Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguburkan Anjing

14 Mei 2017   16:40 Diperbarui: 14 Mei 2017   16:49 4858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sabar, ya? Ternyata kita tidak mudah mati dan main kubur sendiri. Ada aturan baru rupanya. Sabar, ya?” bisik saya sembari segera menutupnya kembali seperti sediakala.

Dengan langkah agak cepat saya memasuki rumah. Pintu depan langsung saya tutup agar pasukan nyamuk tidak meluaskan area gerilya mereka untuk menyebarkan wabah keresahan. Lampu ruang tamu tetap saya biarkan padam karena ruangan tidak sedang dipergunakan.

Sayup-sayup diskusi tiga orang itu masih bisa menyusup ke ruang tamu. Masing-masing saling menyela. Ada pula yang membawa-bawa judul kitab, buku, dan pendapat para pakar kutukan. Entah apa lagi. Padahal, dalam setiap rapat kampung, mereka cenderung diam. Kalaupun diberi kesempatan berbicara, kalimat awal yang selalu dilontarkan “sama seperti yang telah disampaikan oleh Bapak…”. Tidak ada yang patut dicatat sebagai bagian rumusan.

Saya melangkah cepat dengan mencoba tidak menggunakan pendengaran. Memasuki pintu penghubung ruang tamu-ruang keluarga, saya langsung disongsong istri saya.

“Bagaimana hasil diskusinya?”

“Belum ada keputusan. Mending mandi dulu. Gerah banget,” jawab saya dengan meneruskan langkah ke belakang, yaitu kamar mandi.

Sambil mandi, sebagian pikiran saya masih tertinggal di diskusi dadakan sana. Saya yang tidak pernah mandi dengan durasi waktu lebih 10 menit, kali ini durasi tidak lebih lima menit. Suatu pencapaian yang didesak oleh situasi sedang darurat.

Setelah menaruh handuk di gantungan dekat kamar mandi, saya berjalan biasa menuju ruang keluarga. Saya hanya menunggu hasil keputusan mereka.

“Mereka sudah mengetuk pagar, belum?” tanya saya pada istri saya yang sedang menggoreng ikan.

“Belum kedengaran. Mending makan dulu, ah. Siapa tahu, selesai makan, keputusan sudah ada. Tapi lauk belum matang. Sayur, apalagi. Anak-anak sudah makan. Eh, terus, bagaimana?”

Saya mengangkat bahu sambil menuju depan televisi. Jam dinding yang menunjukkan pukul 18.45.Saya mau mengalihkan waktu menunggu dengan menyaksikan siaran televisi.  Tentunya komedi. Lumayan untuk menyingkirkan kebosanan menunggu hasil debat ini-itu, dan ingatan berbalut duka pada anjing kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun