada orang tua yang tidak siap dengan itu."
Aku diam. Sejuta kembang api merayakan malam tahun baru di kepalaku. Sorak sorai dan dentumannya tercatat sebagai tahun baru perjalananku, dengan pria medan yang manis dan bertubuh atletis ini.
Jika tenggelamku dalam kesunyian begitu penuh hiruk pikuk. Itu adalah renyahnya rasaku pada sosok yang begitu memesona. Rizal zero.
Fin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H