"Ada apa, Dian?" tanyanya padaku. "Kok ngelamun?"
Kusembunyikan apa yang seharusnya tersembunyi. Seperti merahnya udang rebus di pipiku, misalkan, atau aliran hangat yang menghidupi getar nadiku, bisa juga dosa terindah yang kurasakan saat ini.
"Eh -- eh -- tidak apa-apa, Bang." Selesai kuserahkan kausnya, aku bergegas pergi.
Bang Rizal menahan lenganku. Di putarnya kembali tubuhku menghadapnya. Dada ini bergemuruh. Ada tepukan dahsyat yang membangunkan jantung. Hingga kepala  turut pula berdenyut.
Mataku terbelalak menatapnya. Bang Rizal meraih pinggangku, membawa tubuhku lebih erat lagi. Tampak jelas pupil coklat mirip ingsang itu membesar saat kutatap.
MUACH ...
Pria dewasa ini mengecupku.
" .... aku benci otakku. Aku tahu kamu suka padaku. Aku juga suka kamu, Dian."
Aku meronta, berharap lepas dari hangat pelukan Bang Rizal. Sebelum imanku menghujat lebih sadis. Namun, pria itu 'tak merenggangkan sedikitpun pelukannya. Ia kembali menatapku.
"Di usia sepertiku, malu rasanya memintamu jadi pacarku. Kalauuu ... jadi istriku, mau gak?"
Aku tersentak dengan ucapannya. Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu, Bang Rizal sudah melepaskan pelukannya. Meraih kaus dari tanganku, lalu mengenakan dengan cepat.
Kembali ia menciumku. Kali ini dengan sangat lembut. Aku balas mengulum bibirnya yang terasa hangat dan lembab. Ia menatapku lekat.
Tiba-tiba. "Ayo cepat!" Pria bertubuh atletis itu segera masuk ke dalam mobil. "Aku akan minta izin orang tuamu hari ini."