Godaan dan nurani menuntut langkah cepat dan antisipatif. Manusia nurani terbagi ke dalam konsep. Dia tidak tersembunyi lagi. 'Apa yang dipahami dalam pikiran’ dan ‘apa yang dipahami dalam tubuh’.
Godaan merupakan langkah permulaan,”purwa muka,” dan akhir dari kehidupan. Semakin meningkat godaan, semakin kita terlelap dari tidur panjang dalam keadaan terjaga.
Nuranilah yang meneranginya. Konon, perlahan-lahan kehidupan beragama dilayani oleh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Maklumlah! Zaman yang telah berubah.
Dimana ada tanda-tanda keilahian tidak menghilang dalam kedalaman moral yang kosong, di situ pula robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan berbicara. Sebagai contoh, orang pandai berhitung, tiba-tiba menghadapi soal baru dalam kehidupan yang belum pernah ditemukan sebelumnya mengalami jalan buntu.
Nah, dari sini, sensasi luar, yaitu sentuhan, penglihatan, cita rasa, penciuman, dan pendengaran. Sensasi dalam berupa intuisi (ala Descartes) ternyata belum memadai bagi robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Para robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan bergumul dengan persepsi dan prasangka. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berusaha untuk menanggulangi endapan debu kehidupan, sehingga cahaya terhambat memasuki relung-relung batin.
Singkatnya, godaan akan disinari oleh cahaya sehingga kehidupan nampak bak air jernih di dalam gelas putih bening.
Mereka percaya jika Tuhan yang dikhutbahkan oleh robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya akan mengeluarkan dari penderitaan yang menyakitkan, kelaparan, dan nafsu birahi. Begitu tinggi nilai agama yang ditawarkan oleh robot manusia.
Sedangkan mengurus dirinya sendiri belum terpenuhi, apalagi urusan umat atau jemaah yang begitu kompleks dan ruwet.
Itulah mengapa Nietzsche di abad ke-19 enggan curhatan usai Tuhan telah mati. Dia terjaga saat mengatakan Tuhan telah mati, 142 tahun lalu.