Mohon tunggu...
Farida Virdaus
Farida Virdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa fakultas syariah universitas islam negri Raden mas said surakarta

Mendaki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

14 Maret 2024   12:00 Diperbarui: 14 Maret 2024   12:13 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Title of Article Hukum Perdata Islam di Indonesia 

Farida Nur Virdaus

222121109/HKI 4C 

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract: 

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia merupakan bagian dari hukum agama yang mengatur perkawinan antara keluarga dan individu dalam kehidupan masyarakat. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia menjadi penting karena berdasarkan pancasila sila pertamanya, yakni ketuhanan yang maha Esa, yang membuat perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian, persaudaraan, dan kegembiraan.

Perkawinan Islam di Indonesia memiliki beberapa hikmah, termasuk sebagai jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks, menjadi jalan terbaik untuk anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, dan melestarikan hidup manusia secara benar. Perkawinan dapat juga menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, mendorong untuk bekerja dalam rangka mencari rizki yang halal, memantapkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara anggota keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia juga memiliki istilah kafa>ah atau kufu>, yang berarti keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun kafa>ah dalam perkawinan secara istilah dalam hukum Islam, yaitu keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah.

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia juga terdaftar dalam berbagai buku ajar, kajian, dan referensi hukum, seperti Buku Ajar Hukum Perkawinan, Hukum Perkawinan di Indonesia, dan Hukum Perdata Islam di Indonesia.

Keywords: Hukum Perkawinan Indonesia; Undang-undang; Fiqh Munakahat.

Introduction

Perkawinan adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Islam. Sebagai bagian dari agama Islam, perkawinan memiliki tingkatan yang tinggi dalam mengatur hubungan antara keluarga dan masyarakat. Hukum perkawinan Islam adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam mengatur perkawinan di Indonesia. Dalam artikel ini, akan dilakukan review tentang buku yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia". Buku ini disusun berdasarkan kebutuhan akan sumber bacaan dan referensi pada mata kuliah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 1974.Buku ini membahas tentang terminologi hukum perkawinan islam, kompilasi hukum islam, nikah siri perspektif maqashid syariah, pernikahan hamil, dan perkawinan di Indonesia. Hukum perkawinan Islam di Indonesia adalah buku referensi yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia, karena ia membahas tentang perkawinan dari perspektif hukum Islam. Buku ini juga menjelaskan tentang kafa'ah dan perkawinan hamil, yang merupakan aspek yang sangat penting dalam perkawinan Islam.

Result and Discussion

Pengertian Perkawinan 

Pengertian perkawinan di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian yang didasari dari sisi lahiriah dan batiniah, tidak dapat dipandang sebagai perjanjian pada umumnya, dan hanya dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan harus berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengertian ini tidak jauh berbeda dari pengertian yang didefinisikan dalam ajaran Islam, yaitu didefinisikan dengan akad yang kuat antara lakilaki dan perempuan demi mewujudkan ketentraman dan kebahagiaan hidup keluarga dengan diliputi penuh rasa kasih sayang.

Tujuan Perkawinan 

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1, menetapkan tujuan perkawinan sebagai pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun pengertian ini sudah dijelaskan sebelumnya dalam bab pengertian perkawinan, dalam konteks tujuan perkawinan, kita akan meninjau lebih khusus pada pandangan Islam.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3, tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma. Meskipun formulasi ini sedikit berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan, perbedaan tersebut hanya berkaitan dengan keinginan untuk memasukkan unsur-unsur yang lebih banyak dalam tujuan perkawinan, bukan menunjukkan pertentangan dalam tujuan tersebut.

Perkawinan dianggap sebagai perintah agama dalam Islam, dan setiap perintah agama merupakan bagian dari ibadah yang dilakukan oleh makhluk Allah SWT kepada penciptanya. Tujuan mulia dari perintah Allah mengenai perkawinan adalah menciptakan keluarga yang bahagia, yang mencapai sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Ada beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam membangun rumah tangga yang sehat, antara lain:

Hubungan yang harmonis antara suami-istri, orang tua, anak-anak, anggota keluarga, dan pembantu (jika ada).

Hubungan yang baik dengan tetangga atau lingkungan sosial budaya.

Kondisi ekonomi yang mencukupi atau tidak kekurangan.

Kesehatan lingkungan di dalam keluarga dan lingkungan tetangga, baik secara fisik maupun non-fisik.

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip ini, diharapkan rumah tangga dapat menjadi tempat yang harmonis, bahagia, dan mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya serta lingkungan sekitarnya.

Prinsip yang ada pada perkawinan 

Perkawinan memiliki prinsip-prinsip yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan yang sesuai, yaitu membentuk rumah tangga yang kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa dengan terwujudnya sakinah, mawaddah, dan rahmah. Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak merumuskan prinsip-prinsip perkawinan secara rinci, terdapat beberapa pandangan dalam Islam mengenai prinsip-prinsip tersebut.

Prinsip Memilih Jodoh yang Tepat:

Memilih jodoh adalah bagian dari sunnah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hadisnya, Nabi menekankan untuk memilih jodoh yang kuat agamanya. Ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan agama dan akhlak dalam memilih pasangan, bukan hanya faktor-faktor duniawi seperti kekayaan atau kecantikan. Meskipun saat ini tren memilih jodoh mungkin telah bergeser, penting untuk mengingat anjuran Nabi dan mempertimbangkan aspek agama dan akhlak dalam memilih pasangan.

Prinsip Mengawali dengan Khitbah (Peminangan):

Khitbah atau peminangan tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, namun diatur dalam KHI. Peminangan dilakukan untuk mencari pasangan kawin dan merupakan langkah awal dalam membangun hubungan perjodohan yang baik.

Prinsip Menghindari Larangan dalam Perkawinan:

Menghindari larangan dalam perkawinan adalah prinsip mutlak. Ada larangan-larangan tertentu dalam perkawinan, seperti larangan mengawini ibu, saudara kandung, mertua, dan lainnya. Hal ini diatur dalam KHI untuk memastikan bahwa perkawinan dilakukan sesuai dengan syariat Islam.

Alasan Melakukan Perkawinan 

Jangan sampai menjadikan alasan kebutuhan seksual sebagai alasan utama melakukan perkawinan. karena pemenuhan akan kebutuhan seksual tidak pernah tercukupi apabila selalu dikejar. Tetapi jadikanlah alasan perkawinan itu sebagai sarana manusia untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengikuti sunah Rasulullah Muhammad SAW. Secara manusiawi, perkawinan adalah sebuah fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya untuk hidup bersama.

Kita semua tahu bahwa Allah SWT menciptakan makhluknya dengan cara berpasang-pasangan, artinya secara tidak langsung mereka akan bersama demi mewujudkan kehidupan. Hal terpenting yang harus dijaga dalam mencari alasan melakukan perkawinan adalah selalu berpegang teguh pada alasan mewujudkan sakinah, mawadah, dan rahmah. Beberapa alasan melakukan perkawinan yang disampaikan didalam ayat suci Al-Qur'an yang dapat kita ambil hikmah adalah :

Alasan berkembang biak, mendapatkan keturunan 

Alasan melestarikan kehidupan 

Mendapatkan kasih sayang 

Alasan memperkaya baginya. 

Hukum kawin dan sumbet hukum perkawinan 

Hukum Kawin 

Mubah: Perkawinan dianggap mubah, yang berarti dibolehkan namun tidak diwajibkan atau diharamkan. Bagi seseorang yang tidak merasa terdesak untuk menikah, maka ia boleh untuk tidak menikah terlebih dahulu.

Sunnah: Perkawinan dianggap sunnah, yang berarti lebih baik dilakukan karena telah pantas dan sesuai dengan waktu yang tepat. Pendapat tentang sunnah berbeda antar mazhab, namun umumnya menekankan bahwa perkawinan dianjurkan untuk mendapatkan ketenangan jiwa, memiliki keturunan, dan menghindari perbuatan zina.

Wajib: Perkawinan dianggap wajib bagi mereka yang sudah mampu secara fisik dan psikis, serta merasa terdesak untuk menikah agar terhindar dari perbuatan zina. Misalnya, menurut mazhab Maliki, jika seseorang tidak mampu menahan diri dari perbuatan zina, maka wajib baginya untuk menikah.

Makruh: Perkawinan dianggap makruh jika seseorang tidak mampu memberi nafkah kepada pasangannya, atau jika ada kelemahan syahwat yang membuatnya tidak mampu memenuhi kewajiban rumah tangga secara baik.

Haram: Perkawinan dianggap haram jika seseorang tidak memiliki kemauan atau kemampuan fisik dan psikis, sehingga tidak akan bertanggung jawab dalam kehidupan rumah tangganya. Selain itu, perkawinan juga dianggap haram jika dilakukan dengan maksud jahat seperti untuk menyakiti atau menelantarkan pasangan.

Al-Qurtuby menegaskan bahwa jika seorang pria tidak mampu menafkahi, membayar mahar, memenuhi hak, atau memenuhi kebutuhan seksual istrinya, maka ia wajib untuk menerangkan hal tersebut dengan jelas kepada calon istri agar tidak tertipu.

Sumber Hukum Perkawinan Islam 

Al-Qur'an: Al-Qur'an merupakan sumber hukum utama dalam Islam yang merujuk pada persoalan perkawinan, latar belakangnya, serta maksud dan tujuannya. Al-Qur'an menjelaskan bahwa perkawinan adalah fitrah bagi manusia, yang didasarkan pada kodrat hidup untuk memungkinkan perkembangbiakan dan melangsungkan kehidupan.

Sunnah Rasul: Sunnah Rasul adalah penjelasan, perbuatan, dan diamnya Nabi Muhammad SAW yang merupakan penjelasan terhadap persoalan yang ada dalam Al-Qur'an maupun yang tidak disinggung di dalamnya, termasuk dalam konteks perkawinan.

Metode Ijtihad, Ijma, dan Qiyas oleh Mujtahid: Metode ini melibatkan pemahaman dan penafsiran para fuqaha atau ahli ilmu fiqih dalam menjelaskan beberapa persoalan perkawinan. Meskipun Al-Qur'an dan Sunnah telah menjelaskan hukum perkawinan secara terperinci, metode ini tetap digunakan untuk memahami dan menjelaskan aspek-aspek tertentu dari hukum perkawinan dalam Islam.

Rukun dan Syarat Perkawinan 

Dalam mempelajari hukum perkawinan Islam di Indonesia, terdapat hubungan yang erat antara prinsip perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan konsep rukun serta syarat perkawinan dalam fiqih munakahat. Meskipun fiqih munakahat juga membahas persoalan perkawinan, namun hukum perkawinan Islam di Indonesia tetap tunduk pada Undang-Undang yang berlaku. Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam Indonesia secara umum sejalan dengan asas-asas yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Asas-asas tersebut meliputi tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal, sahnya perkawinan secara keyakinan dan peraturan, monogami terbuka, matang jiwa raga, mempersulit perceraian, serta kedudukan seimbang antara suami dan istri.

Rukun perkawinan meliputi pengantin lelaki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi lelaki, dan akad nikah (ijab dan kabul). Sedangkan syarat-syarat sah perkawinan meliputi adanya kedua mempelai, calon mempelai laki-laki dan perempuan yang telah memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seperti akil baligh, beragama Islam, tidak dalam ikatan perkawinan atau masa iddah, dan tidak sedang dalam kondisi ihram. Pemahaman asas-asas dan persyaratan ini juga melibatkan usia calon mempelai, di mana Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menetapkan usia minimal 21 tahun untuk calon mempelai pria dan wanita. Dispensasi kawin dapat diberikan bagi calon mempelai yang belum mencapai usia tersebut, dengan persetujuan dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua calon mempelai.Dengan demikian, pemahaman rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam Indonesia secara umum mencerminkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yang menjadi acuan utama dalam perkawinan di Indonesia.

Syarat Wali dalam Perkawinan

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), persoalan wali nikah diatur dari pasal 19 hingga pasal 23. Wali nikah dibagi menjadi dua, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab merupakan wali yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mempelai wanita, dan diatur secara rinci dalam pasal 21 dan 22 KHI. Urutan wali nasab yang berhak menjadi wali dijelaskan dalam pasal 22 KHI, yang mencakup berbagai kelompok mulai dari ayah kandung hingga saudara laki-laki kakek seayah. Jika wali pertama tidak dapat bertindak, maka wali kedua akan menggantikannya, dan seterusnya.

Selain wali nasab, terdapat juga wali hakim yang bertindak apabila wali nasab tidak ada. Wali hakim diberi kuasa berdasarkan putusan Pengadilan Agama mengenai wali nikah. Wali hakim dapat bertindak sebagai pengganti wali nasab dalam beberapa situasi yang dijelaskan dalam perumusan KHI. Ahmad Azhar Basyir menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis wali nikah, yaitu wali mujbir, wali hakim, dan wali muhakkam. Wali mujbir adalah wali yang memiliki kuasa untuk memaksa mempelai wanita untuk menikah tanpa izinnya, dengan syarat-syarat tertentu. Wali hakim adalah wali yang bertindak sebagai pengganti wali nasab berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Sedangkan wali muhakkam adalah seseorang yang ditunjuk oleh mempelai yang bersangkutan jika wali nasab dan wali hakim tidak dapat bertindak.

Secara historis, Nabi Muhammad SAW juga pernah bertindak sebagai wali dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, menunjukkan pentingnya peran wali dalam proses perkawinan dalam Islam.

Mahar 

Mahar, sebagai bagian dari prinsip hukum perkawinan dalam Islam, diatur secara detail dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dari pasal 30 hingga pasal 38. Mahar adalah pembayaran yang wajib diberikan oleh calon mempelai pria kepada wanita saat melakukan perkawinan. Meskipun mahar diharuskan untuk dibayarkan oleh calon mempelai pria, hal ini bukanlah rukun yang mengatur sahnya perkawinan. Bentuk dan jumlah mahar tidak terikat pada batasan apapun, namun harus disepakati oleh kedua belah pihak mempelai.

Mahar dapat berupa simbol pemberian pertama seorang suami kepada istri yang diberikan pada saat akad nikah. Penangguhan pembayaran mahar juga diperbolehkan asalkan disetujui oleh mempelai wanita, namun hal ini tetap menjadi tanggung jawab dan hutang bagi mempelai pria. Perselisihan terkait bentuk, jenis, dan nilai mahar dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama jika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak.

Ijab Qabul 

Syarat ijab qobul, atau yang lebih dikenal sebagai akad nikah, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mulai dari pasal 27 hingga pasal 29. Ijab adalah pernyataan dari calon mempelai wanita yang diucapkan oleh wali nikah sebagai kehendak untuk mengikatkan diri dengan calon mempelai pria. Qobul adalah pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria terhadap ijab mempelai wanita. Akad nikah merupakan syarat sah perkawinan, dan bila syarat ini tidak dipenuhi, perkawinan tersebut batal.

Pelaksanaan ijab qobul harus dilakukan beruntun tanpa jeda waktu, dan pernyataan qobul harus jelas dan didengar serta disaksikan oleh saksi kawin. Penentuan jumlah mahar dan bentuk pembayarannya harus disepakati oleh kedua belah pihak mempelai. Jika terjadi perselisihan terkait mahar, Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya.

Selain itu, lafadz nikah harus jelas dan tidak boleh dibatasi oleh waktu atau syarat-syarat tertentu seperti pekerjaan tertentu yang belum dipenuhi oleh mempelai pria. Akad nikah yang dibatasi waktu atau syarat-syarat tertentu dianggap rusak (fasid) dan bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam Islam yang mengutamakan pembentukan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang kekal abadi.

Pencegahan Perkawinan 

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur bahwa perkawinan dapat dicegah berlangsungnya jika ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini terkait dengan pelanggaran terhadap syarat-syarat seperti batasan usia, larangan pernikahan berdasarkan hubungan darah atau agama, status perkawinan sebelumnya, dan ketentuan formal lainnya.

Kompilasi Hukum Islam juga memaparkan pencegahan dalam perkawinan dalam pasal 60 hingga pasal 69, dengan tujuan menghindari perkawinan yang hakikatnya dilarang bagi mempelai tersebut. Pencegahan ini dapat dilakukan oleh keluarga mempelai atau wali, dan dilakukan dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

Petugas pencatat nikah memiliki peran penting dalam memperhatikan hal-hal yang dapat menangguhkan perkawinan dan berhak menolak pendaftaran perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Jika perkawinan ditangguhkan, mempelai dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perselisihan. Pencegahan ini bertujuan untuk menegakkan rukun dan syarat perkawinan, serta memastikan bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang kekal abadi.

Pembatalan Perkawinan 

Fasakh, atau pembatalan perkawinan dalam etimologi Islam, mengacu pada proses merusak atau membatalkan perkawinan. Ulama dari empat mahzab memberikan penjelasan tentang konteks fasakh, termasuk ketidakmampuan suami, ketidakmampuan suami dalam membayar mahar, dan cacat akad nikah. Fasakh merupakan sebab pembatalan perkawinan, yang terjadi setelah akad nikah dilakukan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengatur pembatalan perkawinan dengan memperhatikan syarat dan rukun perkawinan. Sebab-sebab pembatalan termasuk pelanggaran terhadap syarat-syarat seperti belum mencapai batas usia perkawinan, poligami tanpa izin, pelaksanaan perkawinan oleh petugas atau wali yang tidak sah, dan lainnya.

Pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh pihak-pihak tertentu seperti keluarga mempelai, suami atau istri, atau pejabat yang berwenang. Pengadilan Agama memutuskan permohonan pembatalan setelah persidangan dan pembuktian, dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Sebab-sebab fasakh menurut ulama klasik meliputi murtadnya suami, kecacatan fisik atau mental, meninggalkan istri tanpa keberadaan yang jelas, dan lainnya. Pembatalan perkawinan berdampak pada putusnya perkawinan, hak-hak istri terhadap mahar dan iddah, serta status anak yang dilahirkan setelah pembatalan.

Hak dan Kewajiban Suami dan Istri 

Dalam perkawinan Islam, hak dan kewajiban antara suami dan istri didasarkan pada prinsip bertanggung jawab, yang mengatur bahwa keduanya memiliki beban tanggung jawab sendiri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Hak dan kewajiban ini terbagi dalam tiga konteks pembahasan, diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam:

Kedudukan: Suami dan istri memiliki kedudukan yang seimbang di mata hukum, dengan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Mereka memiliki hak dan kewajiban terhadap peran mereka dalam rumah tangga dan masyarakat.

Kewajiban Suami dan Istri: Suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, melindungi, mendidik, dan menjaga keutuhan rumah tangga. Istri memiliki kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga dengan baik, serta berbakti pada suami secara lahir dan batin. Keduanya juga memiliki kewajiban bersama, seperti saling mencintai, menghormati, setia, dan ikhlas secara lahir maupun batin.

Kediaman: Suami dan istri memiliki kewajiban bersama untuk menyediakan tempat kediaman yang layak bagi mereka dan anak-anaknya selama berumah tangga. Bagi suami yang mempunyai istri lebih dari satu, ia berkewajiban memberikan tempat tinggal dan keperluan yang layak untuk setiap istrinya. Para istri juga diharapkan ikhlas untuk menempati rumah bersama di satu tempat.

Kebebasan Perkawinan dan Pecatatan Perkawinan 

Perkawinan beda agama di Indonesia tidak diatur secara detail dalam undang-undang, namun munculnya permasalahan ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang semakin global. Ada dua pendapat terkait legitimasi keabsahan perkawinan beda agama:

Pendapat yang Memisahkan: Beberapa menginterpretasikan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara terpisah antara ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa cukup dengan mematuhi hukum agama/keyakinan untuk mengesahkan perkawinan tanpa perlu pencatatan resmi. Namun, hal ini dapat menimbulkan masalah karena Negara tidak dapat melindungi hak-hak pasangan dan anak-anak mereka.

Pendapat yang Menyatukan: Sebagian lain menginterpretasikan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah satu kesatuan, yang mengharuskan perkawinan diakui oleh Negara dan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pasangan dan melindungi hak-hak mereka, terutama bagi istri dan anak-anak.

Pencatatan perkawinan di Indonesia dilakukan untuk memberikan kepastian hukum, dan harus dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah melalui lembaga yang berwenang, seperti Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil. Akta nikah adalah bukti sahnya perkawinan dalam hukum, dan memiliki peran penting dalam menjamin hak-hak pasangan, termasuk penentuan status anak dan hak waris. Dalam prakteknya, rukun dan syarat perkawinan dalam agama Islam sudah diatur dalam undang-undang perkawinan Indonesia, dan pelaksanaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Perjanjian Perkawinan 

Perjanjian perkawinan, meskipun jarang dibahas oleh ulama klasik, merupakan hal penting dalam sebuah perkawinan. Pandangan masyarakat terhadapnya masih dianggap tidak etis karena dianggap materialistik. Namun, perjanjian ini, dalam bahasa Arab disebut ittifa' atau akad, merupakan persetujuan yang mengikat antara pasangan sebelum memasuki rumah tangga. Tujuan pembuatan perjanjian ini dapat bervariasi, termasuk mengatur ketidaksetaraan kekayaan, usaha sendiri, hutang sebelum kawin, atau latar belakang pernikahan sebelumnya. Meskipun diatur secara hukum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, isi dan kepentingan perjanjian perkawinan ditentukan oleh pasangan asalkan tidak melanggar hukum, agama, atau kesusilaan. Dalam Islam, Kompilasi Hukum Islam mengatur lebih detail tentang jenis-jenis perjanjian perkawinan. Pelaksanaannya mengikat bagi pasangan dan pihak ketiga dan dapat melibatkan pengadilan. Pembuatan perjanjian perkawinan dapat memiliki dampak psikologis, sosiologis, dan hukum, serta dapat dibatalkan atau diperlakukan dalam kasus pelanggaran.

Hak Kekayaan dalam Perkawinan 

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Pasangan suami istri di Indonesia secara umum memiliki harta bersama yang diperoleh selama perkawinan, kecuali ada perjanjian pisah harta. Harta bersama tersebut mencakup harta yang diperoleh selama perkawinan, kecuali harta bawaan seperti warisan atau hadiah. Dalam Islam, terdapat dua pendapat terkait harta bersama: pendapat pertama menyatakan bahwa Islam tidak mengenal percampuran harta, sementara pendapat kedua mengakui adanya harta bersama. Meskipun Islam tidak secara jelas mengatur percampuran harta, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya harta bersama dalam perkawinan, tetapi memberikan opsi untuk perjanjian pisah harta. Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, namun ada juga harta tertentu yang secara penguasaannya kembali kepada masing-masing pihak, seperti harta bawaan. Dalam praktiknya, hal ini memberikan kedua pasangan hak sepenuhnya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya masing-masing tanpa persetujuan dari pasangan.

Conclusion

Artikel di atas menguraikan pengertian, tujuan, prinsip, hukum, syarat, serta berbagai aspek terkait perkawinan dalam konteks hukum Islam di Indonesia, dengan mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam memiliki tujuan utama untuk membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta berdasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa.

Berbagai prinsip seperti memilih jodoh yang tepat, mengawali dengan khitbah, dan menghindari larangan dalam perkawinan menjadi pedoman dalam membangun rumah tangga yang sehat. Hukum perkawinan dalam Islam memuat beberapa status seperti mubah, sunnah, wajib, makruh, dan haram, serta mengatur sumber hukum dan syarat-syarat sah perkawinan.

Rukun dan syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri, serta prosedur pencegahan dan pembatalan perkawinan juga dijelaskan dalam konteks hukum Islam di Indonesia. Selain itu, pembahasan mengenai perjanjian perkawinan juga disertakan, meskipun hal ini masih dianggap kontroversial dalam masyarakat.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan dalam Islam di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip agama yang mendorong pembentukan keluarga yang bahagia, saling mencintai, dan saling menghormati, serta memperhatikan aspek hukum dan kesusilaan dalam setiap langkahnya.

Bibliography

Umar Haris Sanjaya. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2017. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun