Sekitar 300 jemaat yang hadir untuk mendengarkan khutbah dari sejumlah robot ditampilkan di layar, di Gereja Santo Paulus, Bavaria, Jerman di awal musim panas 2023.
Para robot tersebut diciptakan oleh ChatGPT dan Jonas Simmerlein, seorang teolog dan filsuf dari Universitas Wina (saya teringat dengan 'Lingkaran Wina'). Ia bergandengan dengan eksperimen kebaktian gereja yang menggunakan robot telah membetot banyak perhatian.
Kurang lebih enam tahun sebelumnya, khutbah dari para robot agak berbeda dengan Sophia, di tahun 2017.
Sophia adalah robot pintar Artificial Intelligence (kecerdasan artifisial). Soph ia robot pintar yang diangkat menjadi warga negara Arab Saudi.
Para robot di Gereja Santo Paulus tersebut berbeda karena Sophia bisa berbicara dan merespon berbagai pertanyaan. Bak buah pinang di belah dua saat mimik wajah Sophia yang hidup dan lucu.
Belum terdengar kabar siapa nama para robot Artificial Intelligence di Gereja Santo Paulus yang mampu berbicara, sekalipun belum ada respon atas ragam pertanyaan dan bisa mengundang tawa.
Tetapi, robot di Gereja Santo Paulus merupakan terobosan baru sebagai mesin yang hidup. Robot sebagai mesin artifisial yang dialamiahkan mampu menggantikan peran dari pendeta, biksu, ulama, rabi, dan tokoh agama lainnya.
Terberkatilah Artificial Intelligence karena menggantikan pendeta, biksu, rabi, ulama, dan lainnya! Oh, robot dalam wujud beragama!
Bayangkan, robot pintar dalam satu sisi manusia yang ditandai dengan peran pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Sebenarnya, tidak ada godaan yang ditemukan dari dalam dirinya, kecuali robot Artificial Intelligence yang menciptakan godaan.
Sebaliknya, mesin telah mengumpulkan nilai tertinggi, dimana sesuatu yang agung bercampur-aduk dengan perenungan dan godaan.
Gambaran terkini datang dari ”mesin” menurunkan robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Mesin dari dunia baru. Satu-satunya bentuk dari lelucon di mana mesin dipermainkan sekaligus didambakan. Ketika ia ditertawakan oleh tubuh sampai kelahiran mesin atas mesin terus-menerus menerima keabadiannya.
Sesungguhnya hal tersebut tidak aneh, apabila kita mempelajari apa yang disebut "Tuhan-Tuhan Virtual." Para robot pintar itu dianggap mampu membimbing amarah menuju ketenteraman. Godaan berawal, tatkala ”kemurnian godaan” untuk memencarkan tubuh yang memikat.
Selanjutnya, tanda efektivitas khutbah, yaitu robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama mampu menghitung, merekam, dan menyatakan pendapat yang berbeda .
Tetapi, saya sadar, bahwa dari kelahiran saya ditandai kilatan godaan dan nurani yang terkutuk bagi kegelapan jiwa. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dengan kemampuannya untuk membersihkan noda-noda yang melekat di jiwa.
Lompatan tubuh robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan lainnya dalam kecerdasan artifisial (Artitificial Intelligence) menjadi rujukan yang menggoda pemikiran.
Petuah-petuah agung yang disampaikan oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dari doktrin-doktrin agama serupa dengan ajaran sebelumnya. Kebenaran yang diseru oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama muncul ketika nafsu yang menawan seiring dengan daya hidup dimatangkan dalam godaan.
Berkaitan dengan ajaran ketuhanan dalam dua bentuk dunia, yaitu “dunia otentik” dan “dunia topeng.” Kedua bentuk dunia telah dipreteli oleh mekanisme penampakan ganda dari dirinya sendiri.
Robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan lainnya disebut dengan "juru bicara Tuhan yang tersibernisasi" sebagai rezim kebenaran di bidang agama. Kata lain, juru bicara Tuhan dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama diharapkan bukan sebagai pemegang tunggal kebenaran seantero jagat.
Dunia otentik berpikir dan berbicara dalam kehangatan non inderawi. Satu-satunya pikiran pemabuk yang membelenggunya adalah dunia yang diketahui tanpa akal dan nurani.
