Bab 7
Rahadi Sugara pria 27 tahun yang dikenal orang sebagai pemilik hotel Gunung Sari yang ada di beberapa kota besar di Indonesia. Kini keluarganya juga sedang mengembangkan usaha  kawasan taman wisata yang menyediakan paket liburan lengkap bagi pengunjung untuk berkamping dan pengalaman menjelajahi hutan wisata yang dikembangkannya secara serius.Â
Banyak investor asing yang meliriknya sebab prospek usahanya dinilai sangat menjanjikan. Selain dapat mengeruk keuntungan, mereka juga terlibat dalam proyek pelestarian alam Indonesia.
Jika ada tempat yang alami dan terancam karena tindakan manusia yang mengeksploitasi alam, Gunung Sari. Co. Ltd akan turun tangan dengan menawarkan restorasi, reboisasi dan mengembalikan kawasan itu seperti bentuk aslinya. Tak peduli berapa besar uang yang harus diinvestasikan, Sugara akan merasa bahagia jika melihat kawasan -- kawasan alam itu dapat diselamatkan.Â
Dia akan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk di sekitarnya dan tak lupa memberikan edukasi agar mereka dapat ikut melestarikan alam, bukan justru habis manis sepah dibuang terhadap alam.
Banyak usaha pariwisata dan pertanian yang didirikan oleh Sugara. Dengan kejeniusan dan tangan dinginnya Sugara berhasil meraup pundi -- pundi keuntungan dari orang -- orang yang ikut menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan. Melihat anak -- anak mengenal alam atau berkuda di perbukitan yang dihiasi langit membentang di atas mereka, Sugara sudah merasa bahagia.
Meskipun hidupnya belum lengkap. Sugara ingin membuat hidupnya lengkap meskipun untuk itu dia harus berani mengambil resiko. Dia sudah memimpikan untuk memiliki pendamping hidup dan Sugara memilih gadis impiannya. Meskipun seluruh keluarganya menertawakan dan menganggapnya bak pelakon cerita dongeng.
Zach, Ali Nurdin, dan Om Pramana sudah hadir atas undangannya untuk menjalankan rencana mereka.
"Sebentar lagi dia akan datang." Zach melirik arlojinya. Dia memandang kakak laki -- lakinya yang dengan gugup merapikan dasinya. Sebentar -- sebentar Sugara duduk, lalu berdiri lagi.
"Apa kami akan pura -- pura tak mengenalnya?" Ali Nurdin tak tahan untuk terus diam agar Sugara tak lebih tegang lagi.
"Dia akan mengenali kalian, kan?" kata Sugara, alisnya terangkat ke atas. "Jadi apa gunanya berpura -- pura tak mengenalnya?"
" Saat dia melihatku, adakah kemungkinan dia akan menduga kau adalah Sugara?" Pramana yang sebagian besar rambutnya telah memutih ikut -- ikutan tegang dengan pertemuan yang sudah dirancang sejak lama ini. Dia juga ikut bersalah dan tak tahu bagaimana caranya mengambil hati orang yang telah menerima akibat atas ketidakacuhan mereka memegang amanat. Mungkin dengan cara ini semua ganjalan di masa lalu bisa berakhir indah.
" Dia akan bertanya kabar dan kita takkan memberitahu aku adalah teman masa kecilnya." Sugara mengulangi rencananya, " Bapak Pram dan Zach bersikap wajar saja dan anggap kalian bekerja untukku dan tak ada Sugara sama sekali di antara kita saat ini, bahkan bayang -- bayangnya sekalipun. Aku harus mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya."
"Memangnya kau pikir Gendis lalu akan jatuh cinta padamu?" kelakar Zach santai.
"Tutup mulutmu, Zach!" bentak Sugara jengkel pada adiknya. Zach tak mengerti bahwa sejak kecil ada ikatan di antara mereka. Antara Gendis dan Sugara. Meskipun terlalu dini untuk mencari tahu apakah Alisia menunjukkan tanda -- tanda memberikan hati atau simpati pada Sugara saat mereka bertemu dua tahun yang lalu, tapi sejak saat itu Sugara telah menjadi teman terbaik Gendis walau tak pernah jumpa.
Mereka berkomunikasi secara rutin bukan untuk menanyakan apakah sudah makan, atau sedang berada di mana, atau mengucapkan selamat tidur. Mereka bicara tentang impian masa depan, kebakaran hutan, perkembangan kuliahnya, tentang pekerjaan. Terakhir mereka berdiskusi tentang kesulitan Gendis menemukan pekerjaan yang pas baginya setelah di PHK dari sebuah kantor konsultan dan Sugara mengucapkan kalimat seperti, "Datanglah padaku, dan aku akan memberikanmu pekerjaan" dan hatiku.
Seseorang mengetuk pintu ruangan Sugara.
"It`s time." bisik Ali Nurdin. Membukakan pintu untuk Alisia Gendis Yahya yang datang atas undangan sahabat penanya, Ray Rahardian. Meskipun tak ada yang bisa menjamin semua karyawan perusahaannya akan memanggilnya dengan nama itu.
"Assalamu`alaikum." wajah Gendis muncul dengan balutan baju muslimah yang rapi. Sugara pangling sebab terakhir mereka bertemu Gendis belum berhijab. Mungkinkah Gendis memang sekarang berhijab, atau khusus memakai hijab untuk menemuinya.
"Alisia, senang sekali kami berjumpa denganmu." Ali Nurdin berseru agak terlalu bersemangat, mengagetkan semua orang di ruangan itu. Alisia menoleh ke arah Ali Nurdin dan mengenali wajah seseorang yang dikenalinya.
"Apakah kau Gendis?" Pramana mendekati gadis itu yang belum pulih dari kebingungan dan kekagetannya.
"Om? Om Pramana?"
"Aku diberitahu pak Ray bahwa akan ada seorang gadis istimewa yang akan datang menemuinya. Dia menunjukkan fotomu di handphonenya dan kubilang kita saling kenal. Bagaimana kabarmu, Nak?"
"Mengapa kita berbincang sambil berdiri, bagaimana kalau sekarang kita semua duduk. Mari, Gendis. Kurasa aku harus memperkenalkan diri, namaku Zach, kau ingat padaku kan?" Zach berkata lembut dan mempersilakannya duduk di sofa di tengah -- tengah ruangan kantor itu.
Om Pramana dan Ali Nurdin memimpin mereka duduk. Zach menunggu Gendis untuk melangkah. Gendis melangkah tegap saat Sugara beranjak dari kursinya dan mengikuti semua orang untuk duduk di sofa. Sugara memilih untuk duduk di samping Gendis yang telah dikosongkan oleh semua orang.
"Bagaimana kabarmu, Gendis?" Pramana bertanya lembut.
"Aku baik, Om. Dan bagaimana kabar Om dan tante Halimah?"
"Kami semua merindukanmu dan selalu mencarimu Gendis." kata Pramana.
Pramana mengamati Gendis yang menundukkan kepalanya. Berbeda dengan saat pertama dia muncul di depan pintu dengan senyum lebar dan tatapan persahabatan, semua orang di ruangan itu dapat merasakan bahwa Gendis seperti ingin cepat pergi dari ruangan itu.
"Hei, apa kalian saling mengenal?" Sugara yang sedang berpura -- pura menjadi Ray Rahardian mencoba menenangkan keadaan.Untuk pertama kalinya  sejak datang  Gendis menatap langsung ke arahnya. Membuat Sugara juga merasa lebih rileks.Â
Gendis menatap Sugara seperti ingin mencari perlindungan. Senyumnya mengembang lebar dan tanpa dipaksakan. Sugara merasa sangat lega bahwa Gendisnya tak menangkap basah siapa dirinya di hari pertama bertemu lagi.
"Tentu saja kami saling mengenal, Pak. Gendis pernah tinggal bersama keluarga kami, benar kan, Dis? " Zach berkata pelan seolah hanya ingin Gendis sendiri yang mendengar.
"Aku dititipkan pada mereka. Orangtuaku saat itu pergi ke luar negeri."
"Benarkah? Hubungan keluarga kalian pasti sangat dekat kan. Apakah kalian masih berhubungan dekat hingga sekarang?" Sugara bertanya menahan perih di hatinya. Dia harus menanyakannya untuk mengetahui reaksi Gendis.
Zach dan Pramana melihat ke arah Gendis yang kelu. Melihat Gendis merasa tak nyaman, Sugara segera bertindak. Tak ada gunanya memaksa Gendis sekarang.
" Terima kasih Pak Pramana, Pak Zach karena sudah menemaniku menyambut staf baru di perusahaan kita. Sekarang saatnya kami, aku, Alisia, dan Ali Nurdin untuk reuni." kata Sugara untuk tak memperlama suasana yang cenderung berat.
Pramana mengangguk dan memandang Gendis sekali lagi.
"Baiklah, kita akan bertemu lagi, Nak. Om ingin sekali mendengar kabarmu." Pramana menunggu Gendis yang dengan sungkan mengangkat kepalanya untuk memandangnya.
" Baiklah, Om...aku juga ingin berbincang lagi dengan Om." kata Gendis sambil tersenyum sopan.Â
Om Pramana meskipun sudah tua namun masih menyisakan kerupawanan masa mudanya dan sifat kebapakannya yang menenangkan dan membesarkan hati. Gendis ingat kasih sayang dan kepeduliannya semasa Gendis tinggal di rumah kaki gunung. Setelah seharian bekerja keras beliau masih tidak segan -- segan melakukan hal remeh temeh seperti membantu Gendis kecil mengerjakan tugas prakaryanya.Â
Rasanya menyakitkan sekali harus berpikir bahwa om Pramana juga tak ambil pusing dengan keadaannya dan mas Bayu sepeninggal orang tua mereka. Mengapa orang bisa berubah? Apakah karena keluarganya saat itu sudah tak memiliki apapun sehingga orang lain berpikir tak ada gunanya menolong mereka?
Gendis memandangnya menghilang di balik pintu.
"Anda ada janji bertemu klien yang akan menawarkan investasi di daerah kelahiran Anda setengah jam lagi." kata Zach sambil membetulkan letak kacamata minusnya.
"Oke, Zach. Terima kasih." jawab Sugara, "Aku akan mengantar dulu Alisia melihat -- lihat tempat ini dan mengantarkannya ke mejanya."
"Gendis, dulu kami memanggilnya Gendis, Pak. Kurasa kapan -- kapan kita juga harus reuni, Dis. Kamu, aku, Mbak Sukini, dan Sugara."
Gendis membalas senyum Zach dengan susah payah. Saat akhirnya Zach meninggalkan mereka bertiga, Gendis menghela nafasnya seperti lepas dari beban berat.
"Kalian sepertinya punya hubungan keluarga yang sangat dekat." gumam Sugara. Ali Nurdin hanya menonton sahabatnya melanjutkan sandiwaranya yang penuh resiko.
"Apa aku diterima bekerja di sini?" tanya Gendis, gadis itu memilih untuk tak menjawab pertanyaan pria yang diketahuinya bernama Ray Rahardian pemilik perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan pariwisata alam yang menawarinya sebuah pekerjaan.
"Ya, kau adalah pengatur taman yang hebat, kau mau pekerjaan itu kan? Atau jika kau lebih suka di belakang meja, kami juga menyisakan posisi itu untukmu."
"Kenapa ada kebetulan seperti ini?"
"Kita bertemu lagi bukan karena kebetulan, kita tak pernah berhenti saling kontak kan? Kurasa kita memang ditakdirkan saling terhubung." Sugara mengerling jenaka, hal yang tak pernah dilakukannya di depan wanita lain. Mungkin karena mereka bertemu bertahun -- tahun lalu sejak masih mahasiswa dan terlebih karena wanita yang saat ini ada di sampingnya itu adalah sahabat masa kecilnya meskipun gadis itu belum mengetahuinya.
Sejak Sugara tahu siapa Alisia dia berjanji untuk memperbaiki hubungan mereka.
"Maksudku bukan pertemuan kita Ray, tapi...aku tak menyangka akan bertemu Om Pramana dan Zach di sini. Mereka bekerja untukmu?"
'Ya, mereka adalah rekananku."
"Tapi Om Pramana tak pernah mau tinggal di kota."
"Kau benar. Pak Pramana tidak tinggal di Jakarta. Dia adalah penanggung jawab cabang bisnis kami di sebuah desa pegunungan. Ini dia kebetulan mengikuti acara perusahaan sekalian mengunjungi keluarganya. Dia punya keluarga di Jakarta"
"Dengan Zach juga?"
'Pak Zach adalah putra pemilik saham terbesar kami, dia seorang pengacara dan memberi bantuan hukum berkenaan perjanjian dan kontrak kerjasama yang perlu pengesahan hukum."
