Oleh: Fandy Ahmad Salim
Teruntuk Wiji Thukul,
di manapun, bagaimanapun
I
Di sela-sela gang gelita
dan dinding beku kota Solo,
Saya bertemu Wiji saat ia
nyeruput kopi sambil ngobarkan rokok
Isapannya dalam, nir-resah.
Mumpung tidak ada tentara ngejar
atau aparat yang marah-marah
II
Wiji memetik kata-kata
lalu membarakan dengan puntung rokoknya.
Kata menjelma arang sekam;
Ditabur di bunga-bunga yang ia tebar
di sekeliling tembok, tahun-tahun silam*
III
Wiji tidak lari.
Ia berkelana.
Ia menyelamatkan bait-bait puisi
dari sepatu baja dan popor senjata
Sebab Wiji tahu,
negeri ini berani memproduksi
pentung,
borgol,
peluru,
dan bedil.
Tapi ciut-takut pada kata-kata
yang menggaungkan, "adil!"
Sebab Wiji mengerti,
martabat penguasa dan para abdinya
musti dijunjung tinggi-tinggi.
Disembah-hormati
meski tangannya berlumur darah
dan hati terlanjur mati.
IV
Wiji murung termenung,
lalu merabai tubuhnya sendiri yang terbuat dari
tinta dan raung:
Badan yang lapuk karena gebuk,
mata yang remuk karena aparat ngamuk.
Ia tercenung.
Namun Wiji mengutip Pram,
"Menulis adalah sebuah keberanian,"
lalu ditambahkan,
"Dan melawan adalah kehormatan"
V
Ketika lampu mencuri bintang
buat menerangi kampung dan jalan raya,
Wiji menyambangi sudut-sudut kota:
Rumah-rumah buruh dan tukang becak,
bengkel karatan dan jalan setapak.
Juga rumahnya.
Ia coba kenang kembali
anak-anaknya yang berbakti,
yang menggemakan suaranya
di sekujur tubuh alam raya.
Seperti harapnya pada satu puisi
VI
Wiji menanti 5 menit
supaya malam benar paripurna.
Dilihatnya arloji:
menunggu dentang tiga.
Riuh-rendah kendaraan berbaur
dengkur negeri yang tidur penuh syukur,
semua naik ke angkasa;
didengarkannya sebagai orkestra.
Ia meratapi
Ia berdoa
Ia meresapi
Ia berdoa
Ia berdoa lewat ramai dan sepi, malam dan pagi, pidato dan puisi, agar sudah cukup yang lantang dan yang hilang, dan tidak lagi
VII
Wiji pulang
Ketika detik genap.
Meluruh penuh-seluruh
menjadi kalimat yang utuh.
Terhilir bersama bait-bait
yang membaiatnya jadi martir.
Wiji pulang.
Tapi di simpangan antara
fajar yang memulai baris
dan malam yang melukis titik, masih tersisa
harum kopi,
rokok separuh hangus, dan
gurat di kertas tua,
"Ya, aku masih hidup dan kata-kataku belum binasa"**
Catatan Kaki:
Puisi ini pertama kali terbit dalam buku antologi puisi Menenun Rinai Hujan bersama Eyang Sapardi Djoko Damono. Terbitan Sebuku.net, Mei 2019. Alhamdulillah, mampu bersaing dengan 4000-an puisi dari seluruh penjuru Indonesia dan didaulat sebagai juara 1. Diterbitkan kembali secara maya sekarang, agar dapat dinikmati secara luas dalam momen yang tepat ini.
*Merujuk pada puisi Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul; dengan penggubahan
**Merujuk pada puisi Aku Masih Utuh dan Kata Kata Belum Binasa, 1997, karya Wiji Thukul; dengan penggubahan.