Aku tahu pasti, pagi ini pun dia berdiri di depan pintu kelasnya. Namun yang aku tidak tahu, kenapa dia berdiri di situ dan bertatapan denganku saat aku lewat di depannya lalu tersenyum sambil menyapaku: "Hai Hen selamat pagi!"
"Hai. Selamat pagi Bunga!" ujarku membalas sapaannya tapi dengan penuh kegugupan.
Bunga, gadis cantik dan cerdas yang selalu mengganggu pikiranku beberapa hari ini. Bukan apa-apa, gadis ini sudah lama menjadi idamanku sejak SMP dulu.Â
Hanya saja saat itu, belum ada keberanianku untuk mendekatinya. Lalu saat sudah menginjak SMA ini apakah aku sudah memiliki keberanian mendekatinya?
Aduh susah juga untuk mencari jawabnya. Aku ini merasa seorang pemuda yang pemalu sehingga suka gugup jika berhadapan dengan seorang gadis.
Apakah ini yang menyebabkan aku belum memiliki keberanian mendekati Bunga? Entahlah. Bingung. Pemuda pemalu sepertiku memang keterlaluan.
Bunga duduk di kelas I-4 sedangkan aku di kelas I-3. Ruang kelas yang bersebelahan namun kelas Bunga ada di sebelah arah dekat Gerbang Sekolah sehingga untuk menuju ke ruang kelasku, bagaimanapun harus melewati ruang kelasnya.
Setiap pagi Bunga selalu berdiri di depan pintu kelas itu dan aku dibuat terpana oleh senyum manis dan sapa ramahnya.Â
Seperti pagi itu hal serupa terjadi lagi. Hanya kali ini ada hal yang luar biasa. Bunga memanggilku lalu menghampiriku. Deg deg deg hatiku berdebar-debar.Â
"Hen mau gabung di grup belajarku. Aku membuat grup belajar, " kata Bunga.
"Grup belajar? Siapa saja yang sudah gabung?"
"Roni dan Mira. Aku harap kamu mau gabung!"
Roni dan Mira ah mereka memang sudah pacaran sejak SMP dulu. Ini hanya modus saja agar mereka lebih sering bertemu. Apalagi aku tahu orang tua Mira sangat ketat menjaga anak gadisnya.
"Hei kok melamun?" tanya Bunga dengan mimik keheranan.Â
"Eh iya maaf Bunga. Bukan melamun tapi lagi berfikir ikut apa enggak," kataku masih gugup karena teguran Bunga.
"Kamu kan jagoan Matematika jika gabung pasti aku senang," suara Bunga penuh harap.
Aku rasanya senang juga mendengar pujian Bunga. Namun memang aku sangat menyukai Matematika karena itu tidak aneh kalau mata pelajaran ini aku selalu mendapatkan nilai tertinggi.Â
"Baik Bunga. Aku bersedia bergabung!"
"Terima kasih Hen," suara Bunga penuh gembira.
Aku lihat matanya yang indah itu berbinar menatapku. Ada perasaan aneh ketika mata gadis cantik itu menatapku penuh arti.
Hatiku terasa bergemuruh seakan berdetak lebih cepat. Inikah yang dinamakan jatuh cinta? Ditatap seperti itu aku malah merasa malu. Dasar memang pemuda pemalu.
Malam ini adalah pertama kali Grup Belajar kami melakukan kegiatannya. Rumah Bunga adalah tempat yang pertama menjadi tuan rumah.
Kami berempat mengerjakan soal-soal Matematika. Aku diminta teman-temanku untuk menjadi tutor dengan memberikan penjelasan di depan papan tulis.
Soal-soal Matematika itu aku lahap satu persatu tanpa ada sisa. Beberapa pertanyaan dari Roni, Mira dan Bunga selalu kulayani sampai mereka mengerti dengan tuntas.
Aku melihat teman-temanku merasa puas belajar bersamaku terutama Bunga. Selama belajar besama malam itu, Bunga banyak mencuri pandang memperhatikanku sambil tersenyum.
Saat itu aku pura-pura tidak tahu kalau Bunga mencuri pandang. Aku juga tidak berani mencoba menebak apa yang ada dalam hati Bunga.
Kadang-kadang aku mencoba mengambil kesimpulan bahwa Bunga menyukaiku. Ya hanya menyukaiku karena aku pintar mata pelajaran Matematika saja bukan mencintaiku seperti yang aku impikan selama ini.
Ya bukan mencintaiku, jadi sudahlah jangan berharap terlalu jauh. Aku berusaha berani menghadapi kenyataan ini. Maka legalah hatiku dan sekarang aku ingin lebih baik fokus saja pada pelajaran sekolah. Titik.
Pagi itu seperti biasa aku berjalan melewati depan kelas Bunga namun tidak melihat gadis itu ada di sana. Aku penasaran lalu mencoba menengok ke dalam kelasnya.
Tidak aku temukan Bunga ada di sana. Kemanakah kau Bunga? Anehnya Mira, teman dekatnya juga tidak tahu kenapa Bunga tidak masuk sekolah.
Pertanyaan itu masih belum terjawab sampai bel pulang sekolah berbunyi. Aku bertemu Mira dan Roni di halaman parkir. Mereka mengatakan sudah mencoba menghubungi melalui telepon selulernya namun tidak aktif.
Akhirnya aku menduga jangan-jangan Bunga sakit. Ternyata benar saja ketika sore itu mendatangi kediaman Bunga mendapat kabar bahwa Bunga sakit demam berdarah dan dirawat di Rumah Sakit Santosa.
Saat itu juga aku meluncur menuju ke sana, lalu mencari informasi kamar tempat dimana Bunga dirawat.
Kamar rawat di ruang 212 lantai 2 aku menuju ke sana. Kujumpai Bunga terbaring dengan tangan kanan diinfus.
Aku melihat ada seorang pemuda sedang menemani Bunga. Usianya lebih tua dariku. Mungkin sepantaran mahasiswa semester awal. Melihatku di depan pintu kamar itu dia menyapaku ramah.
"Silakan masuk," kata pemuda itu padaku. Sikapnya sangat ramah. Apakah ini pemuda pacarnya Bunga? Sopan dan familiar.
Aku sangat terkesan. Ganteng lagi. Sangat tepat bersanding dengan Bunga yang cantik. Aku tersenyum sendiri ketika ada rasa cemburu dalam hati. Aku masuk mendekati Bunga yang terbaring.
"Hai Hen," suara Bunga menyapaku lemah. "Terima kasih sudah datang menjengukku. Kau tahu dari siapa aku dirawat di sini?"
"Sebelum ke sini tadi aku ke rumahmu dan mendengar kabar kamu dirawat di sini."
"Maafkan ya. Aku sampai belum sempat mengabarimu."
"Tidak apa-apa Bunga yang penting kamu cepat sembuh," kulihat Bunga tersenyum ya Tuhan inilah senyum manis yang tadi pagi tidak aku temui di depan pintu kelasnya.
"Oh ya Mas Rio kenalkan ini teman sekolahku," kata Bunga kepada pemuda yang dipanggil Rio itu.
Sambil tersenyum Rio menyalamiku sambil menyebutkan namanya. Pertemuan yang singkat tapi memiliki makna yang dalam.
Rio pemuda yang sangat ramah. Hanya saja ada ganjalan saat ada pemuda itu di ruang dimana Bunga dirawat.
Inilah yang selalu mengganggu pikiranku apakah pemuda itu pacarnya? Jika iya kenapa pula aku harus galau?
Rio kelihatan pemuda yang baik, ramah dan sudah mahasiswa sedangkan aku baru kelas satu SMA.
Rio sangat pantas menjadi pendamping Bunga jika dibandingkan denganku. Fakta sudah berkata seperti itu. Lalu mau apa lagi? Lupakan saja mimpimu Hen.Â
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah pikiran seperti itu terus membayangi kepalaku.
Hari ini Bunga sudah diperbolehkan kembali masuk sekolah. Kesehatannya sudah semakin pulih. Berita ini aku dengar sendiri dari Bunga ketika tadi malam dia menelponku.
Pagi itu memang aku melihat Bunga berdiri di depan pintu kelasnya. Aku menghampirinya sambil menyapa:
"Aku senang bisa melihatmu lagi berdiri di depan pintu kelasmu, " kataku tanpa sadar menyapa Bunga dengan kata-kata seperti itu. Bunga tertawa manja. Tatapan matanya kelihatan penuh bahagia. Aku bisa merasakannya.
"Aku juga senang sekarang kamu sudah mulai berani menggodaku!"
"Oh maaf Bunga. Aku bukan bermaksud begitu," kataku tergagap benar-benar gugup rasanya aku malu sekali.
Untung saja di sana tidak ada siapapun yang melihat kegugupanku. Pemuda pemalu yang gugup tidak terbayangkan salah tingkahnya seperti apa.
Bunga hanya tersenyum sambil berkata : "Ah Hen, nggak apa-apa aku suka kok kamu mau menggoda seperti itu."
"Tapi Bunga. Maafkan aku ya!" kataku menyesali diri.
Bunga kembali tertawa sambil mencubit lenganku. Aku semakin salah tingkah ah dasar beginilah nasib menjadi seorang pemuda pemalu yang malah jadi malu-maluin.
Kejadian pagi itu meninggalkan rasa bahagia namun ketika aku teringat sosok Rio, kebahagian itu langsung sirna.
Pernah aku mencari tahu kepada Mira, siapa sebenarnya Rio. "Rio memang sering berkunjung ke rumah Bunga," begitu penjelasan Mira. Iya bahkan aku sendiri sering melihat Bunga dijemput Rio saat pulang sekolah.
"Tapi kamu tidak usah putus asa. Ayo dong berani sedikit. Ngomong gitu, kalau kamu itu cinta banget sama Bunga," kata Mira memberi semangat. Aku hanya terdiam.
"Apa harus aku yang mengatakannya kepada Bunga kalau kamu itu cinta banget?" Ancam Mira.Â
"Eh jangan Mira. Aku kan nanti nggak enak sama Rio," kataku penuh rasa khawatir.Â
Mendengar ini Mira tertawa lalu berkata: "Hen sudahlah sekarang kamu harus percaya padaku. Bunga itu juga naksir kamu. Biarin saja Rio itu siapa. Kalau Bunga pilih kamu kan selesai persoalan."
"Iya tapi kalau Bunga pilih Rio terus aku mau dikemanain?" kataku sambil tertawa tapi terasa sumbang.
"Kamu tahu enggak, pernah Bunga bertanya padaku. Dirimu itu sudah punya pacar apa belum?"Jelas Mira.Â
"Ah yang bener Mir. Lalu kamu jawabnya?"
"Ya Aku bilang sama Bunga, tanya sendiri saja sama orangnya!" kata Mira sambil tertawa.
"Kenapa kamu enggak bilang kalau aku belum punya pacar," kataku protes.
"Sudahlan jangan protes. Kalau kamu tidak cepat-cepat bilang cinta sama Bunga nanti keburu kedahuluan orang lain jangan-jangan nanti keduluan Rio," suara Mira serius.
Benar juga apa yang dikatakan Mira. Duh Tuhan bagaimana caranya aku bisa mengumpulkan keberanianku untuk mendekati Bunga dan mengatakan perasaanku.
Kalau aku masih belum juga berani bagaimana kalau benar-benar terjadi Rio lebih dulu mengutarakan cintanya kepada Bunga? Oh no. Kiamatlah dunia ini.
Hari ini saat berada di tempat parkir kembali aku melihat Rio baru saja mengantar Bunga. Aku malah langsung berpapasan dengan mereka.
"Hai !" sapa Rio kepadaku sambil melambaikan tangannya.
"Hai juga Mas Rio!" kataku sambil membalas lambaian tangannya. Aku dan Bunga berjalan bersama menuju kelas.
"Mas Rio ada kuliah sampai sore mungkin aku nanti pulang sendiri. Hen, mau kan mengantarku pulang nanti?" tanya Bunga.
Aku terkejut dengan ajakan Bunga ini. Memang selama ini aku sering melihat Bunga selalu diantar jemput oleh Rio.
"Boleh Bunga nanti kita pulang bersama kebetulan rumahku searah denganmu!" kataku. Bunga tersenyum senang dan akupun juga tersenyum bahagia.
Pulang sekolah itu, kami menuju rumah Bunga. Tidak mudah menuju ke sana. Biasa dimana-mana macet dan macet sudah menjadi fenomena kota metropolitan yang tidak terencana dengan baik.
Setelah berhasil keluar dari perangkap macet, akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Bunga mengajakku singgah dan aku memenuhi ajakannya.
"Kau mau minum panas atau dingin?" Bunga menawarkan minuman.
"Dingin saja Bunga terima kasih," kataku.
Ruang tamu yang luas. Banyak lukisan antik pada dinding dan ada juga foto kelihatannya itu foto Rio dan Bunga.
Aku mendekati foto yang ada di sana. Rio dan Bunga ada dalam foto itu berdua. Mereka nampak serasi sungguh pasangan yang ideal.
Benar sekarang aku yakin mereka pasti sudah bertunangan. Foto Bunga dan Rio ternyata tidak hanya satu di ruang tamu itu.
"Maaf ya sudah menunggu lama," kata Bunga sambil membawa segelas minuman segar untukku. Aku hanya tersenyum dan menerima minuman yang disodorkan Bunga.
"Gimana hari Sabtu depan kamu jadi ikut camping nggak?"
"Oh iya acaranya Sabtu depan. Aku tidak tahu pinginnya sih ikut. Kalau Bunga?"
"Aku juga pinginnya ikut. Tapi kalau kamu nggak ikut aku juga enggak ikut!"
"Lho kok gitu. Ya udah aku ikut deh," kataku. Bunga tersenyum senang.
"Bener ya Hen, ikut." Aku mengangguk dan memastikan ikut dalam acara akhir pekan itu.
Pulang dari rumah Bunga aku kembali membawa beban tentang Rio. Alangkah bahagianya Rio yang telah mendapatkan cinta Bunga.
Gadis cantik, ceria dan cerdas ini benar-benar idaman setiap pemuda. Tidak mudah pemuda di sekolahku berhasil merebut hatinya mungkin termasuk diriku. Rio lah pemuda yang berbahagia itu.
Acara camping akhir pekan akhirnya tiba. Kawasan Ciwangun Indah Camp di Cihanjuang adalah tempat yang indah untuk acara menghabiskan akhir pekan. Kami mengadakan acara camping akhir pekan di sana.Â
Ada out bond dengan fasilitas yang lengkap. Areanya berbukit-bukit. Untuk menggapai area perkemahan kita harus siap untuk jalan kaki ke atas bukit yang tidak terlalu tinggi.
Setelah semua grup menyiapkan tenda-tenda mereka. Kebetulan tendaku persis bersebelahan dengan tenda milik grupnya Bunga.
Acara api unggun berlangsung dengan khidmat. Aku duduk bersama grupku dan Bunga diseberang api unggun sana juga dengan grupnya.
Acara demi acara dari mulai pidato-pidato, nyanyi dan pembacaan puisi usai sudah. Malampun semakin larut dan hampir semua peserta sudah masuk tenda masing-masing untuk tidur lelap.
Sementara aku masih duduk di depan api unggun itu sendirian. Entah kenapa aku tidak bisa tidur malam itu. Selalu terbayang dalam benakku adalah Bunga dan Rio.
