Mohon tunggu...
Ahmad Farhan Saukani
Ahmad Farhan Saukani Mohon Tunggu... Lainnya - Anak yang kebetulan suka filsafat

Baru pertama kali mencoba menulis. Lebih senang membaca dibanding menulis, tetapi membaca membangkitkan gairah untuk menulis. Kita coba dunia baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyibak Filsafat di Balik Manga Attack On Titan

17 Desember 2020   01:56 Diperbarui: 26 April 2021   15:42 6425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster anime Attack on Titan. | Foto bersumber dari myanimelist

Manga buatan Hajime Isayama ini sukses membuat saya kagum dan takjub luar biasa, mengapa? Selain adegan tempurnya yang bikin saya teriak anjay , pun manga ini berisikan filsafat yang jarang mangaka lainnya taruh pada karya-nya. Entah kang Isayama ini sengaja menabur filsafat di manganya atau ini hanya persepsi saya atas manga tersebut.

Untuk kalian yang hanya menikmati versi animenya sungguh sayang sekali menurut saya, karna banyaknya bagian yang tidak dicantumkan di sana. Manga ini dibuat sebulan sekali oleh Isayama, jadi hanya ada 12 chapter dalam setahunnya. Mungkin sebelum menggambar, kang Isayama ini baca-baca bukunya Nietzsche dulu kali yak.

Manga yang kalian nikmati versi animasinya ini jika dibedah secara filosofis ternyata sungguh banyak sekali kandungan filsafat di dalamnya, dari mulai alegori gua Plato, Nihilisme, Eksistensialisme, Konsep hidup Scopenhauer, Absurdisme, Teori Konflik, hingga Humanisme radikal. Sekali lagi, ini hanya perspepsi fenomenologis saya atas manga ini.  

Saat pertama kali saya membaca manga ini, saya langsung teringat pada drama dalam novel Sampar karya Albert Camus yang bercerita tentang sebuah kota yang diserang wabah pes. Dalam drama tiga babak ini, manusia di dalam kota tersebut menghadapi sebuah masalah eksistensial dimana mereka tenggelam dalam sebuah faktisitas.

Faktisitas, dalam konsepsi filsafat Martin Heidegger--seorang filsuf Prancis-- adalah terlemparnya manusia atas fakta-fakta yang tidak pernah mereka kehendaki. Tiba-tiba saja manusia harus hidup dalam kondisi dan fakta tersebut. Dari kondisi dan fakta yang menimpa mereka, manusia dituntut untuk menjalani hidup darinya. Karena manusia ini bebas untuk memilih, maka manusia dikutuk untuk menjadi bebas.

Manusia dikutuk menjadi bebas adalah kutipan milik Jean Paul Sartre yang merupakan dialektika dari konsepsi filsafat milik Martin Heidegger. Maksud dari dikutuk menjadi bebas adalah karna manusia adalah kasus yang tidak biasa. Manusia, beda dengan yang lainnya, manusia adalah Das Sein yakni satu-satunya makhluk yang bisa meng-ada. Manusia bisa membuat pilihan atas dirinya, dengan kata lain, bebas.

Manusia hidup bebas membentuk takdirnya yang artinya eksistensialisme manusia mendahului esensialisme, atau pilihanlah yang menentukan takdir kita. Namun, segala pilihan dan kebebasan manusia untuk eksis atau meng-ada diikuti oleh konsekuensi dan tanggung jawab yang mesti dipenuhi manusia. Dikarenakan adanya tanggung jawab tersebut, manusia jadi takut untuk melakukan sesuatu sesuka hatinya karna konsekuensi mengikuti apapun yang mereka lakukan.

Untuk terus menjadi bebas pun, manusia mesti mendorong dirinya untuk pantang atas berbagai macam konsekuensi yang akan menimpanya. Tetapi hanya segelintir orang yang menyadari ketidakbebasannya hidup di dunia. Nah, manga ini berbicara persoalan-persoalan yang seperti ini.

Gimana? Ngerti ndak? Ngerti dong hwehwehwe.

Kota Spanyol dalam novel tersebut kira kira sama seperti pulau paradise dalam manga ini. Bedanya adalah, yang menyerang mereka adalah raksasa. Kota Spanyol ataupun pulau Paradise, kedua tempat itu sama-sama menggambarkan dunia tempat kita tinggal.  Manusia di dalam dinding tidak pernah tahu alasan mengapa mereka tinggal di dalam dinding. Dan dalam manga ini, ada berbagai macam cara kontekstualisasi yang digambarkan pada karakter di manga tersebut.

Tokoh Diego dalam novel tersebut kira-kira mirip seperti Eren dalam Attack On Titan. Saya pikir Eren adalah tokoh eksistensialis yang menyadari dan menuntut kebebasannya kepada dunia terlepas terjebaknya mereka dalam dinding yang dikelilingi titan. Bebas berarti otonomi dan otentik, yang artinya segala kesadarannya adalah mutlak miliknya sendiri. Sampai akhir cerita, Eren tidak pernah berubah dari dirinya sejak ia lahir.

Seiring berjalannya alur cerita di manga ini, kita diberi fakta-fakta yang mengejutkan, kita akhirnya diberitahu bahwa dunia dalam manga ini tidak sebatas ada di dalam dinding saja. Mereka bertemu dengan lautan.

Bagian ini mengingatkan saya akan alegori gua Plato, seperti dikatakan di awal. Kebenaran yang selama ini kita percaya jangan-jangan hanya derivasi kebenaran yang maha luas. Selama ini realitas yang kita kira adalah kebenaran yang maha sempurna. Nyatanya kebenaran akan realitas tidak sesempit yang kita pikir, manusia tidak bisa berhenti pada satu kenyataan, manusia harus eksis di dunia hingga mencapai kebenaran abadi.

Kebenaran dan kebebasan ada di luar dinding. Alasan mengapa mereka diserang adalah dunia yang ada di luar dinding. Mereka menemukan hakikat dari penderitaan mereka selama ini bahwa di luar dinding ada manusia.

Mereka selama ini dihadapkan pada penderitaan semu dimana mereka hidup berhadapan dengan titan. Penderitaan yang selama ini mereka kira adalah bayang-bayang dari kebencian manusia yang ada di luar dinding. Kebenaran itu ada di luar dinding, dan mereka harus menerimanya.

Manga ini menghadapkan kita pada persoalan-persoalan dimana kebaikan adalah kita yang menentukan. Kebaikan adalah buatan yang orang ingin buat, yang tercampur dengan berbagai kepentingan. Kita tidak bisa menemukan kebaikan abadi, kebaikan adalah kita yang buat sendiri.

Nihilisme kental sekali di manga ini. Apa yang kita sebut baik jatuh dalam relativisme dan perspektif. Kita tidak bisa menguniversalkan bahwa Eren adalah jahat, dan kelompok Survey Corps yang tersisa adalah baik. Bahkan manga ini berkata sendiri bahwa mereka kebingungan dengan apa yang mereka sebut baik.

Manga ini banyak menampilkan persoalan-persoalan nihilisme. Saya akan bagi ini ke dalam suatu sub-bab kecil.

Menyoal Nihilisme. 

Seperti dikatakan sebelumnya, manga ini kental sekali dengan nihilisme. Hal ini diperjelas pada adegan-adegan yang menunjukkan kecenderungan tersebut. Hajime Isayama seakan-akan menegaskan bahwa manga ini adalah nihil.

Manga ini menegaskan bahwa di dunia Attack On Titan tidak pernah ada kebenaran. Hal ini dibuktikan dari kalimat Eren Kruger, pewaris Attack titan sebelum ayah dari Eren Yeager di chapter 88, yakni

"Tidak ada sesuatu seperti kebenaran di dunia ini, itu realitanya. Siapapun bisa menjadi tuhan atau iblis. Semua itu yang orang akui sebagai kebenaran."

Maksud dari kalimat tersebut adalah, kebenaran itu nihil, kosong. Segala pemaknaan terhadap dunia adalah kosong tanpa makna. Apa yang kita sebut sebagai benar adalah hasil dari konstruksi para pembuat kebenaran dimana kebenaran yang apa adanya adalah tiada. Plato seolah-olah membuat kebaikan tampak seperti universal. Padahal jika dilacak asal usulnya, apa yang disebut baik bagi Plato merupakan hasil konstruksi dari berbagai kepentingan dan pra-pemahamannya tentang apa yang disebutnya sebagai baik.

Kebenaran bersifat relatif. Kekerasan dan membunuh kadangkala bisa menjadi benar jika kita membunuh katakanlah perampok yang ingin menjarah rumah kita. Mencuri kadangkala benar jika hak dan kekayaan bersama diraup oleh segelintir orang. Apa yang dipikirkan orang menengah ke atas yang liberal soal kebaikan berbeda dengan masyarakat menengah ke bawah konservatif soal kebaikan.

Kebaikan di manga ini pun sama, apa yang Eren Yeager sebut sebagai baik adalah kosntruksinya atas kepentingannya, yakni untuk membalaskan dendamnya kepada orang yang telah membunuh ibunya. Kebaikan menurut Zeke, yakni rencana pembersihan keturunan Ymir juga konstruksinya atas kebenciannya terhadap ayahnya. Jadi tegas sekali bahwa kebenaran itu tergantung pada kepentingan orang yang membuatnya.

Nihilisme mau menegaskan bahwa kebenaran merupakan kekosongan yang diisikan kepentingan-kepentingan orang yang berbicara soal kebenaran itu. Orang hanya menganggap kebaikan yang sesuai dengan kepentingannya untuk menjadi paling superior. Kebaikan yang diciptakan oleh lembaga-lembaga pembuat kebaikan itu merupakan kebaikan yang disetir sesuai kehendaknya untuk berkuasa.

Kehendak untuk berkuasa disebut Friedrich Nietzsche--Seorang filsuf kelahiran Prussia--sebagai Will To Power. Manusia menurut Nietzsche didorong oleh kehendak ini. Konsep ini dinilai Nietzsche sebagai hal yang manusiawi. Manusia seharusnya bertarung untuk menjadi yang paling superior.

Kebenaran dilihatnya sebagai jalan seseorang untuk berkuasa memengaruhi orang lain. Kita disetir untuk percaya kepada kebenaran milik orang lain. Nihilisme mau mengatakan, jangan mau disetir dan dikalahkan para pencipta kebenaran, kalian bisa membuat kebenaran sendiri, jadi kalahkan kebenarannya orang lain itu dan berkuasalah.

Kebanyakan orang hidup meyakini kebenaran milik orang lain. Orang selama ini berfikir di atas konstruksi kebenaran milik pencipta kebenaran. Yang nihilisme mau adalah, orang seharusnya menciptakan kebenarannya sendiri. Manusia itu harus mengalahkan para pencipta kebenaran. Konsep ini dirumuskan oleh Nietzsche, sebagai Moralitas tuan-budak.

Baca Juga: Kehendak Bebas dalam Dunia "Attack on Titan"

Kita kebanyakan hidup dengan mentalitas budak, budak yang mengikuti kebenaran milik pencipta kebenaran, selalu begitu. Tuan-tuan ini, atau pencipta kebenaran membuat kita menjadi tidak otentik dan tidak bebas dalam hidup. Kita meyakini kebenaran yang telah dikonstruksi para pembuat kebenaran. Kebenaran itu hakikatnya adalah tiada, kita bisa merumuskan kebaikan menurut kita sendiri. Budak-budak ini bahkan dengan rela membaktikan dirinya untuk menuruti moralitas tuannya.

Yang Nietzsche mau bukan begitu, manusia seharusnya bersaing mengalahkan kebaikan atau kebenaran milik para pencipta kebenaran, dan menciptakan kebenarannya sendiri. Dengan kata lain, manusia harus membebaskan dirinya dari jeratan kebenaran yang membatasi dirinya untuk menjadi bebas dan otentik.

Moralitas tuan-budak ini direpresentasikan pada karakter Mikasa di manga ini. Di chapter 112, Mikasa, Armin, dan Eren bertemu. Saat itulah Eren menegaskan bahwa selama ini Mikasa hidup dengan insting Ackerman-nya. Dikatakan bahwa seorang Ackerman hidup untuk melindungi inangnya. Ackerman akan rela mengorbankan nyawanya, dan mengabdikan seluruh kesadarannya kepada inangnya.

Mikasa selalu bergantung kepada Eren selama ini dan tidak pernah menjadi bebas. Mikasa telah menipu dirinya sendiri dan yakin bahwa selama ini ia hidup untuk melindungi Eren. Kesadaran Mikasa yang sebenarnya telah hilang di gudang tua itu saat Eren menghajar perampok yang membunuh orang tuanya sembilan tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, Mikasa tidak pernah menjadi dirinya sendiri.

Hal ini pun sama seperti kapten Levi yang adalah seorang Ackerman. Levi mengabdikan hidupnya untuk komandan Erwin sampai akhir hayatnya.

Mikasa jelas merupakan representasi konsep dari moralitas tuan-budak yang saya paparkan sebelumnya. Bahkan Eren mempertegas kalimatnya dengan

"Sebuah klan yang telah kehilangan jati diri mereka sendiri, tercipta hanya untuk mengikuti perintah, dengan kata lain, budak. Apa kau tahu apa yang paling kubenci di dunia ini? Siapapun yang tidak bebas. Itu, atau ternak."

Nietzsche mengandaikan dunia dimana suatu saat manusia hidup dengan moralitasnya sendiri-sendiri. Tidak ada yang mengekang mereka untuk menjaadi diri mereka sendiri. Bebas bukan berarti immoral, melainkan mereka menciptakan sendiri apa yang disebut baik dan buruk. Manusia ini disebut Ubermensch, atau dalam bahasa indonesia adalah manusia super atau superman.

Tetapi, di kala semua orang telah menjadi Ubermensch, ada manusia yang kebingungan saat disuruh untuk menjadi bebas menentukan kebaikannya sendiri. Mereka tidak bisa hidup tanpa moralitas yang dibuat oleh orang lain, golongan ini Nietzscsche sebut sebagai The Last Man.

Klan Ackerman disini adalah representasi yang kuat atas konsep The Last Man ini. Yakni segolongan orang yang tidak bisa menjadi dirinya sendiri.

Terlepas kentalnya manga ini dari nihilisme, manga ini juga mengandung semangat eksistensialisme yang kuat. Saya akan bagi ini dalam bab khusus soal eksistensialisme.

Menyoal Eksistensialisme. 

Semangat eksistensialisme dimulai pada diri ayah dari Eren Yeager, yakni Grisha Yeager yang adalah seorang Eldian yang hidup di pulau Marley. Seorang Eldian bagi Marley dilihat layaknya iblis yang tidak bisa dimaafkan perbuatannya, bahkan ini berimbas pada keturunan Eldian yang tidak ada sangkut pautnya dengan leluhurnya. Hal ini dinilai Grisha sebagai penindasan dan ketidakbebasan sebagai seorang manusia.

Kemarahan dan semangat memuncak ketika adiknya, Yara Yeager dibunuh oleh militer Marley karna melanggar perbatasan. Seorang Eldian mesti hidup dalam penjara distrik Eldian yang merupakan wilayah iblis bagi Marley.

Ketika keluarga mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa Yara telah mati, ayah dari Grisha diam mematung, bersujud, tanpa melakukan perlawanan. Grisha mual melihat ini, mengapa bisa seorang ayah yang bahkan kehilangan anaknya bisa tetap tunduk pada kuasa? Eldian seperti dijebak oleh keaadaan dimana mereka tidak bisa bebas, dan Grisha menyadari ini.

Manusia adalah makhluk yang menciptakan esensinya sendiri, yakni dengan cara eksis atau mengada di dunia. Hakikat manusia menurut Jean Paul Sartre, filsuf kelahiran Prancis ini adalah kosong. Manusia membentuk takdirnya sendiri, mereka yang menentukan akan menjadi apa ia di dunia. Dia harus meng-ada sebab dia adalah kosong tanpa makna.

Manusia tidak bisa disamakan dengan benda-benda atau makhluk hidup lainnya yang telah memiliki esensinya sendiri, entre en soi, atau berada dalam dirinya sendiri. Benda-benda, tidak seperti halnya manusia tidak memiliki hakikat baawaan, mereka membentuk hakikat mereka sendiri. Untuk bisa bebas menurut sartre, manusia harus mengupayakan dirinya untuk bebas.

Hal ini dikemukakan oleh kalimat dimana Grisha menyatakan ini, yakni pada chapter 86 sebagai berikut

"Dan ayah hanya menerima mentah-mentah perkataan orang ini. Yang kurasakan kepada ayahku, kepada orang ini, adalah rasa kebencian yang teramat sangat besar sampai-sampai aku merasa mual."

Kita bisa menerjemahkan kalimat Grisha dengan konsep Naussea, yakni suatu terminologi untuk menggambarkan manusia yang bebas. Hidup manusia bagi Sartre itu memuakkan. Seperti dijelaskan di awal, manusia hidup bebas dan bertanggung jawab atas kebebasannya. Konsekuensi yang hadir itu sungguh menakutkan sehingga kebebasan itu membuat kita ingin muntah.

Muntah digambarkan seperti suatu kondisi dimana kita mengkonsumsi sesuatu yang menjijikkan. Hal ini sama seperti kebencian Grisha kepada dunia tempat ia tinggal. Kebebasan itu memuakkan, dan orang tua mereka takut kepada kebebasan yang beresiko seluruh keluarganya mati. Tetapi menurut Grisha, tidak melawan itu lebih membuatnya mual.

Manusia harus eksis di dunia karna ia telah ada-di-sana. Manusia akan takut dengan kematian setelah ia lahir di dunia. Manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri dari dunia yang tanpa makna ini. Berbeda dengan nihilisme, eksistensialisme menghargai manusia sebagai makhluk yang hadir di dunia.

"Tapi aku tidak mau mati, itu karena aku telah terlahir di dunia ini." pidato Willy Tylbur di chapter 100.

Kematian digambarkan berbeda dalam kajian eksistensialisme. Kematian menurut eksistensialisme adalah tidak eksisnya manusia di dunia. Mati adalah ketika manusia sudah kehilangan kesadarannya tentang dunia. Kesadaran yang dimaksud adalah pemahaman otentiknya tentang dunia.

Kematian adalah tenggelamnya manusia ke dalam kerumunan. Kerumunan atau Crowd adalah kesadaran semu kolektif dimana seseorang mengikuti logika kerumunan. Logika kerumunan adalah suatu pemahaman yang diobjektifkan. Orang yang tenggelam dalam kerumunan adalah orang yang tidak eksis menjadi dirinya sendiri atau tidak otentik dalam meng-ada di dunia. Dengan kata lain, mati.

Kerumunan menjadikan semua pemahaman tentang dunia menjadi sama dan harus sama. Manusia menjadi kehilangan otentisitasnya ketika bertemu dengan kerumunan. Segala hal yang tidak diakui oleh kerumunan adalah hal yang salah dan tidak pantas. Heidegger merumuskan ini dengan sebuah terminologi yakni Das Man. 

Das Man adalah konsep yang digambarkan heidegger sebagai larutnya manusia ke dalam realitas dan melupakan ada. Manusia, atau Das Sein, makhluk yang bisa memahami ada, seringkali larut dalam keseharian dan lari dari kenyataannya sebagai Das Sein untuk mencapai kesempurnaan realitas.

Untuk bisa mencapai kesempurnaan, manusia bukan seharusnya tenggelam dalam relitas dan kabur dari Faktisitas. Manusia tidak bisa lari dari Faktisitas, maka dari itu ia harus menyelami kehidupan untuk menemui dirinya.

Armin merupakan karakter yang digambarkan sebagai Das Man di manga ini. Setelah Armin mewarisi kekuatan sembilan titan dari Berthold, Armin mulai tenggelam dalam ingatan dan kesadaran milik Berthold yang sama sekali berbeda dengan Armin. Armin lari meninggalkan Faktisitasnya sebagai pewaris titan dan membunuh komandan Erwin untuk terjebak ke dalam Metafisika Keseharian. 

Armin mulai kehilangan dirinya sendiri dan terjebak dalam kesadaran milik Berthold. Kata Eren, Armin telah dikendalikan musuh. Eren menegaskan pada chapter 112 mengenai ini.

"Apa itu atas keinginanmu sendiri? Atau kau disuruh Berthold? Jika kenangan memainkan peran besar dalam membentuk seseorang, itu berarti sebagian dari dirimu telah menjadi Berthold. Sebagian dari prajurit musuh yang merasakan cinta terhadap prajurit lainnya telah mempengaruhi sebagian dari keputusanmu. Kau, seorang penasihat Eldia, pemegang sembilan titan. kau sudah tidak lembut seperti dulu. Kau tak pernah membelakangi musuh.....Armin, Berthold sudah merasuki otakmu. Justru kaulah yang dikendalikan musuh."

Kalimat ini jelas menyinggung kita yang seringkali meninggalkan Faktisitas dan tenggelam dalam pemahaman orang lain terhadap dunia. Kita seharusnya menyembul keluar dari keseharian dengan cara menyelami realitas untuk menemukan hakikat hidup itu sendiri.

Bicara soal kehidupan dan hakikat realitas, kita akan menjumpai konsep ketuhanan yang melandasi pemikiran manusia sejak manusia itu ada. Kajian esensialisme mengatakan bahwa segala kegiatan yang dilakukan manusia sudah diatur akhirnya akan seperti apa. Manusia dijebak oleh takdir yang mengikat mereka, dan takdir itu dibuat oleh tuhan.

Ini merupakan kontradiksi, jika tuhan membuat takdir untuk manusia, maka manusia tidak bisa menyadari ini karna segala kesadarannya telah dibentuk oleh takdir yang mengikat mereka, dan semuanya telah dipikirkan. Tetapi karna kita bisa memikirkannya, berarti kita bebas dan tuhan tidak merancang takdir yang demikian.

Dari konsep ini, Sartre menegaskan kesan ketidakpercayaannya kepada tuhan. Hal ini disinggung oleh pertanyaan Armin kepada Onyankopon, wakil dari pasukan sukarela yang membantu Survey Corps untuk melawan pasukan Marley di Liberio di chapter 106 dengan percakapan

"Kita semua ada karena dia menginginkannya." jelas Onyankopon

"jadi, siapa yang telah membuat kita?" tanya Armin

"Satu-satunya makhluk yang menganugerahkan kekuatan kepada Ymir Sang Pendiri, dengan kata lain, dewa. Beberapa orang menganggapnya demikian. Memikirkan soal itu saja sudah merupakan kebebasan bukan?" jawab Onyankopon.

Onyankopon menyinggung secara tidak langsung konsep kebebasan Sartre tentang tuhan. Balik lagi, ini adalah persepsi fenomenologis saya atas kalimat tersebut.

...

Saya akhiri persoalan tentang eksistensialisme ini. Perjalanan kita membedah manga ini masih berada di pertengahan jalan. Selanjutnya saya akan bahas konsep Absurdisme dalam manga ini.

Menyoal Absurdisme

Absurdisme dalam manga ini digambarkan dalam sosok Kapten Levi soal kebenaran. Levi sebelumnya percaya dengan kebenaran, dan kebenaran pasti ada. Sebelum kematian Komandan Erwin oleh Zeke, Levi percaya kalau Komandan Erwin adalah kebenaran itu sendiri. Levi benar-benar mempercayakan kebenarannya kepada Erwin yang merupakan inangnya pada pembahasan nihilisme sebelumnya.

Lalu setelah Komandan Erwin mati, Levi dikecewakan dengan kematian ini. Kebenaran bagi Levi hangus dimakan kematian. Levi menyerahkan kehidupan tersebut kepada Armin yang merupakan permohonan dari Eren. Setelah Levi mendekonstruksi kebenarannya, Levi menyandarkan kebenarannya kepada Eren dan percaya kepada Eren. Levi percaya bahwa Eren akan membawa kebaikan di dunia ini.

Tetapi kenyataannya tidak demikian. Levi lagi-lagi dikecewakan oleh keputusannya soal mempercayai Eren. Eren tidak seperti yang dia harapkan akan membawa kemaslahatan di dunia malah dinilainya sebagai hal yang bertentangan dengan pengharapannya.

Dari karakter Levi ini, kita bisa menghubungkannya dengan konsep Absurdisme, yakni konsep untuk merumuskan keadaan dimana segala kebenaran dan apa yang kita percayai adalah Absurd dan sia-sia.

Kita seringkali menyandarkan kepercayaan kita kepada suatu konsepsi kebenaran, epistemologi, etika, estetika, tetapi pada akhirnya kebenaran itu runtuh didekonstruksi oleh kebenaran lain. Begitupun seterusnya. Kita dihadapkan pada kenyataan yang absurd bahwa kebenaran itu simpang siur dan sia-sia sekali.

Karena hidup ini memang absurd, maka dari itu kita seharusnya memaknai hidup yang absurd ini dengan pemaknaan yang berarti dan bukan lari dari realitas. Konsep Absurdisme Albert Camus memang kental sekali dengan eksistensialisme. Kita tidak bisa berhenti pada absurdisme yang membawa kita pada jurang nihilisme, kita harus memaknai hidup kita.

Bicara soal konsep hidup, karakter di anime ini juga berbicara soal konsep hidup dan hakikatnya yang berbeda. Manga ini menurut hemat saya kurang lebih sama dengan hakikat hidup yang dikemukakan Scopenhauer. Menurut Scopenhauer, hakikat hidup manusia adalah penderitaan, dan dorongan manusia untuk hidup adalah semangat dari  "Will To Reproduction"

Will To Reproduction

Konsep ini direpresentasikan melalui karakter Zeke di manga ini. Kita diberitahu kalau Zeke memiliki rencana besar untuk membuat seluruh keturunan Ymir berhenti bereproduksi, dan dibuat punah. Rencana ini ia sebut sebagai "Euthanasia."

Rencana Euthanasia ini diharapkan Zeke untuk mengakhiri penderitaan di dunia ini. Penderitaan menurut Zeke disebabkan karena keturunan Ymir masih ada dan tidak berhenti bereproduksi. Agar penderitaan dan kebencian di dunia ini berakhir, keturunan Ymir harus punah dan musnah dari dunia ini dengan cara berhenti bereproduksi.

Rencana Euthanasia ini mirip sekali dengan apa yang dikemukakan Scopenhauer soal hidup. Scopenhauer berpikir bahwasannya hakikat hidup manusia adalah penderitaan.

Penderitaan yang dimaksudkan Scopenhauer disebabkan karena manusia hidup dengan keinginan yang tak terbatas. Hasrat untuk menginginkan sesuatu itu membuat manusia menjadi menderita sebab keinginan itu tidak pernah ada habisnya. Untuk memenuhi keinginan tersebut kita harus memaksa diri kita untuk  bisa memenuhinya. Kita harus mengorbankan apapun untuk memenuhi keinginan tersebut. Ketika keinginan itu telah tercapai, manusia akan bosan dan mengejar keinginan yang lainnya.

Keinginan dan hasrat dimaksudkan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Menurut Scopenhauer, kebahagiaan itu tidak pernah ada. Apa yang kita sebut sebagai kebahagiaan adalah kegembiraan sementara kita, dan setelahnya adalah kebosanan. Inilah yang dimaksud Scopenhauer sebagai  penderitaan.

Karena hidup manusia ini dihadapkan pada penderitaan yang tanpa akhir, maka menurut Scopenhauer, penyebab dari penderitaan tanpa akhir ini adalah kehidupan itu sendiri. Untuk mengakhiri penderitaan tanpa akhir, manusia harus berhenti hidup dan musnah dari dunia ini.

Menurut Scopenhauer, manusia dalam hidupnya didorong dan digerakkan dengan semangat untuk menghasilkan keturunan. Konsep ini disebutnya sebagai Will To Reproduction. 

Semangat menghasilkan keturunan inilah yang dinilai Scopenhauer sebagai peng-ada dan penyebab dari penderitaan tanpa akhir. Untuk bisa mengakhiri penderitaannya, manusia harus berhenti menghasilkan keturunan, dengan begitu manusia akan berakhir, juga penderitaannya.

Suram sekali pemikiran Scopenhauer ini ya wkwkwk

Menurut Scopenhauer juga, cinta itu palsu sama sekali. Apa yang disebut manusia sebagai cinta adalah efek samping dari semangat untuk menghasilkan keturunan. Disaat orang beramai-ramai memaknai arti cinta yang agung, Scopenhauer dengan kesuramannya mengatakan jika cinta adalah efek samping dari keinginannya untuk bereproduksi.

...

Selesai sudah kita berbincang-bincang soal Ontologi dan Epistemologi dari pelbagai filosof terkenal. Kali ini saya akan membedah manga ini dari aspek sosialnya. Manga ini bisa kita sadari dengan tegas membahas persoalan tentang konflik sosial dan politik di dalamnya.  Menurut perspektif saya, manga ini dekat dengan teori konflik. Sebuah konflik bisa memicu terjadinya integrasi antar kelas sosial, saya akan buat sub-bab kecil soal ini.

Hubungannya dengan Teori Konflik

Manga ini membahas pertentangan kelas melalui konflik antar bangsa-bangsa yang ada di manga ini. Bangsa Eldia sebagai kelas yang tertindas karena sejarah, dan Marley sebagai penindas.

Bangsa Marley kita ketahui telah menindas bangsa Eldia lebih dari apapun. Mereka berkuasa di atas penindasan bangsa Eldia sebagai kaum yang ditindas. Untuk bisa lepas dari penindasan yang ada, bangsa Eldia harus bertarung dengan bangsa Marley dan menghilangkan penindasan dan eksploitasi.

Eren pernah mengemukakan pandangan ini dengan kalimatnya pada chapter 106, ia berkata

"Jika kita tidak bertempur, kita tidak akan bisa menang. Jadi bertempurlah. Dan bertempur."

Teori konflik berakar dari pemikiran Karl Marx, seorang filsuf dan ekonom dari Jerman yang tidak asing lagi bagi kita. Marx mengatakan bahwa "Sejarah umat manusia terbentuk lewat pertumpahan darah."

Pertumpahan darah ini disebabkan karena kelas-kelas yang saling berkonflik. Konflik dinilai Marx justru sebagai hal yang membangun. Untuk bisa menjadi adil dan penindasan berakhir, kelas yang ditindas harus memberontak dan menghancurkan Status Quo kelas yang berkuasa. Hal ini digambarkan Marx dalam suatu anekdot dalam bukunya, Das Kapital.

Proletar: "Saya akan menggarap lahan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."

Borjuis: "Tanah ini milikku, dulu leluhurku berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan untuk mendapatkan lahan ini!"

Proletar: "Jika demikian, mengapa sekarang kita tidak berperang lagi saja untuk memperebutkan lahan ini..."

Borjuis: "..." (diam)

Anekdot ini saya pikir akan cocok jika kita menghubungkannya dengan konflik bangsa Marley dan Eldia. Apa yang dipikirkan Eren soal bertempur adalah perjuangannya untuk menyudahi penindasan yang dilakukan Marley dan seluruh dunia terhadap bangsa Eldia. Jika dunia berpikir penindasan adalah milik mereka, mengapa kita tidak bertarung saja memperebutkan penindasan ini. Dengan begitu, bangsa Eldia akan bebas dari penindasan.

Dan konflik bangsa-bangsa ini saya pikir sama bila dihubungkan dengan determinisme Marx soal Revolusi. Marx mengatakan bahwa eksploitasinya pada pekerja akan membuat para pekerja semakin menyadari penindasan dan terjadinya revolusi. Eksploitasi atas pekerja yang dilakukan kapitalisme adalah kegiatan menggali lubang kuburnya sendiri.

Hal ini bisa kita hubungkan dengan rasa kebencian dunia dan Marley terhadap bangsa Eldia. Rasa kebencian dunia terhadap Eldia lah yang menyebabkan revolusi dan genosida terhadap manusia di luar dinding. Artinya, dunia dan Marley menggali lubang kuburnya sendiri dengan rasa kebenciannya terhadap bangsa Eldia.

Bicara soal pertempuran, akhirnya mengantarkan kita pada pembahasan yang terakhir, yakni Humanisme Radikal. Manga ini tidak bisa lepas dari adanya pertempuran dan perang. Dan perang tidak lepas dari masalah kemanusiaan. Saya akan rumuskan ini dalam suatu bab.

Humanisme Radikal, Perang, dan Otoritas.

Untuk bisa mencapai kemenangan, perang harus menumpahkan darah. Tidak ada perang yang tidak melibatkan kemanusiaan. Dan perang, adalah bagian dari kuasa otoritas.

Humanisme adalah suatu konsep untuk menggambarkan dunia dimana manusia seharusnya menyesuaikan diri kepada alam dan lingkungan. Humanisme adalah upaya untuk menghargai manusia sebagai makhluk yang patut dihargai. Kenyataan ini dibalik oleh salah-satu asumsi Pragmatisme yakni Humanisme Radikal. 

Dalam humanisme radikal, konsep kemanusiaan dijungkirbalikkan. Bukan manusia yang harus menyesuaikan diri kepada alam dan lingkungan, melainkan alam dan lingkunganlah yang harus menyesuaikan diri untuk kepentingan manusia. Asumsi ini seperti mengatakan "siapa yang kuat, dia yang menang"

Kita hidup dengan kemustahilan untuk menghindari adanya otoritas. Otoritas pasti ada pada setiap lembaga masyarakat. Kita semua tahu bahwa otoritas menjadi pemangku kekuasaan atas segala aspek kehidupan. Otoritas memiliki kuasa untuk membuat aturan dan kebijakan. Mustahil untuk menghindari otoritas, bahkan untuk negara liberal dan demokrasi sekalipun. Karna manusia membutuhkan otoritas untuk mengatur mereka dari kekacauan.

Tetapi pada kebanyakan kasus, otoritas memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan diri mereka sendiri. Untuk bisa menjalankan kebijakan, otoritas harus membuat alam dan lingkungan menyesuaikan kebijakan tersebut. Manusia dipandang sebagai instrumen untuk pelaksaan kebijakan atas kuasa. Kekuasaan cenderung menjadi motif untuk menindas manusia.

Untuk menyelenggarakan perang dan pertempuran, otoritas mengerahkan kemanusiaan sebagai jalan dan tumbal untuk kejayaan. Perang tidak melihat manusia sebagai makhluk yang pantas dihargai, tetapi perang melihat manusia sebagai alat untuk mencapai kejayaan.

Di manga ini, kita bisa melihat bahwa berkali-kali kita diberikan gambaran bahwa kuasa mengerahkan kemanusiaan untuk mencapai kemenangan. Kuasa selalu saja mengorbankan manusia untuk kepentingan militernya dengan beragam alasan. Mereka membunuh dengan alasan-alasan klasik seperti "Kejayaan untuk negeri kita", "ini semua untuk kebebasan kita", "matilah untuk negeri ini!"

Otoritas adalah ancaman untuk kemanusiaan. Dan perang adalah pemicu paling besar dari semua tragedi. Otoritas tidak mengandaikan dunia penuh kasih sayang dimana semua orang bisa hidup bersama tanpa adanya pemangku kuasa. Tetapi dunia yang seperti itu adalah dunia utopia yang tidak akan pernah bisa kita capai.

Keberadaan otoritas memang menciptakan dunia tanpa kemanusiaan, dan pertanyaannya adalah, apakah manusia itu bisa bebas dan menjadi setara?

Baca Juga: Tak Ada Lagi Titan! "Attack On Titan" Berakhir Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun