Andai saja aku dari kalangan orang berada. Mungkin sedari dahulu aku menjadi kekasihnya. Sayangnya, saat ini Bang Rizal hanya menganggapku adik. Tak lebih dari itu.
"Heh ... kalo diplototin doang, gak bakal habis mienya." Â Bang Rizal menarik hidungku, terkejut aku dibuatnya.
"Makan cepat, ya."
"Ya Bang."
Beberapa kali aku melirik wajah pria memesona, yang ada di hadapanku ini. Rasanya lensa mataku sudah mengambil gambar berulang-ulang. Hingga memori retinanya overload. Sungguhpun demikian, 'tak pernah bosan aku memandangnya.
"Aku belum pergi, kamu sudah merindukanku berkali-kali," bisiknya padaku.
Betapa terkejutnya aku. Ternyata Bang Rizal tahu, aku memperhatikannya sedari tadi. Sesegera mungkin kuhabiskan mienya, lalu beranjak menuju mobil. Kebiasaannya membuatku malu sungguh meresahkan.
Bang Rizal bangkit dari duduk hendak membayar pesanan. Sayang, lipatan ujung lengan kemejanya menyenggol sendok mie. 'Tak ayal sendok itu pun terjatuh menimpa kemeja tepat di pinggang. Bercak saos tertinggal di sana.
"Duh duh! Apes aku," keluhnya. Tangannya berusaha menghilangkan noda saos dengan lembaran tissue.
"Maaf ya, Bang," Â Ujar pedagang mie. Tangannya ikut sibuk mengusap-usap kemeja Bang Rizal.
"Biar Mang. Gak pa pa. Tadi saya aja yang kurang hati-hati," balasnya dengan nada halus.