Mohon tunggu...
Ahmad Farhan Saukani
Ahmad Farhan Saukani Mohon Tunggu... Lainnya - Anak yang kebetulan suka filsafat

Baru pertama kali mencoba menulis. Lebih senang membaca dibanding menulis, tetapi membaca membangkitkan gairah untuk menulis. Kita coba dunia baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyibak Filsafat di Balik Manga Attack On Titan

17 Desember 2020   01:56 Diperbarui: 26 April 2021   15:42 6425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster anime Attack on Titan. | Foto bersumber dari myanimelist

Manusia tidak bisa disamakan dengan benda-benda atau makhluk hidup lainnya yang telah memiliki esensinya sendiri, entre en soi, atau berada dalam dirinya sendiri. Benda-benda, tidak seperti halnya manusia tidak memiliki hakikat baawaan, mereka membentuk hakikat mereka sendiri. Untuk bisa bebas menurut sartre, manusia harus mengupayakan dirinya untuk bebas.

Hal ini dikemukakan oleh kalimat dimana Grisha menyatakan ini, yakni pada chapter 86 sebagai berikut

"Dan ayah hanya menerima mentah-mentah perkataan orang ini. Yang kurasakan kepada ayahku, kepada orang ini, adalah rasa kebencian yang teramat sangat besar sampai-sampai aku merasa mual."

Kita bisa menerjemahkan kalimat Grisha dengan konsep Naussea, yakni suatu terminologi untuk menggambarkan manusia yang bebas. Hidup manusia bagi Sartre itu memuakkan. Seperti dijelaskan di awal, manusia hidup bebas dan bertanggung jawab atas kebebasannya. Konsekuensi yang hadir itu sungguh menakutkan sehingga kebebasan itu membuat kita ingin muntah.

Muntah digambarkan seperti suatu kondisi dimana kita mengkonsumsi sesuatu yang menjijikkan. Hal ini sama seperti kebencian Grisha kepada dunia tempat ia tinggal. Kebebasan itu memuakkan, dan orang tua mereka takut kepada kebebasan yang beresiko seluruh keluarganya mati. Tetapi menurut Grisha, tidak melawan itu lebih membuatnya mual.

Manusia harus eksis di dunia karna ia telah ada-di-sana. Manusia akan takut dengan kematian setelah ia lahir di dunia. Manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri dari dunia yang tanpa makna ini. Berbeda dengan nihilisme, eksistensialisme menghargai manusia sebagai makhluk yang hadir di dunia.

"Tapi aku tidak mau mati, itu karena aku telah terlahir di dunia ini." pidato Willy Tylbur di chapter 100.

Kematian digambarkan berbeda dalam kajian eksistensialisme. Kematian menurut eksistensialisme adalah tidak eksisnya manusia di dunia. Mati adalah ketika manusia sudah kehilangan kesadarannya tentang dunia. Kesadaran yang dimaksud adalah pemahaman otentiknya tentang dunia.

Kematian adalah tenggelamnya manusia ke dalam kerumunan. Kerumunan atau Crowd adalah kesadaran semu kolektif dimana seseorang mengikuti logika kerumunan. Logika kerumunan adalah suatu pemahaman yang diobjektifkan. Orang yang tenggelam dalam kerumunan adalah orang yang tidak eksis menjadi dirinya sendiri atau tidak otentik dalam meng-ada di dunia. Dengan kata lain, mati.

Kerumunan menjadikan semua pemahaman tentang dunia menjadi sama dan harus sama. Manusia menjadi kehilangan otentisitasnya ketika bertemu dengan kerumunan. Segala hal yang tidak diakui oleh kerumunan adalah hal yang salah dan tidak pantas. Heidegger merumuskan ini dengan sebuah terminologi yakni Das Man. 

Das Man adalah konsep yang digambarkan heidegger sebagai larutnya manusia ke dalam realitas dan melupakan ada. Manusia, atau Das Sein, makhluk yang bisa memahami ada, seringkali larut dalam keseharian dan lari dari kenyataannya sebagai Das Sein untuk mencapai kesempurnaan realitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun