Begitulah enaknya hidup dengan nge-Googling. Sore-sore jelang matahari tergelincir di sebelah barat, saat itu saya mengintip layar Google di ponsel saya dengan wajah sendu.
Masalahnya, ada berita mengenai peringkat pengetahuan itu bukan berkelas dusun atau berkelas kaleng-kaleng, tetapi kelas dunia.
Saya tidak bisa menutupi ekspresi saya. Senyum, sebel atau biasa-biasa saja? Sebentar, jari-jari saya ini akan “berselancar” di atas tuts-tuts ponsel saya.
Sebetulnya, sejak itu, saya menatapi sebuah informasi seraya mengakses link berita, berjudul: “Knowledge For All." Saya buka link berita itu.
Akhirnya, saat itu, saya menjadi terhibur karena tidak repot untuk mencari tahu lewat Mbah Google. Saya memang tidak menelan mentah-mentah berita. Saya membaca kontennya.
Kita melihat data tahun 2023. Indonesia bertengger di peringkat ke 79 dari 133 negara. Di atasnya ada Usbekistan, peringkat ke 78 dan di bawah Indonesia ada Filipina, peringkat ke 80. Saya memergoki data sebelumnya, Indonesia di peringkat ke 81 (2022) dari 132 negara.
Adakah kekuatan yang menampilkan berita tersebut? Google, sebuah mesin. Saya mulai dari mesin ini.
Kendatipun pengetahuan yang bersumber dari buku dalam bentuk-bentuk teks tertulis, dari perpustakaan, naskah, arsip atau pernyataan-pernyataan tertulis secara manual digantikan dengan informasi berbasis onlen di zaman now.
Tetapi, ia bisa dibaca setelah dicetak. Parahnya lagi, jika orang-orang tanpa memakai lensa cembung pun sudah ketahuan belangnya, bahwa mereka masih tidak melek membaca ketika media tulisan onlen melimpah-ruah.
Sebagian juga dari media cetak masih di puncak-puncaknya untuk bisa bertahan hidup di era digital.
Buat apa juga lembaga resmi mengumumkan peringkat dunia jika memang khalayak ramai tidak bisa dipaksa untuk menelan habis apa saja informasi yang masuk ke mereka.