Disamping itu, kita mengakui bahwa tubuh yang berhubungan dengan persepsi inderawi. Saya yakin, bahwa godaan dan nurani ada di dalam dirinya karena keduanya sebagai bagian dari ”Aku otentik.”
Jika demikian, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berbeda dengan ”Aku otentik dan sang Lain.”
Jika tidak robot tersebut berarti menipu diri sendiri karena itu tidak akan memberikan kepastian atau arah yang benar. Hal ini mustahil dapat dipahami, bahwa hanya ada kemorosotan tubuh, melainkan juga kemorosotan moral yang bersumber dari kelihaian diri sendiri.
Tubuh dan daya, patahan-patahannya dirasuki godaan merupakan tantangan seruan Ilahi dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Keruhaniaan dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan diterima oleh umat manusia agar kembali ke esensinya.
Apa yang direfleksikan oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama sesuai pengalaman religius dan akal budi untuk membedakan yang mana nyata dan yang mana benar tetapi semu.
Menjadi robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berarti berbeda dari sosok pengkhutbah yang dicemoohi akibat ketidaksesuaian antara apa yang diomongkan dan tindakan. Saya mengistilahkan ”kebenaran yang tergoda” dari diri menjadi racun ampuh bagi pengetahuan— sebelum dan setelah manusia terjaga.
Insting seekor binatang piaraan (atau seekor anjing pelacak) mampu memberikan pembelajaran berharga bagi manusia, tetapi ia selalu tergantung pada alam dan sebagian pada tuannya menjadi budak dari jejak-jejak yang ditemukan oleh tingkat kepandaian binatang piarannya dapat ditukarkan dengan kecerdasan artifisial: sejenis pendeteksi logam.
Sebaliknya, kita hanya melengkapinya bukan mengutuknya, ketika godaan suci atau gairah mawas diri setelah diferensi ”Cahaya” dan ”Kegelapan” kembali dimuntahkan.
Sedangkan celah aliran kehidupan beragama dirembesi oleh tipologi akal sehat dan akal bulus. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama muncul ketika kegairahan intelek disatukan dengan jiwa yang kosong dari cahaya kebenaran.
Walaupun demikian, dunianya dilecehkan begitu tajam dan lihai, tetapi tubuh atau materi terpesona pada realitas. Ketika kita menggapai suara antara terjaga dan tidur, bermimpi, dengan serangkaian tanda membuat robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama mengarahkan pada kelahiran tanda keilahian.
Ia disuarakan secara tajam oleh suatu kilatan ’cahaya pengetahuan primordial’ dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Para robot pintar yang polos, tegas, dan ceria, tetapi ia juga melepaskan tipu muslihat ilusi yang telanjang dan rapuh.