Pria di hadapanku ini malah menatap. Rasanya ingin kucolok matanya yang bikin detak jantungku sempat berhenti di lima detik terakhir.
"Aku mengencangkan seat beltmu dan kamu malah mencium leherku," ucapnya dengan mata masih membekukan detak nadi.
"Bu -- bukan itu maksudku, Bang. Tadi Abang terlalu dekat. Aku jd sungkan. Aku putar wajah ke kiri  mak ..."
"Iya. Lalu kamu menciumku, kan?"
Kalau ada hal yang paling aku benci dari sikapmu, itu adalah kejujuran konyol itu. Aku tak bisa menjadi manusia tanpa jantung. Kau pasti sudah tahu. Tomboy ... ya, tapi aku masih seorang barbie dalam cinta.
Kutundukkan wajah meredakan hati yang tak kuasa lagi untuk berhenti diam. BANG RIZAAALL!!! Gemas aku dengan sikapnya.
"Ingat! Perjalanan kita masih lama. Kamu jangan tidur di mobil. Nanti aku jadi repot harus gendong, dan kamu pasti minta diantar sampai kamar, lalu kita ... aaah aku benci otakku."
Benar-benar cowok gila. Bisa-bisanya dia cerita tentang imajinasi liarnya padaku. Kuanggap saja novel lawas. Impas kita.
Kendaraan roda empat menerobos keramaian, menuju jalan RE Martadinata. Di perapatan arah kelapa gading banyak orang duduk-duduk sembari makan mie ayam kaki lima. Pemandangan yang selalu kurindukan saat dahulu aku masih di sekolah menengah atas.
Bang Rizal menepikan kendaraan.
"Yuk, cari tongkrongan!"
"Tongkrongan? Tongkrongan apa, Bang?"