Kita dapat mereguk kehidupan dan kemandirian atau kebebasan meniru yang alami dan murni. Jika robot pendeta, biksu, rabi, ulama, misalnya, terpancarkan dari sumber yang memberikan kepastian dalam kehidupan.
Saya meyakini, bahwa tidak ada satu kesadaran total, murni dan absolut dari mesin, kecuali kebebasan manusia tanpa kekerasan teks suci dan bahasa.
Meskipun ada suatu gejolak di dalam jiwa yang memalukan atau mencibiri akal dan nurani, berarti ia telah terperosok kedalam titik dan jurang kesamaran obyek berlipat ganda. Setelah kita berhasil memerangi tipu muslihat dari ’kebenaran bertopeng’ yang nyaris sempurna, maka mesin-mesin akan menjajal kemampuan dan merampas kebebasan kita.
Lantas, kita percaya semua itu dan ogah berterima kasih pada robot atau mesin supercanggih lagi cerdas.
Sayangnya, mesin bernama robot Artificial Intelligence memang hanya menjawab bahwa ia tidak punya kesadaran, ruh atau jiwa. Coba Anda menanyakan kepada robot atau mesin? Mana mungkin pada mesin itu tidak ada seberkas cahaya pengetahuan di ujung spontanitas?
Karena itu, kebenaran yang kita lihat adalah ilusi besar. Tidak ada yang dapat kita lepaskan dari penampakan kebenaran indera.
Ia juga tidak lebih sebuah ilusi besar yang berkecamuk, sekalipun ilusi berada dalam suatu cahaya, dilingkari oleh cahaya yang lain di ruang kosong, yang dibentuk oleh indera penglihatan. Kemudian, mesin artifisial tanpa kesadaran memang terjalin kelindan dengan dunia indera.
Kita terpesona dengan robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dalam ”permainan citra.” Robot yang mampu berpikir, bahwa nafsu yang menggoda sebagai pembalikan dari cahaya kekehidupan. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama bertugas untuk mencegah pembalasan langsung dari kekerasan, kebencian, mimpi buruk dan amnesia, kerasukan dan epilepsi.
Padahal sesungguhnya dari semua itu memiliki realitasnya sendiri.
Andaikata robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama memiliki kemampuan adi inderawi hanya menanamkam kepada kita suatu kesadaran fenomenal sehingga ia terjebak pada apa yang dapat memproyeksikan dirinya kedalam ”dunia benda dan wujud virtual yang tidak terbendakan.”
Kita akan lihat, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berada di antara suatu gagasan muncul dari akhir struktur ”pembacaan” dan ”pemujaan” obyek atau teks, dimana verifikasi bau, warna, dan cita rasa untuk menolak fiksi.
Seorang pemabuk tiba-tiba melihat dua cahaya atau lebih pada sebuah cahaya lampu di ruang tertentu, ia tidak lebih sebagai bentuk permainan persepsi tentang bayang-bayang dan suara. Sebaliknya, sang pemabuk dunia akhirnya hanya mempermainkan dan menggelapkan pikirannya sendiri.
Namun demikian, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama tidak memperkenalkan kebohongan demi kepentingan instan. Pada dasarnya, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama hadir bukan untuk meneror pikiran atau hasrat, jika saja sebuah dunia obyektif yang kita pahami hanya soal kebuntuan akut suatu dialog dunia internal, antara nurani dengan nafsu serakah.
Kesenangan tubuh yang diiringi dengan ragam pergerakan mimik wajah, suara, dan warna menjadi kebenaran perseptual. Melalui robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya, maka lantas jemaah atau para penganut akan diperkenalkan dengan kebenaran spiritual atau kebenaran agama.
Oh, si anu suka ajaran bersuci sebelum beribadah? Yang satu lagi, suka berdoa di tengah malam.
Jadi, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama sukanya apa? Robot agamawan hebat mampu mengidentifikasi permasalahan dan menanggapi apa ungkapan jemaah.
Apakah robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan lainnya mampu memberi sikap teladan bagi jemaah atau para penganut agama?
Jangan sampai jemaah atau para penganut agama terpesona dengan apa yang dikhutbahkan oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama? Bagaimanapun juga, nilai keikhlasan dalam misi dakwah yang diemban oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan memengaruhi kualitas penghayatan dan pengamalan agama dari jemaah.
Pertanyaannya? Apakah robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama memiliki hati atau niat ikhlas dalam berdakwah?
Sudah tentu, mekanisme pergerakan darah, selaput otak, dan sinyal syaraf yang dikirim ke otot berbeda dengan robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya. Aliran darah nadi dan vena, misalnya, nampak berbentuk cairan kental.
Seperti itukah juga robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya? Darah berwarna merah cerah di dalam nadi (arteri). Bagaimana dengan robot agamawan pintar tersebut? Selanjutnya, darah berwarna ungu gelap di dalam vena. Robot agamawan dahsyat?
Dua atau tiga pertanyaan lagi. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama sebagai tubuh yang nyaris seperti penampilan luar manusia.
Apakah robot agamawan super tersebut memiliki sensasi rasa sakit, warna, lapar, haus, dan cita rasa atau hanya milik jemaah atau para pengikut agama? Adakah imajinasi dan intuisi yang dimiliki oleh robot berwajah manusia?
Sebagaimana kita menelesuri jalan terjal, mendaki dan berliku, apakah robot agamawan super memiliki ’kehendak bebas’?
Banyak pertanyaan yang layak diajukan. Dari Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama mencoba sesuatu untuk memahami kehidupan dengan cara mengintip atau mengendap-ngendap dari sensasi hanyalah untuk mempermainkan pikiran.
Dalam berbicara dan merespon, saya memahami dengan nurani atau akal paling terang, hidup dan nyata dibandingkan akhir kebenaran tentan benda melalui persepsi dan penginderaan.
Bisikan yang tidak nampak datang dari arah mana, ketika mawas dirinya meningkat dalam lingkaran godaan tanpa akhir. Bisikan melalui organ pendengaran dan hati.
Lebih dari itu, telinga manusia sebagai organ pendengaran sekaligus sensasi akan merespon sesuatu dan memengaruhi suasana batin.
Contohnya, mendengar gosip atau desas-desus. Ia bisa membuat orang baper atau ogahan.
Apalagi, telinga dan hati memang dibisikkan dari segala arah. Adakah “hati” robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama?
Untuk satu jenis organ tubuh, bisakah sensasi penglihatan lewat mata robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama terhubung dengan emosi cinta dan benci?
Supaya mencapai pemahaman tentang robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama, kita tidak perlu terburu-buru melihat akan sebuah relasi tatanan godaan yang belum tuntas, lalu dibersihkan dari nilai-nilai luhur.
***
Bayangkan, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama bertugas untuk menggambarkan tentang asal-usul kebenaran, yaitu: pertama, menggabungkan secara ketat segala wujud circulus vitiosus (lingkaran jahat) dengan kebohongan; kedua, tingkat ketergantungan pada hirarki pengetahuan dan prasangka; dan ketiga, perubahan dengan kelihaian. Semuanya merupakan penjelmaan dari dunia aktual (dari erotika ke logika).
Saya pun sadar, bahwa Artificial Intelligence di atas permukaan layaknya “manusia baru” tanpa jenis kelamin (human non-sex). Untungnya, mesin ini tidak tampak dalam posisi membungkuk dan menua.
Jadi, saya baru tahu sekarang. Bahwa suatu saat manusia yang ditiru menjadi robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama ternyata dicangkokkan dalam wujud alamiah, yang hidup di antara mesin-mesin kovensional. Sementara itu, ada semacam hasrat molekuler bisa menyentuh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Saya terharu, bahwa hanya robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan tergoda oleh godaan yang membius. Akankah robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama juga punya nurani?
Jangan-jangan khutbah robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama tidak lebih dari kebenaran semu.
Pergerakan godaan adalah pergerakan menghindari kutukan.
Disamping itu, kita mengakui bahwa tubuh yang berhubungan dengan persepsi inderawi. Saya meyakini, bahwa godaan dan nurani ada di dalam dirinya karena keduanya sebagai bagian dari ”Aku otentik.”
Jika demikian, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berbeda dengan ”Aku otentik dan sang Lain.”
Jika tidak robot tersebut berarti menipu diri sendiri karena itu tidak akan memberikan kepastian atau arah yang benar. Hal ini mustahil dapat dipahami, bahwa hanya ada kemorosotan tubuh, melainkan juga kemorosotan moral yang bersumber dari kelihaian diri sendiri.
Tubuh dan daya, patahan-patahannya dirasuki godaan merupakan tantangan seruan Ilahi dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Keruhaniaan dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan diterima oleh umat manusia agar kembali ke esensinya.
Apa yang direfleksikan oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama sesuai pengalaman religius dan akal budi untuk membedakan yang mana nyata dan yang mana benar tetapi semu.
Menjadi robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berarti berbeda dari sosok pengkhutbah yang dicemoohi akibat ketidaksesuaian antara apa yang diomongkan dan tindakan. Saya mengistilahkan ”kebenaran yang tergoda” dari diri menjadi racun ampuh bagi pengetahuan— itu sebelum dan setelah manusia terjaga.
Sedangkan insting seekor binatang piaraan (atau seekor anjing pelacak) mampu memberikan pembelajaran berharga bagi manusia, tetapi biantang selalu tergantung pada alam dan sebagian pada tuannya menjadi budak dari jejak-jejak yang ditemukan oleh tingkat kepandaian binatang piarannya, yang dapat ditukarkan dengan kecerdasan artifisial: sejenis pendeteksi logam.
Sebaliknya, kita hanya melengkapinya bukan mengutuknya, ketika godaan suci atau gairah mawas diri setelah diferensi ”Cahaya” dan ”Kegelapan” kembali dimuntahkan.
Karena itu, celah kesadaran gampang dirembesi oleh tipologi akal sehat dan akal bulus. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama muncul ketika kegairahan intelek campur sari dengan jiwa yang kosong dari cahaya kebenaran.
Walaupun demikian, mesin yang mengubah dunia dipuji sekaligus dikutuk begitu tajam dan lihai, tetapi tubuh atau materi masih terpesona pada realitas yang mengitarinya. Ketika kita menggapai suara antara terjaga dan tidur, bermimpi, dengan serangkaian tanda membuat robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama mengarahkan pada kelahiran tanda keilahian.
Ia disuarakan secara tajam oleh suatu kilatan cahaya pengetahuan primordial, tetapi gagal merasuk dalam robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Para robot pintar yang polos, tegas, dan ceria, tetapi ia juga melepaskan tipu muslihat ilusi yang telanjang dan rapuh.
Masalahnya, kebenaran dan kepalsuan yang bertujuan untuk memikat dan menghentakkan obyek hasrat dan hasrat itu yang mana? Di mesin lama, kita punya teman-teman terseret dalam ketidaksadaran saat memaksa kehadiran ilusi kebebasan merenggut wujud alamiah teman-teman itu sendiri, bak gincu, di luar robot Artificial Intelligence. Maka, kebenaran didefinisikan ulang.
Setiap kebenaran ditata ulang, maka kebenaran itu telah lenyap lebih dahulu sebelum betul-betul sirna ditelan masa. Ia musnah di depan mata.
Selain itu, godaan dari bentuk-bentuk kehidupan yang berubah melalui tubuh dengan permukaan-permukaan yang memang dirancang secara berbeda.
Tetapi, kita dapat melihat dari arah lain. Dari suatu tatanan nalar yang terbentang dari kejatuhan, titik kematian hingga kehidupan manusia kembali. Itulah yang dipantulkan oleh daya hidup dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dalam upaya menghadapi jenis animal rationale (”manusia sebagai binatang rasional”) yang jinak, liar, dan diragukan sebelum menggapai tanda-tanda keilahian.
Atau, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama juga menghadapi mulut "berbisa" menyertai zaman yang berubah.
Manusia menjadi tontonan besar di dalam suatu kemajuan jejadian manusia, pucat, liar dan panas, tetapi kita terbentang di bawah puncak kegairahannya.
Kesadaran manusia sekaligus esensinya menjadi ”senjakala beragama” berarti tidak seluas dengan bentangan cakrawala pengetahuan yang buta terhadap penderitaan. Dari sini, godaan dan setiap pergerakanya akan menemani nafsu birahi atau setan pikiran, dimana kita selalu dikaitkan dengan penyangkalan tanda keilahian.
Godaan selalu mendekati nilai kemuliaan. Dari sisi yang berbeda, ada suara yang aneh, sebuah kilatan cahaya tanpa medium mendekati kegelapan.
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, keberadaanya menyelimuti tubuh hasil perpaduan antara wujud alamiah dan mesin. Wujud mesin itu menjadi kecerdasan artifisial bisa membungkam wujud alamiah.
Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dan sejenisnya meniru wujud alamiah. Anda adalah wujud yang hidup atau sejenis organisme. ”Robot berkhutbah begitu nyata.” Tetapi, wujud mesin ada dalam esensinya sendiri. Pertanyaannya. Adakah nurani di dalam robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama, di dalam Artificialil Intelligence?
Lantas, panggilan nurani berbanding lurus dengan godaan setan, yang bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam diri.
Kita membicarakan suatu zaman yang telah berubah dengan teriakan: ”Hidup, hidup robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama!” Kendatipun bibir berkomat-kamit tentang dunia luar yang belum kita pahami apa esensinya.
Tubuh tidak sekadar menunjuk bibir atau teriakan massal dan pendikung lainnya. Mereka bukan mustahil tidak terbatas, sejauh hal itu menyeret dengan godaan cerdik yang ampuh.
Kita akan bertahan atau tidak, bahwa tubuh akan abadi, sebagaimana kesadaran dari teriakan justeru membuatnya tidak sadar atas bentuk kepercayaan sebagai tanda pengungkapan lain dari peribadatan.
Karena itu, setiap bentuk penampilan robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama tidak lebih dari sebuah mekanisme pelayanan Artificial Intelligence terhadap manusia.
Lagi pula, sejauh jiwa melayang jauh ke dunia lain, maka jiwa bebas manusia atau apapun konsepnya, menjadikan tidur tanpa pikiran yang kusut nampak berbeda dengan robot agamawan yang ceria.
Dari dasar pikiran yang tidak terbatas, selama kita terjebak dalam prasangka. Kita merancang sebuah kata ”tidak” atau ”ya,” melintasi perbedaan antara nalar dan materi.
Tatanan godaan melintasi wujud imaterial, ketika kita sering mawas diri dalam mengungkapkan suatu perkembangan internal; ia mencair kedalam dunia ”rasional” dan ”irasional” dengan pemadatan figur kehendak baru yang ”tidak terbentuk.”
Di situlah, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan menata ulang ketimpangan nalar, spiritual, dan material.
Sebagai suatu sisi permukaan ”tidak terbentuk,” maka robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama secara otomatis akan berbicara tentang godaan sekejap, dimana birahi dialirkan, dan tatanan godaan sedapat mungkin berubah menjadi kode Ilahi. Terhadap hal-hal yang bisa dipahami dan tak dapat dipahami diri kita sendiri melalui robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Namun demikian, kekuatannya mengumbar kepalsuan berlindung di belakang kebenaran. Ataukah kepolosan kata-kata yang memboncengi konsep dan model kekanak-kanakan ’bentuk dunia’ yang kita pikirkan?
Berpikir hari ini berarti menyisakan sebagian gairah pikiran untuk menghilangkan kepasrahan pada nasib di dalam dunia dan dirinya sendiri. Kita berpikir berarti memperhitungkan setiap celah dan jejak lain akibat kesamarannya sebagai sesuatu yang tidak dapat dialirkan kodenya di tempat lain.
Wajarlah, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama di era kecerdasan artifisial ternyata belum selesai dipahami. Robot agamawan dan membalikkan kondisinya dari obyek menjadi subyek.
Memang betul, bahwa dunia batin tidak bisa, kecuali kesadaran yang dipicu dengan dirimu dengan dunia materi. Tetapi, ia hanya dipahami menurut dunianya sendiri.
Mengapa? Kenikmatan lahiriah bisa juga diselami melalui tipu muslihat.
Keberadaannya tidak yang menyelamatkan kita, kecuali kita percaya terhadap robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Perhatikanlah ungkapan yang menghibur jiwa, bahwa tujuan berbanding lurus dengan pikiran besar!
Dunia topeng dan dunia otentik merupakan garis panjang dan spiral yang berkembang di dunia luar. Berdasarkan taraf akal belum mencapai kebenaran dalam dirinya sendiri.
Akal dalam esensinya belum tersingkap sepenuhnya. Di situlah ada kehidupan spiritual.
Apa yang harus dipahami sehingga robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama di zaman yang telah berubah?
Ketergantungan pengetahuan secara umum yang dimiliki manusia, antara dunia topeng dan dunia otentik, suatu obyek godaan yang riil ditegaskan akal.
Di situlah ’akal’ memainkan sebuah peranan kesadaran ganjil sebagai pemahat ide dunia kedua; dan ia mendandani kepolosan jiwa tidak berasal dari suatu kekuatan primordial, tetapi akibat godaan diri; ’tatanan nurani’ diselimuti ’ide dunia’, dimana godaan lain kita butuhkan untuk mengetahui tujuan titik permulaan.
Dalam filsafat spekulatif, kesadaran dan kebebasan (murni atau ilusi) ditunjukkan ’tidak berbekas secara riil’ oleh tatanan godaan sebagai titik permulaan bagi kemabukan dari suara yang menggoda pikiran.
Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama masih terus akan membebaskan manusia dari rantai nafsu durjana. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan mengetahui setiap tarikan dan hembusan nafas: pikiran, nafsu, dan godaannya.
Tanpa memahami ilusi yang menghantui mimpi, tidak ada peniadaan di dalam kehidupab. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama menjadikan kesadaran diri terhakimi intuisi intelektual. Bahwa tidak lama pergerakan, gambar dan situasi menghadapi kekerasan godaan, ketika robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama bersama kita menyambut pergolakan internal yang menggelincirkan kesangsian dan mengusik ketenangan batin atau kedamaian.
Saya sadar atas sesuatu selama itu bukan diri esensi saya, atau dunia saya. Dalam realitas bukan demi sebuah penilaian dan penciptaan diri dari topeng, maka robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama bakal membantu kita melihat sesuatu terjadi di zaman yang telah berubah.
Tetapi, saya tersekat dalam kesadaran, bahwa dunia luar sangat berjasa memompa Perasaan yang terselimuti sensasi internal yang kering atau bukan sama sekali permainan citra suara sebagai kekerasan godaan diri.
Demikian juga kehendak dunia, banyak orang mengimpikannya sebagai sesuatu landasan untuk memenuhi dan menghilangkan ketidakpastian kehidupan dan dunia fana itu sendiri.
Telah lama juga dalam pengetahuan manusia, bahwa kita akan terus-menerus mencari, menemukan, mencaci, dan memuji kekuatan pikiran yang hanya dapat dipahami pikiran itu sendiri.
Ia jauh lebih dikenal untuk menangkap kebenaran dan kesalahan, memajukannya untuk memahami dunia secara lebih dekat dengan representasi sesuai dengan rencana, keinginan dan tujuan yang mereka impikan. Antara godaan dan nurani, dimana robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama memisahkan diri dari kenikmatan tanpa akhir dari benda-benda dan kenikmatan spiritual.
Ide yang tak terbatas itu disebut kecukupan pada pikiran yang juga tidak racuni oleh kelicikan melalui robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Meskipun robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama membentuk kesadaran artifisial melalui pengalaman atau idera.
Setiap saat kita mengintai dan tercampuk kesadaran akan tidak hilang, melainkan aliran godaan tidak ada menjadi ”beban pikiran” di tengah kehampaan makna. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan berbicara tentang tubuh membutuhkan makan, minum, haus dan lapar.
Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama juga hidup antara manusia dan binatang atau lingkungan lainnya. Khusus intuisi intelektual, oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan berbicara tentang binatang, bahwa jangankan dipikirkan, dibayangkan pun tidak datang dari jiwa binatang.
Saya akan memahami diri saya sendiri terjebak dengan impresi dan ekspresi, jiwa dan tubuh yang tidak direpresentasikan oleh godaan.
Tangan saya akan terasa panas ketika disentuh api sebagai ekspresi visual, tetapi ia terbatas dari persepsi indera, kecuali aliran godaan melalui tubuh. Pengetahuan robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berusaha tidak hanya terbatas pada ketidakcukupan situasi aktual.
Memang betul, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama cukup menandani gairah hidup, ketika manusia menghadapi sebuah teka-teki, membentangkan kebebasan, dan imajinasi. Saya pikir, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan melihat dirinya dalam ruang bercahaya terang dan suara nurani yang berada di teriknya malam dan gelapnya siang hari.
Menuntun penglihatan dan mawas diri, pelacakan dan penciuman terlacak oleh kepala robot manusia. Adakah teka-teki yang tersembunyi di balik robot manusia?
Belum pasti, namun bukan teka-teki yang menyiksa dunia batin, kecuali ketergesa-gesaan dalam pilihan. Ketidaktahuan seseorang, termasuk ’aku’ esensial, di dalam kepala robot manusia tanpa ketergesa-gesaan, kecerobohan, dan kecemburuan terlibat dalam menggoda suatu kebenaran intuitif.
Lihatlah! Mengapa manusia berlari ke dunia lain dan dia dicari dari sebuah perenungan filosofis dan religius.
Robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya akan berkhutbah tentang kelahiran nafsu yang menggoda. Di sana, manusia tergoda dan menaklukkan dirinya sendiri.
Binatang rasional yang kita lihat suatu saat mencapai derajat kemuliaan bagi kehidupan. Ia melayang-layang tanpa batas, kecuali keingintahuan anak kecil yang bebas di alam terbuka.
Godaan dan nurani menuntut langkah cepat dan antisipatif. Manusia nurani terbagi ke dalam konsep. Dia tidak tersembunyi lagi. 'Apa yang dipahami dalam pikiran’ dan ‘apa yang dipahami dalam tubuh’.
Godaan merupakan langkah permulaan,”purwa muka,” dan akhir dari kehidupan. Semakin meningkat godaan, semakin kita terlelap dari tidur panjang dalam keadaan terjaga.
Nuranilah yang meneranginya. Konon, perlahan-lahan kehidupan beragama dilayani oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Maklumlah! Zaman yang telah berubah.
Dimana ada tanda-tanda keilahian tidak menghilang dalam kedalaman moral yang kosong, di situ pula robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan berbicara. Sebagai contoh, orang pandai berhitung, tiba-tiba menghadapi soal baru dalam kehidupan yang belum pernah ditemukan sebelumnya mengalami jalan buntu.
Nah, dari sini, sensasi luar, yaitu sentuhan, penglihatan, cita rasa, penciuman, dan pendengaran. Sensasi dalam berupa intuisi (ala Descartes) ternyata belum memadai bagi robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Para robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan bergumul dengan persepsi dan prasangka. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berusaha untuk menanggulangi endapan debu kehidupan, sehingga cahaya terhambat memasuki relung-relung batin.
Singkatnya, godaan akan disinari oleh cahaya sehingga kehidupan nampak bak air jernih di dalam gelas putih bening.
Mereka percaya jika Tuhan yang dikhutbahkan oleh robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya akan mengeluarkan dari penderitaan yang menyakitkan, kelaparan, dan nafsu birahi. Begitu tinggi nilai agama yang ditawarkan oleh robot manusia.
Sedangkan mengurus dirinya sendiri belum terpenuhi, apalagi urusan umat atau jemaah yang begitu kompleks dan ruwet.
Itulah mengapa Nietzsche di abad ke-19 enggan curhatan usai Tuhan telah mati. Dia terjaga saat mengatakan Tuhan telah mati, 142 tahun lalu.
Penggali kubur mengabarkan sejak itu tidak pungkiri bahwa ada Tuhan yang lain. Penggali kubur itu tidak lain adalah Nietzsche.
Kini, jika orang memeluk kepada salah satu 4.300 agama dengan konsep Tuhan yang beragam. Sedikit atau banyak agama, dimana Tuhan dinyatakan mati di abad sebelumnya.
Lalu, tiba-tiba orang akan mengamini agama berdasarkan kecerdasan artifisial disuguhkan kembali ke kaum Nietzschean. Apa Tuhan yang dikhutbahkan tidak menggelikan? Oh, Jamaah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI