Suara televisi saya kecilkan karena si sulung sedang belajar di kamarnya, dan si bungsu–yang tadi pagi sampai siang puas bermain dengan kawan sebayanya–sudah pulas di ranjangnya.
Saya berusaha untuk tertawa karena siaran komedi sedang lucu-lucunya. Tetapi gagal sebab ada kebimbangan untuk menanggapi kelucuan pada saat situasi sedang tidak lucu sama sekali. Kondisi ini justru semakin menyiksa perasaan saya. Pikiran pun jadi gamang.
Jam dinding di atas televisi menunjukkan pukul 19.15.
“Siap semua santapannya nih.”
“Oke nih!” Saya pun bangkit dari kursi. Tapi saya bergerak ke arah depan, hendak mengintip mereka dari balik gorden. Sedikit rasa jengkel menghasut pikiran saya. Saya mulai tidak sabar. “Tapi sebentar. Ngintip mereka dulu.”
Saya tidak suka makan malam dalam situasi mengambang begitu. kalau memang persoalan kelar, saya ingin segera mengetahui solusi terbaiknya demi hubungan bertetangga.
Saya berjalan memasuki ruang tamu. Dengan agak merapat dinding saya berusaha mendekati jendela depan dengan kembali memasang pendengaran saya semaksimal mungkin.
Tidak ada suara siapa-siapa yang bisa sampai di radius pendengaran saya. Hanya suara televisi yang sedang menayangkan sebuah drama.
Sampai di sisi kanan gorden, saya menguak sedikit. Pantulan lampu beranda yang sampai pada aspal jalan depan rumah sama sekali tidak menampakkan keberadaan tiga pria tadi. Kuakan tepi gorden agak saya lebarkan. Penglihatan saya tambah dayanya.
Lho, mana, gumam saya.
Saya beralih tempat, bergerak ke arah pintu depan. Perlahan-lahan saya buka pintu itu untuk memastikan situasi. Kalau mereka masih ada, ya, tinggal minta hasil keputusannya.