“Maaf, tidak perlu, Pak. Di luar saja. Sebentar saja. Bisa minta waktu Bapak?”
“O, bisa. Ada apa, ya?”
Saya bergegas untuk melayani permintaan Bapak-bapak itu. Saya tidak berpikir soal ketelanjangan bagian atas badan saya. Saya buka pintu gerbang, lalu bergabung dengan mereka.
“Apakah Bapak hendak menguburkan mayat anjing Bapak itu?”
“Iya.”
“Di mana, Pak?”
“Di situ,” jawab saya seraya melongok dari pintu pagar lalu menunjuk liang lahat yang belum selesai saya gali.
“Maaf, ya, Pak,” ujar si pemuda, “mayat seekor anjing tidak pantas dikuburkan di daerah kita.”
Saya terkejut. Lho, tidak pantas? Apa-apaan ini?
“Hanya manusia yang boleh dikuburkan,” timpal seorang bapak. “Manusia dari tanah akan kembali ke tanah. Berbeda dengan anjing. Anjing adalah salah satu hewan terkutuk, Pak. Kalau bangkai anjing dikuburkan, sama saja dengan memanusiakan anjing yang terkutuk.”
Aduh, aduh, apa lagi ini, sih, batin saya.