“Dibakar. Abunya dilarung ke laut.”
“Jangan begitu juga, Orang muda. Asapnya akan ke mana-mana. Lalu terhirup oleh penciuman warga. Kalau nanti ada yang kerasukan, bagaimana? Iya kalau hanya kerasukan. Kalau ternyata menyatu dalam paru, dan nafas hidup telah bersekutu dalam diri beberapa warga kita, atau malah anggota keluargamu, bagaimana? Ingat lho, anjing hewan terkutuk.”
Saya menatap wajah mereka satu per satu dengan tingkat kebingungan yang menukik.
“Sebentar… Sebentar…. Mari kita diskusikan dulu. Kita harus bermufakat untuk mendapat kesepakatan bersama. Semuanya demi kerukunan warga kampung kita juga, ‘kan?”
***
Bapak-bapak itu masih berdiskusi di luar pagar. Tidak lupa diselingi dalil-dalil, ilmu biologi dan kimia, dan aneka cerita tentang anjing dan bangkai anjing. Saya kebingungan karena sama sekali tidak mengerti. Tentang anjing adalah hewan terkutuk saja saya tidak mengerti alasannya.
Cakrawala mulai kuning kemerah-merahan. Beberapa nyamuk mulai bergerilya. Lampu jalan sudah menyala. Lampu beranda depan kami pun sudah dinyalakan. Tetapi diskusi belum menemukan sebuah keputusan. Masih berputar pada wacana dan pilihan-pilihan keputusan yang selalu mentah pada dalil, dogma, dan logika masing-masing.
“Maaf, Bapak-bapak,” potong saya. “Saya tinggal dulu. Saya mau mandi. Mungkin aroma keringat saya telah mencampuri diskusi. Nanti saya terima keputusan diskusinya. Bapak-bapak silakan membunyikan pintu gerbang seperti tadi sebagai tanda kuputusan sudah didapat dan disetujui. Saya akan keluar untuk menerima apa pun yang telah diputuskan.”
“Ya, silakan, Pak, silakan,” tanggap bapak yang dua kali menegur pemuda.
Saya beranjak meninggalkan forum dadakan itu, melangkah ke dalam pintu gerbang halaman rumah kami, dan tidak lupa menutup kembali. Ketika langkah saya mendekati mayat anjing kami yang tertutupi lembaran koran, saya berhenti.
Saya pun berjongkok lagi, dan membuka lembar bagian kepala. Saya sentuh saja kepalanya. Sudah dingin. Tentunya tidak perlu ke perutnya, yang pasti tidak ada denyut apa pun.