Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Wiji: Yang Lantang dan Yang Hilang

25 September 2019   19:24 Diperbarui: 25 September 2019   20:03 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Fandy Ahmad Salim

Teruntuk Wiji Thukul,

di manapun, bagaimanapun

I

Di sela-sela gang gelita

dan dinding beku kota Solo,

Saya bertemu Wiji saat ia

nyeruput kopi sambil ngobarkan rokok

Isapannya dalam, nir-resah.

Mumpung tidak ada tentara ngejar

atau aparat yang marah-marah

II

Wiji memetik kata-kata

lalu membarakan dengan puntung rokoknya.

Kata menjelma arang sekam;

Ditabur di bunga-bunga yang ia tebar

di sekeliling tembok, tahun-tahun silam*

III

Wiji tidak lari.

Ia berkelana.

Ia menyelamatkan bait-bait puisi

dari sepatu baja dan popor senjata

Sebab Wiji tahu,

negeri ini berani memproduksi

pentung,

borgol,

peluru,

dan bedil.

Tapi ciut-takut pada kata-kata

yang menggaungkan, "adil!"

Sebab Wiji mengerti,

martabat penguasa dan para abdinya

musti dijunjung tinggi-tinggi.

Disembah-hormati

meski tangannya berlumur darah

dan hati terlanjur mati.

IV

Wiji murung termenung,

lalu merabai tubuhnya sendiri yang terbuat dari

tinta dan raung:

Badan yang lapuk karena gebuk,

mata yang remuk karena aparat ngamuk.

Ia tercenung.

Namun Wiji mengutip Pram,

"Menulis adalah sebuah keberanian,"

lalu ditambahkan,

"Dan melawan adalah kehormatan"

V

Ketika lampu mencuri bintang

buat menerangi kampung dan jalan raya,

Wiji menyambangi sudut-sudut kota:

Rumah-rumah buruh dan tukang becak,

bengkel karatan dan jalan setapak.

Juga rumahnya.

Ia coba kenang kembali

anak-anaknya yang berbakti,

yang menggemakan suaranya

di sekujur tubuh alam raya.

Seperti harapnya pada satu puisi

VI

Wiji menanti 5 menit

supaya malam benar paripurna.

Dilihatnya arloji:

menunggu dentang tiga.

Riuh-rendah kendaraan berbaur

dengkur negeri yang tidur penuh syukur,

semua naik ke angkasa;

didengarkannya sebagai orkestra.

Ia meratapi

Ia berdoa

Ia meresapi

Ia berdoa

Ia berdoa lewat ramai dan sepi, malam dan pagi, pidato dan puisi, agar sudah cukup yang lantang dan yang hilang, dan tidak lagi

VII

Wiji pulang

Ketika detik genap.

Meluruh penuh-seluruh

menjadi kalimat yang utuh.

Terhilir bersama bait-bait

yang membaiatnya jadi martir.

Wiji pulang.

Tapi di simpangan antara

fajar yang memulai baris

dan malam yang melukis titik, masih tersisa

harum kopi,

rokok separuh hangus, dan

gurat di kertas tua,

"Ya, aku masih hidup dan kata-kataku belum binasa"**

Catatan Kaki:

Puisi ini pertama kali terbit dalam buku antologi puisi Menenun Rinai Hujan bersama Eyang Sapardi Djoko Damono. Terbitan Sebuku.net, Mei 2019. Alhamdulillah, mampu bersaing dengan 4000-an puisi dari seluruh penjuru Indonesia dan didaulat sebagai juara 1. Diterbitkan kembali secara maya sekarang, agar dapat dinikmati secara luas dalam momen yang tepat ini.

*Merujuk pada puisi Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul; dengan penggubahan

**Merujuk pada puisi Aku Masih Utuh dan Kata Kata Belum Binasa, 1997, karya Wiji Thukul; dengan penggubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun