“Iya, begitulah.”
“Saya tinggal dulu, Om. Mau ke warung, beli mi. Biasa, Om, jadwal acara olahraga.”
***
Luasan liang lahat sudah pas. Kedalaman masih kurang sekitar 20 cm lagi. Keringat dari ubun-ubun dan dahi meraupi wajah saya. Sebagian tubuh saya pun basah kuyup.
“Pa!” panggil si bungsu dari arah pintu. “Air baru mendidih. Papa mau dibuatkan teh atau kopi?”
“Kopi saja,” sahut saya dengan berdiri dan kedua tangan di pinggang menghadap ke liang lahat dengan yang tinggal membuang sisa bongkahan tanah.
Anjing kami harus masuk rumah abadinya sebelum mendadak hujan dan hari benar-benar gelap. Sebelum terlalu malam, penguburan harus selesai. Besok pagi-pagi saya harus segera berangkat ke tempat bekerja karena Senin adalah hari awal yang padat urusan.
Teng! Teng! Teng! Suara besi pagar diketuk-ketuk menggunakan logam kecil–entah kunci kendaraan, entah kunci rumah.
Aduh, siapa lagi, sih, gumam saya.
Saya menoleh ke arah pintu gerbang pagar. Ada tiga tetangga kami sedang berdiri. Dua bapak-bapak, dan seorang pemuda. Serta-merta saya menyambut mereka.
“Silakan masuk, Bapak-bapak.”