"Mie ayam lah. Emang kamu gak lihat di sini banyak orang nongkrong makan mie ayam?"
"I -- iya juga sih. Tapi Bang ...."
"Yuk!"
Bang Rizal mendahului langkahku. Sekali lagi aku harus kalah dengan keinginannya. Pria ini benar-benar pria sejati. Tanpa bersikap kasar saja, sudah sanggup membuatku bertekuk lutut. Tak ada perlawanan, tak ada bantahan.
Matanya yang dingin menoleh ke belakang di mana aku masih berjalan dengan jarak yang cukup jauh darinya.
"Kenapa lama sekali jalannya? Gak laper, ya?"
Bang Rizal mengangkat kedua alis tebalnya. Tampak mata dengan pupil coklat itu menghunjam pandanganku. Susah payah aku menahan debaran di dada.
Pria itu berjalan kembali mendekat. Diraihnya pergelangan tanganku. "Cepat dikit jalannya."
Aku menuruti.
Duduk di bangku panjang dengan tanpa rasa malu, Bang Rizal segera memesan tiga porsi mie ayam hainan. Rupanya kuliner yang satu ini memang sangat ia gemari. Terlihat dari jumlah pesanannya. Padahal kami cuma berdua, tapi ia memesan tiga mangkuk mie.
Sesekali matanya menatap ke arahku, membuat aku malu dan tertunduk. Dari jarak yang begitu dekat, aku seperti melihat sebuah lukisan fiksi tentang sepasang kekasih.
Pria berkacamata dan berkulit hitam ini sangat manis. Tampaknya aku akan sulit melupakan wajah serupa ini. Jangankan saat ia tersenyum, ketika diam pun sosoknya begitu menggemaskan.