Aku seakan merasa telah menjadi seorang yang benar-benar manusia yang kalah sebelum berperang. Sungguh memalukan.
Di depan api unggun itu aku memeluk lututku agar seluruh tubuhku terjilati rasa hangat api dari bara itu.
Malam semakin hening benar-benar hening. Sesekali terdengar suara nyanyian jengkrik yang bersembunyi di sela-sela rumput sekitarnya.
"Hen!" terdengar suara panggilan halus dari belakang punggungku. Aku menoleh dan di sana sudah berdiri Bunga.
"Aku tidak bisa tidur," kata Bunga sambil duduk di sebelahku.
"Sama. Aku juga tidak bisa tidur!"
"Kau sedang melamun sendirian. Apa yang kamu lamunkan?" tanya Bunga.
Oh Tuhan ini pertanyaan yang langsung menusuk jantungku. Tahu enggak aku sedang melamunkan kamu Bunga.
"Aku sedang melamun mempunyai seorang kekasih," kataku sekenanya.
"Aduh bahagianya gadis yang sedang dilamunkan oleh kamu!"
"Namun disayangkan gadis itu sudah ada yang punya," kataku juga sekenanya.
Aneh kok sekarang aku bisa ceplas ceplos begini ya padahal biasanya betapa sulitnya untuk memerangi rasa pemaluku.
"Bolehkan aku tahu siapa gadis itu?" tanya Bunga.
"Ah sudahlah Bunga aku cuma bercanda," kataku dengan hati yang seperti teriris.
"Kalau nggak mau jawab, ya sudah aku lebih baik tidur saja di Tenda," kata Bunga sambil mau beranjak meninggalkanku.
Namun aku berhasil mencegah dengan memegang tangannya yang lembut itu. Bungapun tetap duduk di sebelahku.
"Ok Bunga. Kau mau mendengarkan ceritaku?" tanyaku dan Bunga mengangguk pelan.
"Gadis itu sekarang sudah bertunangan. Aku sebenarnya sudah mencintainya sejak SMP dulu namun hingga sekarang belum berani mengatakan cintaku."
"Siapa nama gadis itu?"
"Aku tak berani menyebutkan nama gadis itu tapi kalau nama tunangannya.."
"Siapa tunangannya?"
"Rio!"
"Rio? Maksudmu Mas Rio kakakku?" tanya Bunga.
"Mas Rio itu kakakmu? Kakak kandungmu?" tanyaku terkejut.
"Iya. Mas Rio belum punya pacar apalagi bertunangan," ujar Bunga dengan polos membuat aku melongo.
"Betulkah?"
Aku masih terheran-heran seolah tak percaya. Bunga tersenyum penuh arti dan gadis itu memandangku sehingga membuatku semakin gugup. Dasar pemuda pemalu.
"Hen, jadi siapa gadis yang sangat kamu cintai itu?" tanya Bunga.
Aku sungguh benar-benar tak berdaya dan sangat malu di desak seperti ini. Apalagi melihat aku gugup seperti ini Bunga malah memegang kedua tanganku.
"Tataplah mataku. Lihatlah apa yang ada di sana. Dengarlah degup jantungku. Kau juga harus tahu aku mencintaimu sejak SMP dulu," suara Bunga lirih. Aku memegang kedua tangan gadis itu semakin erat.Â
Aku benar-benar terharu. Terbawa suasana yang menghanyutkan ini. Kami saling berpandangan. Kutatap wajah rupawan penuh pesona ini dengan hidung bangir dan bibir mungil penuh dengan tutur kata ramah penuh makna.
Aku tersenyum kepada Bunga dan Bunga tersenyum pula kepadaku namun kali ini mata yang indah ini meneteskan air mata. Air mata kebahagiaan untuk pemuda pemalu sepertiku. Dasar pemalu. Sungguh keterlaluan.Â
@hensa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H