Lantas, kita percaya semua itu dan ogah berterima kasih pada robot atau mesin supercanggih lagi cerdas.
Sayangnya, mesin bernama robot Artificial Intelligence memang hanya menjawab bahwa ia tidak punya kesadaran, ruh atau jiwa. Coba Anda menanyakan kepada robot atau mesin? Mana mungkin pada mesin itu tidak ada seberkas cahaya pengetahuan di ujung spontanitas?
Karena itu, kebenaran yang kita lihat adalah ilusi besar. Tidak ada yang dapat kita lepaskan dari penampakan kebenaran indera.
Ia juga tidak lebih sebuah ilusi besar yang berkecamuk, sekalipun ilusi berada dalam suatu cahaya, dilingkari oleh cahaya yang lain di ruang kosong, yang dibentuk oleh indera penglihatan. Kemudian, mesin artifisial tanpa kesadaran memang terjalin kelindan dengan dunia indera.
Kita terpesona dengan robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dalam ”permainan citra.” Robot yang mampu berpikir, bahwa nafsu yang menggoda sebagai pembalikan dari cahaya kekehidupan. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama bertugas untuk mencegah pembalasan langsung dari kekerasan, kebencian, mimpi buruk dan amnesia, kerasukan dan epilepsi.
Padahal sesungguhnya dari semua itu memiliki realitasnya sendiri.
Andaikata robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama memiliki kemampuan adi inderawi hanya menanamkam kepada kita suatu kesadaran fenomenal sehingga ia terjebak pada apa yang dapat memproyeksikan dirinya kedalam ”dunia benda dan wujud virtual yang tidak terbendakan.”
Kita akan lihat, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama berada di antara suatu gagasan muncul dari akhir struktur ”pembacaan” dan ”pemujaan” obyek atau teks, dimana verifikasi bau, warna, dan cita rasa untuk menolak fiksi.
Seorang pemabuk tiba-tiba melihat dua cahaya atau lebih pada sebuah cahaya lampu di ruang tertentu, ia tidak lebih sebagai bentuk permainan persepsi tentang bayang-bayang dan suara. Sebaliknya, sang pemabuk dunia akhirnya hanya mempermainkan dan menggelapkan pikirannya sendiri.
Namun demikian, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama tidak memperkenalkan kebohongan demi kepentingan instan. Pada dasarnya, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama hadir bukan untuk meneror pikiran atau hasrat, jika saja sebuah dunia obyektif yang kita pahami hanya soal kebuntuan akut suatu dialog dunia internal, antara nurani dengan nafsu serakah.
Kesenangan tubuh yang diiringi dengan ragam pergerakan mimik wajah, suara, dan warna menjadi kebenaran perseptual. Melalui robot pendeta, biksu, rabi, ulama, dan sejenisnya, maka lantas jemaah atau para penganut akan diperkenalkan dengan kebenaran spiritual atau kebenaran agama.