Gendis terdiam
"Alisia?" Sugara memanggil Alisia yang seperti orang melamun, "Ada apa? Apakah ada yang mengganggumu?"Â
Tentu saja ada, batin hati Sugara. Terlihat jelas gadis itu masih sakit hati pada masa lalunya setiapkali memandang om Pramana ataupun Zach yang berhubungan dengan masa lalunya itu.
Bagaimana seandainya sekarang Gendis juga tahu bahwa Ray Rahardian adalah Rahadi Sugara. Dulu Sugara adalah orang yang paling dipercayainya. Gadis itu berinisiatif mengirimi Sugara kabar tentang keberadaan dan keadaannya. Gendis mempercayainya dan Sugara memutuskan sendiri persahabatan itu secara sadar.
Oh Tuhan, apa yang saat itu ada di kepalanya? Tapi saat itu dia masih sangat muda. Mungkinkah dia bisa menelan semua kebencian Gendis pada keluarganya.
Ya, dia bisa. Dia siap menerima kemarahan dan sakit hati Gendis. Dia akan memenangkan kembali hati Gendis yang terus membayanginya sejak hari mereka berpisah di hutan lindung dan Sugara mengetahui siapa Alisia.
"Maaf, Ray...aku hanya banyak pikiran." jawab Gendis.
" Tak masalah. Kau bisa ceritakan semuanya padaku, Oke? Termasuk bila ada orang yang menyakitimu atau apa, aku bisa menolongmu..."
Gendis menahan hatinya yang bergemuruh. Hidung dan sudut matanya sudah basah.
Ali Nurdin melipat tangannya dan tak beranjak dari tempatnya. Dia yang biasanya melucu juga tahu sekarang bukan saat yang tepat.
Ali Nurdin ingat beberapa tahun lalu saat mereka dalam pesawat setelah diantar mobil patroli polisi kehutanan yang mengantar mereka sampai di luar kawasan hutan lindung. Ali Nurdin menatap Sugara yang terlihat kacau.
"Kau kenapa?"
"Kau tahu siapa nama lengkap Alisia?"
"Alisia Gendis Yahya. Kami satu kampus tapi beda fakultas."
"Bagaimana dia pulang?"
"Ikut bis, ongkosnya tak cukup untuk naik pesawat dan dia gadis yang sombong. Dia tak mau aku mengajaknya meskipun kau tahu kan? Aku bukan musang berbulu domba yang akan memanfaatkan kebaikanku atau punya maksud di balik bantuanku. Dia gadis yang luar biasa."
"Apa dia tahu siapa namamu?"
"Ya ampun apa maksudmu? Tentu saja dia tahu namaku."
"Apa kau tahu siapa namaku?"
"Kau adalah...Ray."
"Namaku Rahadi Sugara. Bayangkan jika dia tahu siapa namaku."
"Kau seperti orang aneh. Memangnya kenapa kalau dia tahu siapa namamu?"
"Dia sahabat masa kecilku."
"Baiklah, kurasa maksudmu kau menyukainya."
" Kami sungguh -- sungguh mengenal sejak kami masih kecil. Tapi sekarang dia membenciku dan seluruh keluargaku. Dia takkan mau mendengar apapun lagi tentang kami."
Selama hampir satu jam penerbangan dari bandara Sultan Syarief Kasim II hingga ke bandara Soetta Sugara menceritakan semuanya pada Ali Nurdin yang mengaku satu kampus dengan Gendis. Ali Nurdin bermaksud untuk mengunjungi keluarganya dulu di Jakarta sebelum pulang.
'Wah, itu berat, Ray masalahnya." Komentar Ali nurdin setelah pesawat mereka mendarat dan mereka sedang menunggu bagasi, " Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Apa kau akan menghubunginya?"
"Aku bertanya tadi padanya apakah aku boleh menghubunginya dan kurasa dia membolehkannya."
"Baiklah,"
"Tapi dia tak boleh tahu nama asliku, dan kau tak boleh memberitahunya."
"Tapi kebohongan bisa menimbulkan masalah baru di sini,"
" Itu lebih baik daripada jika dia tak mau berurusan denganku setelah tahu siapa aku."
Percakapan itu sudah bertahun -- tahun yang lalu. Ali Nurdin tak habis pikir kapan Sugara akan memberitahu kebenarannya pada Alisia. Dia sudah menunda -- nunda terlalu lama menghentikan kepura -- puraan ini. Dan sekarang permainan Sugara semakin berbahaya.
Dan sekarang di sinilah mereka dengan semua omong kosong ini. Ali Nurdin menelengkan kepalanya.
"Apa Ali bekerja untukmu juga?" tanya Gendis dengan suara serak menahan untuk tak menangis mengingat sakit hatinya.
Sugara bukan tak menyadari sikap Gendis ini dan dia ngeri seberat itukah kehidupan setelah Gendis keluar dari rumah papa Endriko.
"Ali Nurdin akan bekerja denganmu. Kami akan membeli sebuah tempat yang sangat prestisius dan punya kenangan yang sangat dalam. Aku ingin kalian mengubahnya seperti waktu dulu." jawab Sugara.
"Benarkah?"
"Tempat itu menyimpan banyak kenangan masa kecilku dan seseorang yang sangat penting untukku."
"Apa itu rumah keluargamu?"
"Satu -- satunya rumahku."
"Lalu kenapa kau bilang kau akan membelinya kembali?"
"Setiap orang punya masa -- masa sulit dalam hidupnya, Ai. Itulah saat kami kehilangan tempat itu"
"Kau ingin membangun taman di tempat itu?"
"Aku ingin menanam semua pohon yang bisa ditanam, menjadikannya tempat seperti yang selalu kami ingat sebelumnya."
Zach  memperhatikan saat kakaknya membawa Gendis melihat -- lihat kantor mereka dengan Ali Nurdin yang patuh mengekor kakaknya seperti seorang pengawal. Zach menganggap kakaknya orang yang munafik. Sejak kecil Zach selalu merasa dinomorduakan oleh semua orang gara -- gara Sugara. Semua hal selalu tentang Sugara.
Rasanya masih mengesalkan harus menerimanya sebagai kakak kandungnya dan bahwa orang tuanya melakukan hal bodoh dengan menitipkan Sugara pada om Pramana karena Sugara punya tompel jelek yang membuat mama dan papanya malu. Lalu setelah Sugara dioperasi mama dan papanya membawanya kembali pulang dan menyuruhnya menerimanya sebagai kakak yang apa -- apa selalu tentang Sugara yang baik, Sugara yang penurut, Sugara yang penyabar, Sugara yang rajin beribadah.
Zach selalu menjadi bayangan bagi kakaknya. Yang paling membuat Zach marah adalah rencana mama untuk menjodohkan Sugara dengan seorang gadis anak asuh mama yang bernama Arina. Arina dan beberapa anak lain diasuh mamanya sejak kecil dalam sebuah rumah panti untuk diasuh, dan disekolahkan.Â
Arina adalah gadis yatim piatu yang keluarganya tewas dalam sebuah musibah banjir dan tanah longsor di desanya.
Arina berusia 15 tahun saat ditemukan mama dan dibawa pulang ke panti.Â
Zach tahu sejak usaha papa membaik, mama berusaha menebus kesalahannya pada gadis yang dulu mereka telantarkan dengan mendirikan rumah panti asuhan itu. Arina adalah anak kesayangan mama karena dia mengingatkan mama pada Gendis.Â
Seluruh keluarganya terus dibayangi kenyataan bahwa mereka pernah menjual rumah dan tanah milik anak yatim piatu. Arina sering mama bawa menginap di rumah. Arina anak yang sangat rajin dan beberapa kali memasakkan makanan yang istimewa. Zach selalu berdegup saat Arina di dekatnya namun mama tak bisa menangkap isyaratnya. Mama justru berkata dengan bergurau padanya bahwa Sugara dan Arina akan menjadi pasangan yang sangat cocok.
Setelah itu Sugara melibatkan Zach dengan rencana tentang Gendis ini. Parahnya lagi om Pramana juga mendukung kebodohan Sugara yang sok- sokan ingin memperbaiki kesalahan masa lalu keluarga dengan mencintai Gendis? Zach memperhatikan Arina yang mengantarkan teh untuk tamu -- tamu kakaknya itu. Sejak sebulan yang lalu Arina menerima tawaran mama untuk bekerja bersama Sugara selama liburan semesternya. Arina belajar di  Jurusan Bisnis dan menurut mama akan sangat baik jika Arina bisa bekerja magang di kantor Sugara.
Zach tak suka menganalisis orang tapi jelas sekali ide mama ini akan membuat suasana tidak enak. Arina mulai jarang tersenyum sejak mengetahui Sugara menerima tamu wanita, teman lamanya, di kantornya. Zach ingin tahu mengapa.Â
Mungkinkah tanpa sepengetahuannya mama telah memberitahu Arina bahwa mungkin dia bisa jadi jodoh Sugara atau semua ini sama sekali bukan salah mama tapi Arina sendiri yang diam -- diam suka Sugara bahkan sebelum mama mengungkapkan idenya.Â
Tak bisakah semua orang membiarkan semuanya terjadi secara alami? Semua kelihatannya sangat alami antara Sugara dan Gendis meskipun mungkin ada hati yang diam -- diam bisa terluka.
Zach memanggil Arina agar mendekat saat gadis itu lewat di mejanya.
"Dik, apa kau sedang sibuk ?" Zach melambaikan tangannya memberi kode agar Arina mendekat. Arina memandang Zach dan berjalan ke arahnya dengan perasaan enggan.
"Kenapa, Pak?" tanya Arina sopan.
"Kau tak perlu memanggilku Pak bahkan saat di kantor. Mama kan sudah menganggapmu putrinya."
"Baiklah, Mas Zach."
"Kau kenapa?"
"Mas Sugara menerima tamu. Saat aku mengantarkan teh untuk mereka, mereka sudah menghilang."
"Sugara sedang mengantar tamunya ke bagian HRD."
"Dia akan bekerja di sini?" Arina gagal menyembunyikan keterkejutannya.
"Resminya sih begitu tapi dia tidak akan bekerja di kantor ini. Dia seorang gardener dan Sugara mengontraknya untuk mengerjakan proyek hotel Gunung Sari yang baru." Zach menjelaskan.
"Oh, begitu ya."
"Dia akan menanam pohon dan bunga untuk Sugara."
"Semacam tukang kebun?"
Zach tertawa riang dan dia bersumpah melihat kekesalan di mata Arina. Lucu sekali caranya mengungkapkan ketidaksukaannya saat merasa terancam, "Ya, kurasa begitu. Bagaimana kalau nanti kita makan malam di rumah sepulang kerja? Mama akan senang sekali melihatmu berpakaian seperti seorang sekretaris pribadi."
Arina tersenyum dan melangkah pergi. Zach membiarkan Arina berlalu walaupun dia kecewa Arina tak menanggapi godaannya. Arina bukan anak kecil yang dulu dikenalnya. Dia sudah menjadi gadis yang dewasa dan hampir siap bekerja atau siap menjadi ibu rumah tangga.
Sugara membawa lagi Gendis ke ruangannya setelah mengajaknya melihat -- lihat.
"Kalian berdua bisa menungguku sebentar di sini, kan? Aku ada pertemuan sebentar dan silahkan diminum tehnya." Sugara berkata pada kedua temannya.
"Mungkin kami permisi saja sekarang ya, Ray?" Ali Nurdin mengusulkan.
"Kumohon jangan, kita harus makan siang bersama baru aku bisa mengizinkan kalian pergi."
Saat itu Arina melangkah masuk. Dia melihat ke arah Gendis sebentar. Gendis sangat cantik dan Sugara duduk di sebelahnya.
"Maaf, Pak."
"Ya, Arina."
"Mereka sudah menunggu di ruang rapat."
"Terima kasih, Arina...tunggu Arina."Â
Sugara membuat Arina membalikkan badannya lagi, "Boleh aku minta tolong padamu?" Arina mengangguk dengan patuh, " Bisakah kau temani mereka sebentar, biar kukenalkan dulu, dia bernama Arina dia karyawaan magang di sini tapi dia juga kuanggap adikku, Arina perkenalkan Ali Nurdin dan Alisia, mereka teman -- temanku. Bisakah kau temani Alisia?"
"Baiklah," Arina tersenyum kaku. Gendis mengamati gadis muda yang cantik di depannya. Arina memakai kacamata minus yang membingkai wajah ovalnya. Dia pasti gadis yang sangat pintar. Mereka mengobrol tentang keluarga dan pendidikan yang sedang ditempuh Arina sambil menunggu Sugara selesai memimpin rapat perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H