"Untuk?"
Bang Rizal menoleh padaku. "Untuk menikah denganmu."
"Tapi kita belum pacaran, Bang!"
"Buat apa? Kita kan sudah kenal satu sama lain selama tiga tahun. Apa yang kurang?"
"Ya ... mungkin Abang perlu tahu banyak tentang aku. Hidupku, pekerjaanku, teman-temanku, keluargaku, atau mungkin kelakuan dan sifatku yang masih rahasia."
Rizal mendekatiku. Kembali ia merapikan letak kacamatanya. Anehnya kali ini sorot matanya tidak sedingin hari-hari sebelumnya.
"Aku sudah tahu banyak tentangmu. Kamu juga sudah tahu banyak tentang aku. Selebihnya tinggal kita jalani semua dengan doa dan kamu akan lihat, akan banyak kehangatan hidup bersama denganku."
Ucapannya membuatku tidak hanya sekadar yakin. Tapi Bang Rizal juga menunjukkan kesiapan dan kedewasaannya.
"Bang ...."
Ia segera memeluk, sebagai bentuk jawaban atas keraguanku. Dikecupnya ujung kepalaku. "Jadi gimana ... mau gak jadi istriku?"
Aku melayangkan seluruh pandangan pada wajah  pria itu.  Airmukanya begitu jernih. Aku sayang padanya.