“Eh, ayo! Cepat! Nanti mereka selesai mainnya!” tegur kawannya.
“Ayo!”
Kemudian mereka pergi dengan berlari. Saya tidak peduli. Saya masih terus menggali dan meluaskan bidangnya. Saya pikir, sebelum matahari tenggelam, liang lahat harus sudah jadi, dan istri serta kedua anak kami harus melihat prosesinya, sebab hujan pun bisa mendadak datang.
Dengan menggunakan tali rafia saya kembali mengukur luasan posisi anjing kami. Dari ujung moncong hingga ekor. Dari punggung hingga ujung kakinya.
Kurang duapuluhan senti, pikir saya sambil mengingat bidang dari sisi kanan dan bawah.
“Anjingnya kenapa, Om?” Tiba-tiba seorang remaja pria menegur saya. Saya pun menoleh ke arahnya. Saya agak khawatir seandainya dia masuk, dan menyita waktu.
“Wafat karena lanjut usia.” Saya bangkit, berpaling padanya, melepaskan tali rafia, dan menanggalkan kaus singlet.
“Tua? Berapa umurnya?”
“Untuk usia anjing, delapanpuluh empat tahun. Untuk usia manusia, duabelas tahun.”
Saya menyampirkan kaus singlet di reranting pohon jambu. Dia berhitung dalam pikirannya.
“Berarti satu tahun umur manusia itu sama dengan tujuh tahun umur anjing, ya, Om?”