Lebih dari itu, telinga manusia sebagai organ pendengaran sekaligus sensasi akan merespon sesuatu dan memengaruhi suasana batin.
Contohnya, mendengar gosip atau desas-desus. Ia bisa membuat orang baper atau ogahan.
Apalagi, telinga dan hati memang dibisikkan dari segala arah. Adakah “hati” robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama?
Untuk satu jenis organ tubuh, bisakah sensasi penglihatan lewat mata robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama terhubung dengan emosi cinta dan benci?
Supaya mencapai pemahaman tentang robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama, kita tidak perlu terburu-buru melihat akan sebuah relasi tatanan godaan yang belum tuntas, lalu dibersihkan dari nilai-nilai luhur.
***
Bayangkan, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama bertugas untuk menggambarkan tentang asal-usul kebenaran, yaitu: pertama, menggabungkan secara ketat segala wujud circulus vitiosus (lingkaran jahat) dengan kebohongan; kedua, tingkat ketergantungan pada hirarki pengetahuan dan prasangka; dan ketiga, perubahan dengan kelihaian. Semuanya merupakan penjelmaan dari dunia aktual (dari erotika ke logika).
Saya sadar, bahwa Artificial Intelligence di atas permukaan layaknya “manusia baru” tanpa jenis kelamin (human non-sex). Mesin ini tidak tampak dalam posisi membungkuk dan menua.
Manusia ”mesin baru” berwujud robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama menjadi ’kecerdasan artifisial’ dan ’samar’ yang dicangkokkan ke dalam tatanan alamiah yang hidup berupa mesin. Suatu hasrat molekuler’ yang menyentuh robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Jangan-jangan khutbah robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama tidak lebih dari kebenaran semu.
Pergerakan godaan adalah pergerakan menghindari kutukan.