Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguburkan Anjing

14 Mei 2017   16:40 Diperbarui: 14 Mei 2017   16:49 4858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepergian ini, meski direlakan oleh istri saya, tetaplah tidak kuasa menahan air mata dan duka yang dalam. Tidak ketinggalan kedua anak kami, yang sering bermain dengan anjing itu, atau selalu membagikan makanan mereka, termasuk buah-buahan.

Dari ruang tamu dengan jendela kaca bergorden agak transparan itu saya melihat kesibukan mereka. Si sulung menyiapkan alas koran yang baru. Istri saya menggendong tubuh lemah anjing kami. Si bungsu membuang lembar koran lama–yang penuh kotoran anjing kami–ke tempat sampah. Ketiganya tetap terisak dan mata mulai membengkak.

Sesampai di ambang pintu depan saya berhenti dan berdiri saja. Saya hanya ingin melihat kesibukan mereka memberi pelayanan terakhir untuk anjing kami. Sementara air mata seakan tidak bisa tertanggulangi oleh mata mereka. Basah kuyub seluruh pipi. Tempat tisu pun sudah beralih dari ruang tamu ke beranda.

Saya tidak tahan. Saya berbalik ke belakang, menuju gudang untuk mengambil linggis, sekop, tali rafia, dan lain-lain.

***

Saya menggali tanah di halaman depan samping kanan untuk peristirahatan terakhir anjing kami. Linggis adalah alat yang tepat karena di bagian itu tertimbun puing pembangunan rumah kami. Tentunya ada batu, pecahan tegel, dan benda-benda keras lainnya.

Posisi menggali saya menyamping dari arah hadap mereka. Sesekali penglihatan saya bisa menangkap gerakan istri dan kedua anak kami yang sedang menghadap mayat anjing kami yang sudah tertutup lembaran koran. Ujung kaki-kaki dan ekornya masih terlihat. Tadi, kata si sulung, biarkan saja supaya angin bisa membawa jiwa anjing kami pergi dengan leluasa.

“Mumpung masih hangat,” kata saya seraya tetap menggali perlahan, “coba keempat kakinya ditekuk lalu diikat dengan tali rafia itu agar mudah masuk kuburnya.”

“Jangan, Pa!” seru si sulung. Ditimpali adiknya, “Iya, jangan, Pa! Kasihan. Kalau nanti diikat, dia nggak bisa lari-lari.”

Aduh, kedua anak kami tidak mengerti bahwa itu berarti aku harus menambah luasnya.

Istri saya bergeming. Air mata masih membanjir. Isak masih menggesek udara di telinga saya. Seperti kehilangan seorang anak yang pernah diasuhnya. Masa-masa sakit adalah masa merepotkan istri saya. Menyuap hingga memapah anjing kami untuk buang air besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun